Sukses

Ombudsman: Kami Tidak Berpolitik di Tanah Abang

Adrianus mengatakan, dalam kasus penutupan jalan Jati Baru, Tanah Abang, Ombudsman ingin mengembalikan fungsi jalan sebagaimana mestinya.

Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman RI menepis bahwa Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LHAP) terhadap konsep penataan Tanah Abang yang diberikan kepada Gubernur Jakarta Anies Baswedan adalah manuver politik.

Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala mengatakan, pihaknya fokus terhadap pengawasan pelayanan publik, termasuk kebijakan soal penutupan jalan Jati Baru, Tanah Abang yang berpolemik di masyarakat.

"Saya kira jauh dari anggapan bahwa kami berpolitik. Kami melihat lebih pada sejauh mana publik disusahkan oleh kebijakan pemerintah. Dan kebijakan dalam undang-undang dapat diawasi oleh Ombudsman," kata Adrianus di kantor Ombudsman RI di Kuningan, Jakarta, Selasa, 27 Maret 2018.

Pernyataan itu, kata Adrianus, sekaligus untuk membantah tudingan anggota DPRD DKI Jakarta yang menyebut bahwa Ombudsman berstandar ganda atau main politik. Dia menegaskan, bahwa setiap soal yang menyangkut pelayanan publik adalah domain Ombudsman.

"Kalau dibilang bukan domain kita itu saya kira soal transportasi, komunikasi di mana publik jadi pengguna dan ada negara sebagai provider atau regulator, ya saya kira itu indikator pelayanan publik," tegas Adrianus.

Yang jelas, ucap dia, dalam kasus penutupan jalan Jati Baru, Tanah Abang, Ombudsman ingin mengembalikan fungsi jalan sebagaimana mestinya. Sebab, Ombudsman memiliki pandangan jika menyangkut pelayanan publik harus diutamakan.

"Pada dasarnya kami memiliki perspektif pelayanan publik seharusnya dapat dimuliakan, jangan diganggu yang lain-lainnya. (Keinginan) kita hanya ingin mengembalikan pedagang dan fungsi jalan raya," Adrianus memungkasi.

2 dari 2 halaman

4 Pelanggaran

Ombudsman perwakilan Jakarta mengeluarkan Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LHAP) terkait konsep penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Tanah Abang oleh Pemerintah Provinsi DKI. Hasilnya, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Anies Baswedan dan Sandiaga Uno disebut melakukan empat tindakan malaadministrasi.

Empat pelanggaran atau malaadministrasi itu, pertama, Ombudsman menyebut penataan PKL Tanah Abang telah merugikan pedagang Blok G Tanah Abang secara ekonomi. Hal itu dinilai tidak selaras dengan tugas Dinas UKM dan Perdagangan dalam melaksanakan pembangunan, pengembangan, dan pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah serta perdagangan sesuai Pergub DKI No 266 Tahun 2016.

Konsep penataan ini juga dinilai terburu-buru, karena Pemprov DKI belum memiliki Rencana Induk Penataan PKL dan peta Jalan PKL di DKI.

Kedua, Anies Baswedan dinilai telah menyalahi prosedur lantaran tidak mendapatkan izin dari pihak Direktorat Lalu Lintas Polda Metro untuk mengalihfungsikan lahan. Hal ini telah tertuang dalam Pasal 128 ayat (3) UU No 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa penggunaan jalan di luar untuk lalu lintas harus seizin Polri.

Diskresi yang menjadi dasar Anies melakukan penataan dinilai tidak sesuai dengan undang-undang yang ada dan mengabaikan Perda No 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030, dan Perda No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan pengaturan Zonasi DKI Jakarta 2030. Ombudsman menilai ada malaadministrasi dengan pengabaian hukum.

Ketiga, Anies telah melakukan tindakan melawan hukum dengan melakukan alih fungsi jalan. Penutupan Jalan Jati Baru disebut telah melanggar UU No 38 Tahun 2004 tentang jalan, UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2006 tentang Jalan, dan Perda DKI No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Keempat, Anies Baswedan dinilai melanggar hak pejalan kaki dalam mengunakan trotoar. "Setidaknya ada empat malaadministrasi yang kami temukan dalam penataan PKL di Tanah Abang," ujar Pelaksana tugas (Plt) Ketua Ombudsman perwakilan DKI, Dominikus Dalu, Senin 26 Maret 2018.