Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pelilihan Umum (KPU) belum lama ini menggulirkan wacana untuk melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri dalam pemilu legislatif. Namun, wacana itu justru tersandung halangan di Undang-Undang Pemilu.
Menyadari persoalan itu, Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, pihaknya ingin melihat bagaimana respons publik terlebih dahulu untuk menyiapkan langkah selanjutnya.
Baca Juga
"Kita bekerja kan berdasarkan moral, kita dorong penyelenggara negara yang bersih, ini juga kita merespons apakah akal sehat publik tentang hal itu," ucap Wahyu di Gedung DPR, Jakarta Selatan, Senin (2/4/2018).
Advertisement
Judicial review (JR) atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu langkah yang dimungkinkan bagi KPU untuk menyiasati halangan dari UU Pemilu yang telah dahulu ada.
"UU-nya kan masih memungkinkan untuk bang napi-bang napi itu jadi caleg, oleh karena itu coba kita wacanakan itu. Kita ingin lihat respons publik bagaimana. Sehingga apakah memungkinkan kita JR atau seperti apa. Tapi kita menyadari bahwa UU-nya kan memang tidak memungkinkan itu," ujar Wahyu.
Namun begitu, dia enggan menyebutkan bahwa pelarangan itu sangat mendesak, sehingga perlu dilakukan revisi kebijakan ataupun penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang oleh Presiden. Dia pun memilih untuk melihat perkembangan ke depan.
"Kalau kita buat PKPU itu rawan diuji di MA. Kita lihat perkembangannya bagaimana, tapi semangat KPUkan inginnya mendorong adanya penyelenggara negara yang bersih, semangat dasarnya itu," tandas Wahyu.
Calon Terlibat Korupsi
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali mendorong KPU untuk mengatur jika ditemukan calon kepala daerah dan wakilnya terlibat kasus korupsi.
Menurut Zainudin, hingga kini belum ada aturan yang memayunginya. Sehingga, diperlukan suatu kebijakan untuk bisa mengantisipasi munculnya kondisi seperti itu.
"Itu emang aturannya belum ada yang mengatur. Tapi itu harus diatur oleh PKPU. Nah PKPU-nya itu belum ada. Jadi memang belum mengantisipasi bagaimana kalau kedua-duanya (bermasalah)," ucap Zainudin di Gedung DPR, Jakarta Selatan, Senin kemarin.
Politikus Partai Golkar ini mengatakan, jika ditemukan kondisi seperti itu, maka partai politik yang mengusung berpeluang untuk mengusulkan pasangan calon lain, karena keduanya terhitung telah berhalangan.
"Yang ada (saat ini), adalah salah satu. Kalo sudah itu berarti sudah masuk di pemahaman sudah berhalangan. Kalo dua-duanya sudah berhalangan itu kan? Jadi bisa ada peluang untuk parpol mengusulkan paslon lain," katanya.
Untuk mengantisipasi kondisi yang tidak diinginkan, Zainudin pun menginginkan agar ke depannya terdapat aturan yang jelas. Khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah.
"Kalau ke depan pasti ya, ke depan pasti memang harus ada perubahan-perubahan terhadap aturan yang ada. Khususnya untuk UU Pilkada," pungkas Zainudin.
Â
Advertisement