Sukses

KPK Buka Kemungkinan Jerat Setya Novanto dengan Pasal Pencucian Uang

Menurut dia, penyidik tengah mendalami keterangan dan fakta persidangan dari seluruh terdakwa dalam kasus ini.

Liputan6.com, Jakarta KPK membuka kemungkinan menjerat Setya Novanto dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP. Dalam tuntutan terhadap Setnov, jaksa KPK sempat menyinggung tentang 'cita rasa' pencucian uang di kasus proyek bernilai Rp 5,9 triliun ini.

"Pada prinsipnya, yang muncul di persidangan kami pelajari dan yang relevan akan kami dalami. Pengembangan bisa dilakukan terhadap perbuatan lain yang diduga dilakukan terdakwa Setya Novanto, seperti TPPU atau perbuatan lain," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan, Kamis 29 Maret 2018.

Selain dugaan TPPU, Febri menegaskan, pihaknya juga tetap mengembangkan kasus yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun ini kepada pihak-pihak lainnya yang diduga terlibat.

Menurut dia, penyidik tengah mendalami keterangan dan fakta persidangan dari seluruh terdakwa dalam kasus ini, termasuk Setya Novanto.

"Karena KPK tidak akan berhenti dengan penetapan tersangka yang kemarin dua orang. Kami juga masih ada pelaku lain," kata Febri.

Seperti diketahui, dalam sidang tuntutan, jaksa KPK menyebut bahwa mantan Ketua DPR itu telah mengalirkan uang dari proyek e-KTP keenam negara yakni, Indonesia, Amerika Serikat, Mauritius, India, Singapura dan Hong Kong.

Hal tersebut, menurut jaksa, digunakan Setya Novanto agar tidak mudah terdeteksi oleh aparat penegak hukum.

2 dari 2 halaman

Dituntut 16 Tahun

Setya Novanto dituntut jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK dengan hukuman 16 tahun penjara. JPU menilai, mantan Ketua DPR itu secara hukum dan bukti yang ada telah melakukan korupsi dalam pengadaan proyek e-KTP.

"Meminta majelis hakim, memutuskan menyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan penjara 16 tahun, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan," tegas JPU dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 29 Maret 2018.