Liputan6.com, Jakarta: Siapa tokoh yang paling disegani sekaligus ditakuti di Ambon, Maluku? Mungkin, jawabannya adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Waljamaah Ustad Ja`far Umar Thalib. Pria berumur 40 tahun yang kerap mengenakan sorban putih ini populer disebut sebagai Panglima Laskar Jihad. Dan bagi sebagian umat Islam di Indonesia, Ja`far dianggap pemimpin yang konsisten membela kepentingan kaum muslim dalam konflik berdarah di Maluku yang berlangsung sejak Januari 1999.
Kenyataan ini terbukti saat polisi menangkap Ja`far di Bandar Udara Djuanda, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu pekan silam, sejumlah anggota Laskar Jihad di sejumlah kota memprotes penangkapan panglima mereka [baca: Ja`far Umar Thalib Ditangkap]. Sebut saja, Ambon, Makassar, dan Surabaya. Bahkan, protes di dua kota yang terakhir disebut ini hampir terjadi bentrokan antara anggota Laskar Jihad dan aparat keamanan. Sedangkan Ja`far Umar sendiri mengatakan bahwa dasar penangkapan terhadap dirinya hanya mengada-ada. Juga sebagai pengalihan kasus Ambon karena pemerintah tak mampu menyelesaikan kasus Republik Maluku Selatan dan insiden Soya, 25 dan 26 April silam [baca: Ja`far: Tuduhan Itu Hanya Mengada-ada].
Bagi Osama bin Laden-nya Indonesia ini--julukan yang diberikan media Amerika Serikat New York Times, penangkapan ini adalah untuk kedua kalinya. Tahun silam, tepatnya 4 Mei 2001, Polri menangkap Panglima Laskar Jihad ini di Bandara yang sama [baca: Panglima Laskar Jihad Ditangkap]. Dia dituduh memprovokasi massa di Ambon, Maluku. Belakangan, tuduhan penghasutan massa tadi dibelokkan Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Bimantoro--Kapolri saat itu--menjadi terlibat kasus rajam terhadap anggota Laskar Jihad di Ambon. Menyusul penangkapan Ja`far, sejumlah anggota Laskar Jihad berulang kali mendatangi Markas Besar Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Akhirnya, beberapa hari kemudian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa penangkapan Ja`far oleh Polri tidak sah [baca: Pengadilan Memutuskan Penangkapan Ja`far Tak Sah].
Kalau boleh kilas balik, hingga awal 2002, kelompok Islam di bawah komando Laskar Jihad banyak meraih kemenangan di sejumlah front. Kendati demikian, peta politik di Ambon, sempat berubah setelah tercapai kesepakatan Malino II di Sulawesi Selatan, 12 Februari 2002 [baca: Sebelas Kesepakatan Mengakhiri Pertemuan Malino]. Ketika itu, pemerintah pusat menggagas pertemuan antara kelompok Islam dan Kristen untuk segera mengakhiri pertikaian antaragama. Dengan kata lain, pemerintah pusat tampaknya ingin menegakkan hukum di wilayah Seribu Pulau itu. Caranya, dengan mengoptimalkan kinerja Penguasa Darurat Sipil Daerah Maluku Saleh Latuconsina yang juga menjabat gubernur setempat.
Upaya mengurai benang kusut konflik Ambon pun bergulir. Segera PDSD Maluku mencanangkan sosialisasi sebelas butir Deklarasi Malino II, perlucutan senjata api hingga sweeping senjata [baca: Warga Ambon Mulai Menyerahkan Senjata]. Sayangnya, niat membaurkan kembali komunitas dua agama dinodai kericuhan [baca: Pawai Damai di Ambon Dinodai Kericuhan]. Benang kusut pun kembali menyelimuti Ambon. Buntutnya, pemerintah pusat menuding sejumlah kelompok garis keras tak menginginkan perdamaian di Bumi Ambon Manise. Meski tak langsung menunjuk hidung nama kelompok, sejumlah kalangan telah memperkirakan bahwa Laskar Jihad dan Front Kedaulatan Maluku yang dijadikan sasaran.
Hanya dalam hitungan dua bulan pascapertemuan Malino II, Kota Ambon kembali memanas dan mencekam. Pertama, peledakan dan aksi sejumlah massa yang membakar Kompleks Kantor Gubernur Maluku [baca: Ambon Kembali Rusuh, Kantor Gubernur Dibakar]. Kedua insiden tersebut belum hilang dalam ingatan, warga Ambon kembali resah oleh rencana perayaan Hari Ulang Tahun ke-52 Republik Maluku Selatan, 25 April silam. Meski aparat keamanan telah menangkap sejumlah pengurus FKM, toh pada hari-H sejumlah bendera RMS sempat mengudara dengan menggunakan balon-balon gas [baca: Tokoh Garis Keras Maluku Akan Dipanggil].
Hal inilah yang dianggap sebagian kelompok Islam sebagai ketidakmampuan aparat keamanan mencegah insiden tersebut. Mereka pun menggelar protes dan tablig akbar. Di Masjid Al-Fatah, Ambon, misalnya [baca: Tablig Akbar di Ambon Dibubarkan Polisi]. Di sinilah, Panglima Laskar Jihad Ja`far Umar Thalib sempat berorasi menyayangkan insiden tersebut sekaligus mengecam PDSD Maluku, pemerintah pusat, dan aparat keamanan yang dianggap tak mampu mencegah aksi pendukung RMS [baca: Puluhan Pengibar Bendera RMS Ditahan].
Beberapa jam kemudian, tepatnya 26 April dinihari, warga Ambon dikejutkan penyerangan terhadap Desa Soya dan Desa Ahoru, Kecamatan Sirimau [baca: Dua Ledakan Mengguncang Ambon, 12 Orang Tewas]. Dalam peristiwa itu, ratusan massa berseragam loreng dan hitam-hitam menyerang dua desa di pegunungan itu dengan meledakkan sejumlah mortir dan menembaki puluhan warga sipil tak berdosa. Akibatnya, 12 orang tewas dan belasan lainnya cedera serta puluhan rumah hancur.
"Jumat Subuh Berdarah" itu memancing sejumlah kalangan mengusulkan perubahan status Darurat Sipil menjadi Darurat Militer [baca: Pro-Kontra Pemberlakuan Darurat Militer Terus Bergulir]. Sebut saja, Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. dan Ketua DPA Achmad Tirtosudiro sempat melontarkan usulan tersebut. Namun, Presiden Megawati Sukarnoputri dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Da`i Bachtiar justru menyatakan bahwa penerapan Darurat Militer masih menjadi pertimbangan. Sebab, pemerintah masih akan mengupayakan penyelesaian konflik Ambon melalui cara damai atau penegakan hukum [baca: Pemerintah Mempertimbangkan Darurat Militer di Maluku].
Keputusan pemerintah tadi segera disambut hangat sebagian kalangan. Maka, sejumlah tokoh agama yang tergabung dalam Forum Gerakan Moral Nasional (FGMN) serta Tim Asistensi Maluku pun pergi ke daerah konflik tersebut. Setelah berkunjung ke sana, mereka kemudian merekomendasikan kepada pemerintah agar mengoptimalkan kinerja PDSD Maluku agar bersikap tegas tanpa harus memberlakukan Darurat Militer [baca: Lintas Agama Menolak Pemberlakuan Darurat Militer].
Tapi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi yang turut dalam rombongan FGMN bersuara lain. Dia mensinyalir gerakan separatis di Maluku yang berupaya menggagalkan kesepakatan damai Malino II [baca: Hasyim Muzadi: Perusuh Ambon Terkait Jaringan Internasional]. Gerakan ini diduga terkait erat dengan jaringan nasional dan internasional dengan menggunakan isu suku, agama, ras, serta antargolongan. Tujuannya, untuk mengacaukan dan merusak perdamaian di Maluku.
Beberapa hari kemudian, Hasyim mengklarifikasi pernyataannya. Menurut dia, gerakan separatis di Maluku tidak bisa diidentikkan dengan satu agama tertentu. Sebab, baik komunitas Islam maupun Kristen di Maluku sama-sama tak menghendaki kembali terjadi pertikaian. Karena itu, situasi di Ambon bisa kembali pulih apabila aparat keamanan bertindak lebih tegas. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla meminta para pemuka agama tak mengeluarkan pernyataan yang dapat memanaskan Ambon [baca: Pemuka Agama Diminta Mendinginkan Ambon].
Konflik Ambon yang kembali memanas juga mendapat sorotan dari anggota Parlemen Uni Eropa. Saat bertemu Ketua DPR Akbar Tandjung, Rabu pekan silam, mereka memandang bahwa pertikaian di Ambon karena konflik agama [baca: Konflik Agama Dianggap Pemicu Kerusuhan Ambon]. Seolah menjawab tudingan tersebut, dua hari kemudian, Wakil Presiden Hamzah Haz meminta aparat keamanan di Ambon, mengambil tindakan tegas terhadap aksi-aksi yang dilakukan kelompok RMS yang tergolong sebagai gerakan separatisme [baca: Wapres Meminta Aparat Keamanan Menindak RMS]. Sebelumnya, Wapres sempat menduga insiden Soya sebagai ekses pengibaran bendera RMS.
Seruan Wapres tersebut tampaknya tak mudah dijawab Polri. Buktinya, Kapolri Jenderal Polisi Da`i Bachtiar mengakui adanya kendala dalam menangani provokator di Ambon. Namun, Polri akan menindak tegas tanpa pandang bulu bagi warga yang melanggar hukum [baca: Kapolri: Polisi Tak Pandang Bulu Menindak Perusuh]. Seiring dengan upaya pemulihan keamanan di Ambon, berembus kabar tak sedap dari Ambon yang menyebutkan hubungan antara PDSD Maluku dan penguasa militer di sana tegang. Pasalnya, militer di Ambon tak mematuhi perintah Gubernur Maluku Saleh Latuconsina selaku PDSD di daerah konflik itu. Pertikaian tersebut diakui Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Endriartono Sutarto [baca: KSAD: Tak Ada Pembangkangan Militer di Ambon]. Bisa jadi, hal ini sebagai bentuk kekecewaan militer yang sebelumnya menginginkan pengubahan status Darurat Sipil menjadi Darurat Perang.
Terlepas dari ketegangan antara PDSD Maluku dan penguasa militer setempat, upaya Polri untuk memulihkan keamanan di Ambon mendapat dukungan dari Presiden Megawati Sukarnoputri. Menurut Presiden Megawati, ada sosok perekayasa di balik konflik Ambon yang terus membara. Megawati juga mengecam perusuh Ambon yang dinilai sebagai provokator antikeamanan selama ini di Kepulauan Maluku [baca: Megawati Mengecam Perusuh Ambon Sebagai Provokator]. Namun, Ketua DPRD Maluku Zeth Sahuburua mengharapkan pemerintah pusat tak terjebak dengan kesan seolah-olah keadaan atau status Darurat Militer dibutuhkan di daerah tersebut. Menurut dia, justru optimalisasi kewenangan Penguasa Darurat Sipil Daerah Maluku yang perlu dilakukan.
Menyikapi konflik yang kembali membara di Ambon, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai pemerintahan Megawati tidak memiliki koordinasi yang baik dalam mengatasi konflik yang terjadi. Megawati dinilai tak memiliki basis dukungan yang kuat serta tidak percaya diri kalau punya basis dukungan. Sedangkan sejarawan Anhar Gonggong memandang konflik berkepanjangan di Maluku, khususnya Kota Ambon, sebenarnya dapat selesai hanya dalam sepekan. Tinggal kemauan dari pemerintah pusat untuk segera turun langsung menangani masalah ini. Sebab, permasalahan yang terjadi bukannya konflik antaragama, tapi konflik antarkepentingan.
Belum lagi pemerintah dan Polri bertindak lebih jauh untuk memulihkan keamanan, lagi-lagi Kota Ambon dilanda kerusuhan pada Sabtu pekan silam. Tak tanggung-tanggung, dua peristiwa sempat membuat situasi Ambon mencekam dan memanas. Pertama adalah bentrokan antara dua kelompok di Tugu Trikora yang mengakibatkan seorang warga tewas dan tujuh lainnya terluka terkena tembakan senapan [baca: Ambon Kembali Rusuh, Seorang Warga Tewas]. Kedua, peristiwa peledakan sejumlah mortir di beberapa kawasan Ibu Kota Provinsi Maluku itu Sabtu malam hingga Ahad pagi kemarin [baca: Serangkaian Ledakan Kembali Mengguncang Ambon ].
Berembus kabar burung bahwa peristiwa kedua terkait dengan penangkapan Panglima Laskar Jihad Ja`far Umar Thalib ketika tiba di Bandara Djuanda, Surabaya, Sabtu silam pukul 15.55 WIB, saat hendak menghadiri tablig akbar di Kota Malang. Selanjutnya, sejumlah petugas Mabes Polri segera menerbangkan Panglima Laskar Jihad tersebut ke Jakarta untuk diperiksa. Sedangkan tujuh pengawal Ja`far yang menyertainya sejak dari Ambon diperiksa di Mapolda Jatim dan kemudian dilepaskan Ahad petang kemarin.
Setibanya di Jakarta, tepat pukul 18.30 WIB, pria berjanggut dan berkumis lebat ini digiring ke Kantor Korps Reserse (Koserse) Mabes Polri. Selanjutnya, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirpidum) Brigadir Jenderal Polisi Aryanto Sutadi langsung memimpin pemeriksaan terhadap Ja`far dari Sabtu pukul 22.00 WIB hingga Ahad pukul 06.30 WIB. Dalam pemeriksaan itu, pria kelahiran Malang ini sempat menanyakan perihal penahanan di Mabes Polri. Menurut Panglima Laskar Jihad penahanannya tidak masuk akal. Bahkan, kekhawatiran polisi yang menyatakan dia akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan bakal mengulangi kegiatan yang sama dinilai tak beralasan. Ja`far yang dicecar 19 pertanyaan juga mempersoalkan tuduhan sangkaan terhadapnya. Dia menganggap tuduhan itu penuh rekayasa dan bermuatan politis untuk mengalihkan keadaan yang sebenarnya di Ambon.
Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Saleh Saaf, penangkapan itu bukanlah rekayasa, tapi murni hasil penyelidikan Polri. Berdasarkan bukti, antara lain dua buah kaset yang berisi rekaman tablig akbar, 25 April silam di Ambon, dan seruan lewat sebuah radio yang dilakukan Ja`far tiga hari setelah acara tersebut. Selain memprovokasi massa dan permusuhan terhadap pemerintah yang sah, menurut polisi isi kaset tersebut menghina Presiden serta aparat keamanan.
Seperti diketahui, Mabes Polri telah membeber cuplikan pidato Panglima Laskar Jihad itu, yang dijadikan pijakan untuk menjerat dengan tuduhan menghasut. Ucapan yang diyakini suara Ja’far itu diantaranya berbunyi: ...jangan takut gertakan Penguasa Darurat Sipil Ambon, tidak ada lagi rekonsiliasi, tidak ada lagi perjanjian Malino.
Menyikapi penangkapan Ja`far, Ketua Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Waljamaah Ayip Syafruddin menyatakan, tindakan polisi itu sebagai perbuatan melawan hukum. Itulah sebabnya, mereka akan menempuh jalur hukum dengan mempraperadilkan Polri. Ayip juga menilai penangkapan pemimpinnya kental dengan nuansa politis dan terkait dengan isu terorisme yang digalang Amerika Serikat. "Ini adalah bagian dari tekanan pemerintah AS untuk memberangus kekuatan Islam di Indonesia," ujar Ayip. Ayip menambahkan, pihaknya akan mengerahkan massa turun ke jalan. Namun, dia tak bersedia mengungkapkan kapan mereka akan turun ke jalan mendatangi Mabes Polri di Jalan Trunojoyo [baca: Penangkapan Ja`far Dituding Terkait Isu Terorisme AS].
Sehari setelah penangkapan Panglima Laskar Jihad, isu akan adanya unjuk rasa pun mulai santer beredar. Bahkan, Mabes Polri yang juga mendengar isu itu segera bertindak. Buktinya, sejak Ahad kemarin, Kantor Koserse Mabes Polri dijaga ketat dan para wartawan yang biasa bebas keluar masuk tidak diperkenankan lagi memasukinya. Untuk pengamanan, dua kompi Pasukan anti-Huru Hara (PHH) Brigade Mobil dan Pengendali Massa (Dalmas) Polda Metro Jaya bersiaga di dalam Mabes Polri.
Tak urung, utusan Laskar Jihad asal Surabaya yang hendak membesuk pemimpin mereka sempat tak diizinkan masuk. Namun, setelah beradu argumentasi, akhirnya seorang utusan diperbolehkan menemui Panglima Laskar Jihad. Menurut Santoso alias Muslim Tamam, dalam pertemuan yang berlangsung dua menit tersebut, Ja`far hanya berpesan agar anggotanya bersabar.
Sementara hingga Ahad malam kemarin, belum ada informasi kapan Ja`far Umar Thalib diperiksa oleh Tim Penyidik Mabes Polri. Informasi yang diperoleh dari Wakil Kabahumas Mabes Polri Brigjen Polisi Edward Aritonang menyebutkan, pemeriksaan yang dipimpin Dirpidum Brigjen Pol. Aryanto Sutadi akan dilakukan lagi secepatnya. Sejauh ini, Ja`far sendiri dikabarkan menolak menandatangani Berita Acara Penahanan (BAP).
Jika benar, Polri bakal menjerat Ja`far Umar Thalib dengan Pasal 134, Pasal 154, dan Pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Untuk penghinaan secara sengaja terhadap Presiden--Pasal 134--dia diancam pidana penjara paling lama enam tahun atau denda Rp 4.500. Sementara untuk menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah ia akan diancam pidana penjara maksimal tujuh tahun atau denda Rp 4.500. Sedangkan untuk tuduhan menghasut melalui lisan dan tulisan atau menentang penguasa umum serta tak menuruti peraturan yang berlaku--Pasal 160--ia akan diancam pidana kurungan maksimal enam tahun atau denda Rp 4.500.
Terlepas dari penangkapan terhadap Panglima Laskar Jihad itu, seyogianya pemerintah dan Polri menerapkan asas praduga tak bersalah serta mengutamakan rasa keadilan bagi semua pihak yang bertikai di Ambon. Tentu saja, dengan memperhatikan pembuktian secara hukum. Selain mengfokuskan penangkapan terhadap tersangka provokator, seharusnya pemerintah dan Polri lebih mendalami fakta mengenai sejumlah peristiwa yang memanaskan situasi keamanan di Bumi Ambon Manise. Dengan demikian, tak satu pun kelompok yang merasa dikorbankan atau diperlakukan tak adil. Dan sosialisasi Deklarasi Malino II pun dapat diterima semua pihak, sehingga perdamaian segera terwujud.(ANS)
Kenyataan ini terbukti saat polisi menangkap Ja`far di Bandar Udara Djuanda, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu pekan silam, sejumlah anggota Laskar Jihad di sejumlah kota memprotes penangkapan panglima mereka [baca: Ja`far Umar Thalib Ditangkap]. Sebut saja, Ambon, Makassar, dan Surabaya. Bahkan, protes di dua kota yang terakhir disebut ini hampir terjadi bentrokan antara anggota Laskar Jihad dan aparat keamanan. Sedangkan Ja`far Umar sendiri mengatakan bahwa dasar penangkapan terhadap dirinya hanya mengada-ada. Juga sebagai pengalihan kasus Ambon karena pemerintah tak mampu menyelesaikan kasus Republik Maluku Selatan dan insiden Soya, 25 dan 26 April silam [baca: Ja`far: Tuduhan Itu Hanya Mengada-ada].
Bagi Osama bin Laden-nya Indonesia ini--julukan yang diberikan media Amerika Serikat New York Times, penangkapan ini adalah untuk kedua kalinya. Tahun silam, tepatnya 4 Mei 2001, Polri menangkap Panglima Laskar Jihad ini di Bandara yang sama [baca: Panglima Laskar Jihad Ditangkap]. Dia dituduh memprovokasi massa di Ambon, Maluku. Belakangan, tuduhan penghasutan massa tadi dibelokkan Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Bimantoro--Kapolri saat itu--menjadi terlibat kasus rajam terhadap anggota Laskar Jihad di Ambon. Menyusul penangkapan Ja`far, sejumlah anggota Laskar Jihad berulang kali mendatangi Markas Besar Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Akhirnya, beberapa hari kemudian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa penangkapan Ja`far oleh Polri tidak sah [baca: Pengadilan Memutuskan Penangkapan Ja`far Tak Sah].
Kalau boleh kilas balik, hingga awal 2002, kelompok Islam di bawah komando Laskar Jihad banyak meraih kemenangan di sejumlah front. Kendati demikian, peta politik di Ambon, sempat berubah setelah tercapai kesepakatan Malino II di Sulawesi Selatan, 12 Februari 2002 [baca: Sebelas Kesepakatan Mengakhiri Pertemuan Malino]. Ketika itu, pemerintah pusat menggagas pertemuan antara kelompok Islam dan Kristen untuk segera mengakhiri pertikaian antaragama. Dengan kata lain, pemerintah pusat tampaknya ingin menegakkan hukum di wilayah Seribu Pulau itu. Caranya, dengan mengoptimalkan kinerja Penguasa Darurat Sipil Daerah Maluku Saleh Latuconsina yang juga menjabat gubernur setempat.
Upaya mengurai benang kusut konflik Ambon pun bergulir. Segera PDSD Maluku mencanangkan sosialisasi sebelas butir Deklarasi Malino II, perlucutan senjata api hingga sweeping senjata [baca: Warga Ambon Mulai Menyerahkan Senjata]. Sayangnya, niat membaurkan kembali komunitas dua agama dinodai kericuhan [baca: Pawai Damai di Ambon Dinodai Kericuhan]. Benang kusut pun kembali menyelimuti Ambon. Buntutnya, pemerintah pusat menuding sejumlah kelompok garis keras tak menginginkan perdamaian di Bumi Ambon Manise. Meski tak langsung menunjuk hidung nama kelompok, sejumlah kalangan telah memperkirakan bahwa Laskar Jihad dan Front Kedaulatan Maluku yang dijadikan sasaran.
Hanya dalam hitungan dua bulan pascapertemuan Malino II, Kota Ambon kembali memanas dan mencekam. Pertama, peledakan dan aksi sejumlah massa yang membakar Kompleks Kantor Gubernur Maluku [baca: Ambon Kembali Rusuh, Kantor Gubernur Dibakar]. Kedua insiden tersebut belum hilang dalam ingatan, warga Ambon kembali resah oleh rencana perayaan Hari Ulang Tahun ke-52 Republik Maluku Selatan, 25 April silam. Meski aparat keamanan telah menangkap sejumlah pengurus FKM, toh pada hari-H sejumlah bendera RMS sempat mengudara dengan menggunakan balon-balon gas [baca: Tokoh Garis Keras Maluku Akan Dipanggil].
Hal inilah yang dianggap sebagian kelompok Islam sebagai ketidakmampuan aparat keamanan mencegah insiden tersebut. Mereka pun menggelar protes dan tablig akbar. Di Masjid Al-Fatah, Ambon, misalnya [baca: Tablig Akbar di Ambon Dibubarkan Polisi]. Di sinilah, Panglima Laskar Jihad Ja`far Umar Thalib sempat berorasi menyayangkan insiden tersebut sekaligus mengecam PDSD Maluku, pemerintah pusat, dan aparat keamanan yang dianggap tak mampu mencegah aksi pendukung RMS [baca: Puluhan Pengibar Bendera RMS Ditahan].
Beberapa jam kemudian, tepatnya 26 April dinihari, warga Ambon dikejutkan penyerangan terhadap Desa Soya dan Desa Ahoru, Kecamatan Sirimau [baca: Dua Ledakan Mengguncang Ambon, 12 Orang Tewas]. Dalam peristiwa itu, ratusan massa berseragam loreng dan hitam-hitam menyerang dua desa di pegunungan itu dengan meledakkan sejumlah mortir dan menembaki puluhan warga sipil tak berdosa. Akibatnya, 12 orang tewas dan belasan lainnya cedera serta puluhan rumah hancur.
"Jumat Subuh Berdarah" itu memancing sejumlah kalangan mengusulkan perubahan status Darurat Sipil menjadi Darurat Militer [baca: Pro-Kontra Pemberlakuan Darurat Militer Terus Bergulir]. Sebut saja, Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. dan Ketua DPA Achmad Tirtosudiro sempat melontarkan usulan tersebut. Namun, Presiden Megawati Sukarnoputri dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Da`i Bachtiar justru menyatakan bahwa penerapan Darurat Militer masih menjadi pertimbangan. Sebab, pemerintah masih akan mengupayakan penyelesaian konflik Ambon melalui cara damai atau penegakan hukum [baca: Pemerintah Mempertimbangkan Darurat Militer di Maluku].
Keputusan pemerintah tadi segera disambut hangat sebagian kalangan. Maka, sejumlah tokoh agama yang tergabung dalam Forum Gerakan Moral Nasional (FGMN) serta Tim Asistensi Maluku pun pergi ke daerah konflik tersebut. Setelah berkunjung ke sana, mereka kemudian merekomendasikan kepada pemerintah agar mengoptimalkan kinerja PDSD Maluku agar bersikap tegas tanpa harus memberlakukan Darurat Militer [baca: Lintas Agama Menolak Pemberlakuan Darurat Militer].
Tapi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi yang turut dalam rombongan FGMN bersuara lain. Dia mensinyalir gerakan separatis di Maluku yang berupaya menggagalkan kesepakatan damai Malino II [baca: Hasyim Muzadi: Perusuh Ambon Terkait Jaringan Internasional]. Gerakan ini diduga terkait erat dengan jaringan nasional dan internasional dengan menggunakan isu suku, agama, ras, serta antargolongan. Tujuannya, untuk mengacaukan dan merusak perdamaian di Maluku.
Beberapa hari kemudian, Hasyim mengklarifikasi pernyataannya. Menurut dia, gerakan separatis di Maluku tidak bisa diidentikkan dengan satu agama tertentu. Sebab, baik komunitas Islam maupun Kristen di Maluku sama-sama tak menghendaki kembali terjadi pertikaian. Karena itu, situasi di Ambon bisa kembali pulih apabila aparat keamanan bertindak lebih tegas. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla meminta para pemuka agama tak mengeluarkan pernyataan yang dapat memanaskan Ambon [baca: Pemuka Agama Diminta Mendinginkan Ambon].
Konflik Ambon yang kembali memanas juga mendapat sorotan dari anggota Parlemen Uni Eropa. Saat bertemu Ketua DPR Akbar Tandjung, Rabu pekan silam, mereka memandang bahwa pertikaian di Ambon karena konflik agama [baca: Konflik Agama Dianggap Pemicu Kerusuhan Ambon]. Seolah menjawab tudingan tersebut, dua hari kemudian, Wakil Presiden Hamzah Haz meminta aparat keamanan di Ambon, mengambil tindakan tegas terhadap aksi-aksi yang dilakukan kelompok RMS yang tergolong sebagai gerakan separatisme [baca: Wapres Meminta Aparat Keamanan Menindak RMS]. Sebelumnya, Wapres sempat menduga insiden Soya sebagai ekses pengibaran bendera RMS.
Seruan Wapres tersebut tampaknya tak mudah dijawab Polri. Buktinya, Kapolri Jenderal Polisi Da`i Bachtiar mengakui adanya kendala dalam menangani provokator di Ambon. Namun, Polri akan menindak tegas tanpa pandang bulu bagi warga yang melanggar hukum [baca: Kapolri: Polisi Tak Pandang Bulu Menindak Perusuh]. Seiring dengan upaya pemulihan keamanan di Ambon, berembus kabar tak sedap dari Ambon yang menyebutkan hubungan antara PDSD Maluku dan penguasa militer di sana tegang. Pasalnya, militer di Ambon tak mematuhi perintah Gubernur Maluku Saleh Latuconsina selaku PDSD di daerah konflik itu. Pertikaian tersebut diakui Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Endriartono Sutarto [baca: KSAD: Tak Ada Pembangkangan Militer di Ambon]. Bisa jadi, hal ini sebagai bentuk kekecewaan militer yang sebelumnya menginginkan pengubahan status Darurat Sipil menjadi Darurat Perang.
Terlepas dari ketegangan antara PDSD Maluku dan penguasa militer setempat, upaya Polri untuk memulihkan keamanan di Ambon mendapat dukungan dari Presiden Megawati Sukarnoputri. Menurut Presiden Megawati, ada sosok perekayasa di balik konflik Ambon yang terus membara. Megawati juga mengecam perusuh Ambon yang dinilai sebagai provokator antikeamanan selama ini di Kepulauan Maluku [baca: Megawati Mengecam Perusuh Ambon Sebagai Provokator]. Namun, Ketua DPRD Maluku Zeth Sahuburua mengharapkan pemerintah pusat tak terjebak dengan kesan seolah-olah keadaan atau status Darurat Militer dibutuhkan di daerah tersebut. Menurut dia, justru optimalisasi kewenangan Penguasa Darurat Sipil Daerah Maluku yang perlu dilakukan.
Menyikapi konflik yang kembali membara di Ambon, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai pemerintahan Megawati tidak memiliki koordinasi yang baik dalam mengatasi konflik yang terjadi. Megawati dinilai tak memiliki basis dukungan yang kuat serta tidak percaya diri kalau punya basis dukungan. Sedangkan sejarawan Anhar Gonggong memandang konflik berkepanjangan di Maluku, khususnya Kota Ambon, sebenarnya dapat selesai hanya dalam sepekan. Tinggal kemauan dari pemerintah pusat untuk segera turun langsung menangani masalah ini. Sebab, permasalahan yang terjadi bukannya konflik antaragama, tapi konflik antarkepentingan.
Belum lagi pemerintah dan Polri bertindak lebih jauh untuk memulihkan keamanan, lagi-lagi Kota Ambon dilanda kerusuhan pada Sabtu pekan silam. Tak tanggung-tanggung, dua peristiwa sempat membuat situasi Ambon mencekam dan memanas. Pertama adalah bentrokan antara dua kelompok di Tugu Trikora yang mengakibatkan seorang warga tewas dan tujuh lainnya terluka terkena tembakan senapan [baca: Ambon Kembali Rusuh, Seorang Warga Tewas]. Kedua, peristiwa peledakan sejumlah mortir di beberapa kawasan Ibu Kota Provinsi Maluku itu Sabtu malam hingga Ahad pagi kemarin [baca: Serangkaian Ledakan Kembali Mengguncang Ambon ].
Berembus kabar burung bahwa peristiwa kedua terkait dengan penangkapan Panglima Laskar Jihad Ja`far Umar Thalib ketika tiba di Bandara Djuanda, Surabaya, Sabtu silam pukul 15.55 WIB, saat hendak menghadiri tablig akbar di Kota Malang. Selanjutnya, sejumlah petugas Mabes Polri segera menerbangkan Panglima Laskar Jihad tersebut ke Jakarta untuk diperiksa. Sedangkan tujuh pengawal Ja`far yang menyertainya sejak dari Ambon diperiksa di Mapolda Jatim dan kemudian dilepaskan Ahad petang kemarin.
Setibanya di Jakarta, tepat pukul 18.30 WIB, pria berjanggut dan berkumis lebat ini digiring ke Kantor Korps Reserse (Koserse) Mabes Polri. Selanjutnya, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirpidum) Brigadir Jenderal Polisi Aryanto Sutadi langsung memimpin pemeriksaan terhadap Ja`far dari Sabtu pukul 22.00 WIB hingga Ahad pukul 06.30 WIB. Dalam pemeriksaan itu, pria kelahiran Malang ini sempat menanyakan perihal penahanan di Mabes Polri. Menurut Panglima Laskar Jihad penahanannya tidak masuk akal. Bahkan, kekhawatiran polisi yang menyatakan dia akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan bakal mengulangi kegiatan yang sama dinilai tak beralasan. Ja`far yang dicecar 19 pertanyaan juga mempersoalkan tuduhan sangkaan terhadapnya. Dia menganggap tuduhan itu penuh rekayasa dan bermuatan politis untuk mengalihkan keadaan yang sebenarnya di Ambon.
Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Saleh Saaf, penangkapan itu bukanlah rekayasa, tapi murni hasil penyelidikan Polri. Berdasarkan bukti, antara lain dua buah kaset yang berisi rekaman tablig akbar, 25 April silam di Ambon, dan seruan lewat sebuah radio yang dilakukan Ja`far tiga hari setelah acara tersebut. Selain memprovokasi massa dan permusuhan terhadap pemerintah yang sah, menurut polisi isi kaset tersebut menghina Presiden serta aparat keamanan.
Seperti diketahui, Mabes Polri telah membeber cuplikan pidato Panglima Laskar Jihad itu, yang dijadikan pijakan untuk menjerat dengan tuduhan menghasut. Ucapan yang diyakini suara Ja’far itu diantaranya berbunyi: ...jangan takut gertakan Penguasa Darurat Sipil Ambon, tidak ada lagi rekonsiliasi, tidak ada lagi perjanjian Malino.
Menyikapi penangkapan Ja`far, Ketua Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Waljamaah Ayip Syafruddin menyatakan, tindakan polisi itu sebagai perbuatan melawan hukum. Itulah sebabnya, mereka akan menempuh jalur hukum dengan mempraperadilkan Polri. Ayip juga menilai penangkapan pemimpinnya kental dengan nuansa politis dan terkait dengan isu terorisme yang digalang Amerika Serikat. "Ini adalah bagian dari tekanan pemerintah AS untuk memberangus kekuatan Islam di Indonesia," ujar Ayip. Ayip menambahkan, pihaknya akan mengerahkan massa turun ke jalan. Namun, dia tak bersedia mengungkapkan kapan mereka akan turun ke jalan mendatangi Mabes Polri di Jalan Trunojoyo [baca: Penangkapan Ja`far Dituding Terkait Isu Terorisme AS].
Sehari setelah penangkapan Panglima Laskar Jihad, isu akan adanya unjuk rasa pun mulai santer beredar. Bahkan, Mabes Polri yang juga mendengar isu itu segera bertindak. Buktinya, sejak Ahad kemarin, Kantor Koserse Mabes Polri dijaga ketat dan para wartawan yang biasa bebas keluar masuk tidak diperkenankan lagi memasukinya. Untuk pengamanan, dua kompi Pasukan anti-Huru Hara (PHH) Brigade Mobil dan Pengendali Massa (Dalmas) Polda Metro Jaya bersiaga di dalam Mabes Polri.
Tak urung, utusan Laskar Jihad asal Surabaya yang hendak membesuk pemimpin mereka sempat tak diizinkan masuk. Namun, setelah beradu argumentasi, akhirnya seorang utusan diperbolehkan menemui Panglima Laskar Jihad. Menurut Santoso alias Muslim Tamam, dalam pertemuan yang berlangsung dua menit tersebut, Ja`far hanya berpesan agar anggotanya bersabar.
Sementara hingga Ahad malam kemarin, belum ada informasi kapan Ja`far Umar Thalib diperiksa oleh Tim Penyidik Mabes Polri. Informasi yang diperoleh dari Wakil Kabahumas Mabes Polri Brigjen Polisi Edward Aritonang menyebutkan, pemeriksaan yang dipimpin Dirpidum Brigjen Pol. Aryanto Sutadi akan dilakukan lagi secepatnya. Sejauh ini, Ja`far sendiri dikabarkan menolak menandatangani Berita Acara Penahanan (BAP).
Jika benar, Polri bakal menjerat Ja`far Umar Thalib dengan Pasal 134, Pasal 154, dan Pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Untuk penghinaan secara sengaja terhadap Presiden--Pasal 134--dia diancam pidana penjara paling lama enam tahun atau denda Rp 4.500. Sementara untuk menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah ia akan diancam pidana penjara maksimal tujuh tahun atau denda Rp 4.500. Sedangkan untuk tuduhan menghasut melalui lisan dan tulisan atau menentang penguasa umum serta tak menuruti peraturan yang berlaku--Pasal 160--ia akan diancam pidana kurungan maksimal enam tahun atau denda Rp 4.500.
Terlepas dari penangkapan terhadap Panglima Laskar Jihad itu, seyogianya pemerintah dan Polri menerapkan asas praduga tak bersalah serta mengutamakan rasa keadilan bagi semua pihak yang bertikai di Ambon. Tentu saja, dengan memperhatikan pembuktian secara hukum. Selain mengfokuskan penangkapan terhadap tersangka provokator, seharusnya pemerintah dan Polri lebih mendalami fakta mengenai sejumlah peristiwa yang memanaskan situasi keamanan di Bumi Ambon Manise. Dengan demikian, tak satu pun kelompok yang merasa dikorbankan atau diperlakukan tak adil. Dan sosialisasi Deklarasi Malino II pun dapat diterima semua pihak, sehingga perdamaian segera terwujud.(ANS)