Liputan6.com, Jakarta Timbunan sampah di kota-kota besar Indonesia sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan. DKI Jakarta misalnya, timbunan sampahnya sudah mencapai 7.000 ton per hari. Belum lagi kota-kota besar lainnya, jika dijumlahkan bisa ada puluhan ribu ton sampah per hari. Tak mengherankan jika pengurangan dan pemanfaatan sampah pun menjadi fokus dari pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Advertisement
Sebagai langkah awal untuk mengurangi dan memanfaatkan sampah, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta memulai pilot project pengolahan sampah dengan teknologi termal pun di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang.
Kepala BPPT Unggul Priyanto mengungkapkan teknologi termal dilengkapi dengan sarana pengendalian pencemaran yang aman terhadap lingkungan.
“Teknologi (termal) ini sudah proven dan paling banyak dipakai di negara maju seperti Jepang, Jerman dan negara-negara di Eropa lainnya. Teknologi ini dilengkapi dengan sarana pengendalian pencemaran baik pencemaran air maupun udara sehingga aman terhadap lingkungan,” ungkap Unggul Priyanto saat acara Groundbreaking Pembangunan Pilot Project Pengolahan Sampah secara Termal (PLTSa), di TPST Bantar Gebang.
Kepala BPPT juga menerangkan bahwa teknologi pengolahan sampah secara termal ini juga dapat menghasilkan listrik dari sampah, sehingga sering disebut dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Pilot Project ini mempunyai kapasitas 50 ton per hari, dengan hasil listrik 400 Kw, menggunakan teknologi termal tipe Stoker-grate.
“Namun demikian perlu disepakati bahwa tujuan utama dari penerapan teknologi termal disini, adalah untuk pemusnahan sampah secara cepat. Jadi listrik yang dihasilkan, anggap saja hanya sebagai bonus,” jelasnya.
Pilot Project PLTSa yang akan dibangun di Bantar Gebang ini pun mulai dari desain dan pelaksanaan pekerjaan pembangunanya akan dilakukan oleh putra bangsa Indonesia sendiri, sebagai upaya peningkatan daya saing dan mewujudkan kedaulatan bangsa.
“Kami mengharapkan agar Pembangunan Pilot Project PLTSa ini akan selesai dalam satu tahun. Untuk itu diperlukan komitmen tinggi dari kedua belah pihak, serta dukungan dan sinergi antar pemangku kepentingan lainnya.Setelah selesai pembangunan, uji coba dan pengoperasianya akan dilakukan bersama antara BPPT dengan Pemprov DKI Jakarta yang diatur dalam suatu perjanjian kerjasama,” ucap Kepala BPPT di akhir sambutannya.
Teknologi Pengolah Sampah
Merinci mengenai teknologi ini, Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT, Rudi Nugroho menjelaskan bahwa pemilihan teknologi termal dilakukan oleh BPPT berdasarkan kriteria Best Available Technology Meet Actual Need (BATMAN) yaitu teknologi terbaik (proven) yang banyak digunakan di dunia dan cocok untuk jenis dan kondisi sampah di Indonesia dan ramah lingkungan serta potensi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tinggi.
“Pilot Project Pengolahan Sampah Proses Termal (PLTSa) Bantar Gebang ini sebagian besar peralatan merupakan produksi dalam negeri. PLTSa terdiri dari 4 (empat) peralatan utama yaitu bunker terbuat dari concrete yang dilengkapi dengan platform dan crane; ruang bakar dengan reciprocating grate yang di desain dapat membakar sampah dengan suhu diatas 950⁰C sehingga meminimalisir munculnya gas buang yang mencemari lingkungan. Panas yang terbawa pada gas buang hasil pembakaran sampah, digunakan untuk mengkonversi air dalam boiler menjadi steam di dalam boiler. Steam yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin untuk menghasilkan listrik.” paparnya.
Pilot project PLTSa ini akan menggunakan sampah dari TPA Bantargebang dengan desain nilai kalori (LHV) yang ditetapkan sebesar 1500 kkal/kg, kapasitas sebesar 50 ton sampah/hari dan mampu menghasilkan listrik sekitar 400 kW.
Produksi listrik ditargetkan minimal dapat mencukupi kebutuhan internal peralatan PLTSa. Emisi gas buang yang dihasilkan juga telah ditetapkan memenuhi Baku Mutu Emisi dalam Permen LHK Nomer 70/2016.
“Desain Pilot Project PLTSa ini sangat kompak, indah dan tertutup rapi yang akan digunakan sebagai pusat studi sekaligus wisata edukasi pengolahan sampah. Semoga dapat menjadi percontohan serta pilihan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, guna menyelesaikan permasalahan sampah kota-kota besar di tanah air,” pungkasnya.
Perlu diketahui bahwa di Indonesia, umumnya pemrosesan akhir sampah masih menggunakan Tempat Pemrosesan Akhir sistem Landfill/penimbunan. Teknologi Landfill ini memerlukan waktu proses yang lama, lahan yang luas, dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan.
Potensi pencemaran dari landfill berupa air lindi dan emisi gas-gas berbahaya bagi lingkungan harus dipantau dan harus ditangani. Pemantauan dan penanganan potensi pencemaran dari landfill ini juga memerlukan biaya yang tidak sedikit karena berlangsung dalam waktu yang lama.
Kota-kota besar di Indonesia, khususnya DKI Jakarta dengan timbulan sampah mencapai 7000 ton/hari, memerlukan solusi penanganan sampah yang dapat memusnahkan sampah secara cepat, signifikan dan ramah lingkungan, yaitu dengan proses termal.
(*)