Liputan6.com, Jakarta - Tenaga Kerja Indonesia (TKI), mengadu nasib di negeri orang dan harus jauh dari keluarga tanpa tahu kapan akan berjumpa lagi. Bahkan, momen bersama keluarga sebelum bertolak dari Tanah Air bisa jadi pertemuan terakhir.
Menyandang gelar pahlawan devisa, nama mereka tak pernah disebut dalam buku teks sejarah. Meski, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perindustrian pada 2017 menyebut, TKI adalah penyumbang devisa terbesar ke 6 yakni sebesar Rp 140 triliun.
Jangankan mendapat upah, hidup tenang tanpa siksaan jadi mimpi di siang bolong bagi sebagian dari mereka.
Advertisement
Misalnya saja Adelina (21). Perempuan asal NTT ini harus meregang nyawa pada 11 Februari 2018 akibat perlakuan tak manusiawi dari majikannya.
Lewat foto yang beredar, kondisi terakhir Adelina sungguh menyayat hati. Adelina duduk di lantai yang kemudian diketahui sebagai kandang anjing. Dia juga tidur bersama anjing majikannya selama sebulan terakhir.
Tubuhnya yang dibalut kemeja lusuh, kurus. Lebam di seluruh wajah Adelina juga tak mampu disembunyikan.
Kabar terbaru datang dari Zaini Misrin, yang menambah daftar panjang TKI yang dieksekusi mati pada Minggu, 18 Maret 2018 oleh pemerintah Arab Saudi. Pria asal Madura ini divonis hukuman mati atas tuduhan membunuh majikannya yang bernama Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy.
Bantahan Zaini mengenai tuduhan itu tidak dihiraukan oleh otoritas Saudi. Pengadilan Mekah tetap menjatuhkan hukuman mati untuk Zaini pada 2008.
Padahal, ada peraturan pemberitahuan kepada kerabat yang wajib dilakukan pemerintah Saudi beberapa hari sebelum waktu eksekusi tiba. Namun, negara yang paling banyak memberikan vonis hukuman mati ini justru menyampaikan kabar mengenai Zaini setelah hembusan napas terakhirnya.
Menurut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Migrant Care, ada sejumlah hal fatal yang menyebabkan eksekusi mati terhadap Zaini bisa lolos terjadi begitu saja. Salah satu penyebab utama adalah keterlambatan akses kekonsuleran, pendampingan, serta bantuan hukum terhadap Zaini.
Selain minimnya pendampingan terhadap Zaini karena sulitnya akses yang diberikan, pemerintah Saudi juga diduga tidak netral selama proses hukum berjalan. Sebab, satu dari tiga penerjemah enggan menandatangani dokumen karena dianggap ada perbedaan terjemahan yang bisa mengakibatkan pada kekeliruan.
Zaini bukanlah kasus pertama TKI yang dieksekusi tanpa pemberitahuan. Pada 2015, Siti Zaenab harus menyerahkan nyawanya di bawah otoritas Saudi akibat tuduhan membunuh majikannya.
Siti Zaenab merupakan salah satu kasus eksekusi mati TKI yang menjadi sorotan lantaran melibatkan upaya diplomasi tiga pemerintahan yakni Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Meski menerima pendampingan hukum yang lebih baik dari Zaini, nyawa Siti Zaenab tetap tak bisa terselamatkan.
Â
Perlindungan Terhadap TKI
Pemerintah seperti buntu ketika upaya diplomasi tak membuahkan hasil. Memang perlindungan terhadap TKI tak bisa dilakukan secara mendadak. Mereka sudah harus dilindungi sejak sebelum keberangkatan. Langkah-langkah yang bisa ditempuh adalah seperti pendataan lokasi bekerja, daftar kontak dengan pengguna jasa di luar negeri, dan kabar rutin setiap TKI yang harus disampaikan kepada keluarga.
Hal tersebut tentu saja masih jauh dalam jangkauan. Sebab, sistem dan proses pemberangkatan TKI belum jelas alias abu-abu. Banyak cara yang bisa ditempuh TKI agar bisa berangkat ke luar negeri untuk bekerja, misalnya melalui pemerintah atau jasa penyalur yang kerap kali korup. Agen penyalur TKI tak ragu mengubah data pendaftar yang tidak sesuai supaya memenuhi syarat keberangkatan seperti memalsukan umur.
Meskipun penyalur jasa TKI tersebut legal atau ada dalam daftar pemerintah, aksi ilegal tetap tak bisa dihindari. Belum lagi bila memang, calon TKI memilih berangkat dengan cara ilegal.
Daftar eksekusi mati TKI akan terus bertambah, menjadi catatan buruk pemerintah yang tak terselesaikan selama perangkat hukum guna melindungi para pekerja di luar negeri belum terealisasi. Apalagi Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah berulang kali menyayangkan UU nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang baru menitikberatkan pada kata 'penempatan' dengan hanya menguntungkan pihak swasta.
Advertisement