Sukses

Polisi: 1 Anggota Hacker Surabaya Itu Terpidana Kasus Pedofil Online

Polisi meringkus tiga mahasiswa pelaku pembobolan 600 website dalam dan luar negeri yang merupakan bagian dari Komunitas Surabaya Black Hat (SBH).

Liputan6.com, Jakarta - Polisi meringkus tiga mahasiswa hacker atau pelaku pembobolan 600 website dalam dan luar negeri yang merupakan bagian dari Komunitas Surabaya Black Hat (SBH). Dalam penelusuran, ternyata anggota kelompok itu merupakan terpidana kasus pedofilia online di akun media sosial Facebook Official Candy's Group.

Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu menyampaikan, orang tersebut adalah Mochammad Bahrul Ulum (25) alias Wawan alias Snorlax.

"Dari informasi hasil chating Telegram grup SBH ini, ternyata ada juga yang sudah terpidana. Dia yang terjerat kasus pornografi tahun lalu yang Lolly Candy, si Snorlax anggota SBH ini," tutur Roberto di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (13/3/2018).

Menurut Roberto, komunitas hacker SBH memiliki 700 anggota. Aksi dari tiga tersangka yang dibekuk telah merugikan banyak perusahaan.

"Kalau mau diperbaiki harus bayar uang bervariasi Rp 15 juta sampai Rp 25 juta. Kalau enggak mau bayar, dirusak sistem itu," jelas Roberto.

Atas perbuatannya, para tersangka hacker berinisial KPS (21), AN (21), dan ATP (21) terancam kurungan penjara 8 sampai 12 tahun.

2 dari 2 halaman

Retas Sistem 44 Negara

Tiga mahasiswa Surabaya pelaku pembobolan 600 website dalam dan luar negeri ternyata telah meretas sistem di 44 negara. Para hacker yang menjadi bagian dari Komunitas Surabaya Black Hat (SBH) itu melancarkan aksinya dengan menggunakan metode SQL Injection untuk merusak database.

"Total ada 44 negara dan tidak menutup akan bertambah. Ini masih dalam lidik," ujar Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (13/3/2018).

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, pihaknya mengungkap kasus tersebut setelah menerima informasi dari pusat pelaporan kejahatan di New York, Amerika Serikat, bahwa terdata puluhan sistem berbagai negara rusak.

Setelah ditelusuri, ternyata pelakunya menggunakan IP Address yang berada di Indonesia, tepatnya Surabaya.

"Kita kerja sama dan mendapat informasi itu. Kita analisis sampai dua bulan berdasarkan informasi dari FBI itu," kata Argo.