Liputan6.com, Jakarta: Salah satu masalah Jakarta sebagai kota metropolitan adalah soal air bersih. Saat ini krisis air bersih masih menjadi isu utama. Bahkan, Jakarta termasuk dalam kategori kota miskin air bersih.
Pernyataan itu disampaikan Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nurkholis Hidayat dalam jumpa persnya bersama Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Privatisasi Air, di kantor LBH Jakarta, Rabu (22/6). Menurutnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 hanya 25 persen warga Jakarta yang bisa menikmati akses layanan air pipa. "Itu pun kualitasnya buruk dengan pasokan yang tidak 24 jam selama 7 hari," kata Nurkholis.
Menurut Nurkholis, hal itu terjadi akibat ketidakmampuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Salah satu alasannya adalah terlibatnya perusahaan swasta, PT Palyja dan PT Aetra dalam mengelola air bersih.
Karenanya, Nurkholis bersama Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Privatisasi Air mendesak Pemprov DKI Jakarta segera memutus kontrak PAM Jaya dengan dua perusahaan swasta asing tersebut. "PAM Jaya bahkan mengaku berutang Rp 580 milliar sejak kontrak dengan PT Palyja dan PT Aetra dilakukan. Utang tersebut malah dibebankan ke masyarakat lewat APBD," ujarnya.
Desakan tersebut, ujar Nurkholis, tidak hanya karena pelayanan dua perusahaan pengelola tersebut yang buruk dan tarif yang mahal. Tapi juga telah merugikan DKI Jakarta.
"Publikasi audit BPK DKI menyatakan bahwa kontrak PAM Jaya dengan dua perusahaan itu merugikan Jakarta dan tidak sah, karena tidak ditandatangani oleh Gubernur Jakarta saat itu." Jelasnya.(ARE/ULF)
Pernyataan itu disampaikan Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nurkholis Hidayat dalam jumpa persnya bersama Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Privatisasi Air, di kantor LBH Jakarta, Rabu (22/6). Menurutnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 hanya 25 persen warga Jakarta yang bisa menikmati akses layanan air pipa. "Itu pun kualitasnya buruk dengan pasokan yang tidak 24 jam selama 7 hari," kata Nurkholis.
Menurut Nurkholis, hal itu terjadi akibat ketidakmampuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Salah satu alasannya adalah terlibatnya perusahaan swasta, PT Palyja dan PT Aetra dalam mengelola air bersih.
Karenanya, Nurkholis bersama Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Privatisasi Air mendesak Pemprov DKI Jakarta segera memutus kontrak PAM Jaya dengan dua perusahaan swasta asing tersebut. "PAM Jaya bahkan mengaku berutang Rp 580 milliar sejak kontrak dengan PT Palyja dan PT Aetra dilakukan. Utang tersebut malah dibebankan ke masyarakat lewat APBD," ujarnya.
Desakan tersebut, ujar Nurkholis, tidak hanya karena pelayanan dua perusahaan pengelola tersebut yang buruk dan tarif yang mahal. Tapi juga telah merugikan DKI Jakarta.
"Publikasi audit BPK DKI menyatakan bahwa kontrak PAM Jaya dengan dua perusahaan itu merugikan Jakarta dan tidak sah, karena tidak ditandatangani oleh Gubernur Jakarta saat itu." Jelasnya.(ARE/ULF)