Liputan6.com, Jakarta - Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (SDM) Irjen Arief Sulistyanto meluncurkan buku berjudul 'Arief Effect: Setahun Revolusi Senyap di Dapur Polri'. Buku tersebut ditulis oleh jurnalis senior Farouk Arnaz.
Buku setebal 181 halaman tersebut mengupas cerita soal upaya Arief bersama jajarannya di SDM merevolusi sistem rekruitmen di tubuh Polri. Hasilnya, selama setahun terakhir menjabat sebagai Asisten SDM Polri, Arief mampu membawa perubahan lebih baik.
Baca Juga
Dalam sambutannya, Arief mengaku mengenal Farouk sebagai wartawan yang sangat kritis dan tidak takut apapun. Setelah melalui komunikasi yang cukup intensif, Arief akhirnya mempersilakan Farouk menulis buku selama tidak mengupas profilnya.
Advertisement
"Saya katakan, silakan menulis tapi jangan tentang diri saya. Saya pesan ke Mas Farouk, jangan jual diri saya, tapi juallah perubahan-perubahan. Dalam bedah buku pun saya tidak ikut-ikut," ujar Arief dalam acara peluncuran buku 'Arief Effect' di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Sabtu (24/3/2018).
Terkait revolusi ini, Arief menganalogikan kondisi di internal Polri saat itu seperti kendaraan bobrok. Dan Arief bersama jajarannya berperan sebagai montir.
Dalam menjalankan tugasnya, Arief kerap mendapatkan kritikan dari rekan-rekannya di Polri. Namun, Arief bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya dan jajaran di SDM Polri, mampu memberikan perubahan yang lebih baik.
"Kami semuanya tidak risih dengan semua kritikan itu, karena itulah yang membuat saya merasa tidak sendiri. Selama ini saya dikatakan 'kamu sendirian kalau bersikap itu'. Ternyata saya tidak sendirian. Cukup setahun sudah terjadi satu perubahan," kata dia.
Farouk Arnaz selaku penulis mengatakan, sistem rekruitmen Polri selama ini cukup dikenal buruk oleh publik. Namun selama setahun terakhir, citra negatif tersebut mulai pudar dan justru nampak adanya perbaikan.
"Di Sumber Daya Manusia Polri, ada KKN internal, ada istilah jeruk makan jeruk dan KKN eksternal, seperti perekrutan polisi. Namun semenjak Pak Arief (menjabat sebagai Asisten SDM), ada perbaikan," kata Farouk.
Farouk juga menjelaskan tujuan menulis buku ini, yakni tak lain agar sistem positif yang dilakukan Bidang SDM Polri tetap stabil, bahkan meningkat dan menciptakan institusi yang berintegritas.
"Jadi nanti kalau Pak Arief misalnya 'goyang' di tengah jalan, saya sudah bilang 'Pak, buku ini sudah banyak dibaca orang loh'. Jadi Pak Arief tidak akan melakukan tindakan negatif ke depannya," canda Farouk.
Â
Banjir Pujian
Pengabdian Arief selama setahun menjadi Asisten Kapolri Bidang SDM menuai banyak pujian. Revolusi senyap yang dilakukan jenderal bintang dua itu terasa bagi kepolisian di seluruh penjuru Tanah Air.
"Sebagai anggota Kompolnas, saya terus berkeliling ke 33 Polda. Judul buku ini tepat sekali, karena efek Arief sudah menggetar ke seluruh pelosok Indonesia," ujar anggota Kompolnas Irjen Purnawirawan Bekto Suprapto.
"Ini sudah menggetar ke seluruh Polda bahkan Polres di Indonesia. Banyak bintara bahkan perwira mengucap syukur kepada Pak Arief," sambung dia.
Mantan Koordinator Kontras, Haris Azhar mengapresiasi revolusi senyap yang dilakukan Arief. Menurut dia, seharusnya seluruh anggota Polri meniru cara Arief dalam memperbaiki tubuh Polri.
Meski begitu, ia mengungkapkan bahwa kesuksesan Arief tak lepas dari sosok Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. "Kalau nggak ada Pak Tito, habis semua ini," ujar Haris.
Aktivis HAM dari Lokataru ini menuturkan, pembenahan institusi sebesar Polri sangat sulit dilakukan tanpa dukungan Tito selaku pucuk pimpinan. Menurut dia, sikap Tito cukup menentukan keberhasilan Arief.
Hal serupa juga disampaikan pemimpin redaksi majalah Tempo, Arif Zulkifli. Dia menilai, potensi Arief sudah cukup terlihat jauh sebelum dia menjabat sebagai Asisten Kapolri Bidang SDM.
"Pertemuan saya, Mas Arief dan Cak Farouk ini, kami punya satu irisan yaitu kasus Munir. Dari jauh saya lihat polisi melakukan terobosan luar biasa dan menghasilkan putusan-putusan yang sekarang," kata dia.
Saat Arief menjabat sebagai penyidik di Bareskrim Polri, dia dan timnya berhasil menerjemahkan secara ilmiah, bagaimana racun yang bekerja di tubuh aktivis HAM, Munir, sehingga Pollicarpus yang semula bebas, terbukti sebagai pelaku pembunuhan Munir.
Selain itu, Arif juga memiliki pengalaman lain dengan Arief dalam kasus salah tangkap terhadap budayawan JJ Rizal. Di situ Arief berani mengakui bahwa Polri melakukan kesalahan.
"Kalau kita bicara panjang lebar tentang terobisan Mas Arief di SDM, itu bukan ujug-ujug. Kalau saya baca bukunya, Mas Arief terutama melakukan transparansi rekruitmen, lalu pembenahan mental personel. Yang lain saya kira yang tidak ditulis Arief melakukan desentralisasi jalan karier seseorang," ucap Arif.
Pujian juga datang dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Meski satu angkatan di Akpol 1987, kekaguman Tito terhadap Arief terletak ketika rekannya itu menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri.
Dia sukses memimpin direktorat yang penuh godaan itu selama empat tahun. Belum lagi ketegasannya selama menjabat sebagai Kapolda Kalimantan Barat selama dua tahun. Dia bahkan berani mengungkap kasus korupsi sebesar Rp 6,5 miliar di tubuh Polri dengan memidanakan AKBP ET.
"Pilihan saya tidak salah. Karena sejak menjabat sebagai As SDM Polri, Arief melakukan berbagai perbaikan mulai dari rekruitmen yang bersih dengan sistem teknologi informasi, pembinaan karir yang berdasarkan merit system, dan perbaikan mentalitas anggota Polri," ucap Tito dalam kata pengantar buku 'Arief Effect'.
"Perlahan perubahan terjadi dan membuat sistem manajemen personel Polri menjadi semakin baik," sambung Tito.
Advertisement