Sukses

Duh, Pengacara...

Profesi pengacara mendapat sorotan ekstra dari masyarakat. Meski menjanjikan pendapatan yang cukup besar, profesi ini juga mendatangkan cemoohan dari masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta: "Bangsat kamu!" awal pekan silam cacian itu keluar dari mulut Jhon Walery, pengacara Akbar Tandjung dalam persidangan Kasus Korupsi Dana Nonbujeter Badan Urusan Logistik. Pengacara lain, Elza Syarief namanya, lain lagi. Pengacara Tommy Soeharto ini diduga menyuap dua saksi dalam kasus kepemilikan senjata api agar mencabut keterangan mereka dalam berita acara pemeriksaan. Terakhir, pengacara Petrus Balapationa mencak-mencak karena rekan seprofesinya, Farhat Abbas, dianggap menyerobot kuasa yang diberikan mantan kliennya.

Sebenarnya, perilaku tak "pantas" ini tidak secara eksklusif terjadi di dunia advokasi. Tindak-tanduk serupa juga bisa ditemui pada profesi lain. Ini disebabkan kondisi masyarakat sedang sakit, dalam hal ini adalah degradasi moral. Penyakit masyarakat inilah yang berimbas begitu kuat terhadap mental para pengacara, dan juga profesi lainnya. Begitu dikatakan Hakim Agung Benyamin Mangkudilaga dalam acara dialog bertajuk "Akan Kemana Pengacara Kita?" yang diselenggarakan Jakarta Lawyer Club dan SCTV di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Jumat (17/5).

Mengamini pendapat Benyamin, Pengacara Palmer Situmorang menyatakan, etika moral para pengacara sudah bangkrut. Pemilik Biro Hukum Palmer Situmorang & Rekan Advocates & Legal Consultants ini menambahkan, proses pengadilan di Indonesia harus lebih terbuka, sehingga seorang pengacara yang curang dalam proses peradilan bisa diketahui oleh masyarakat. "Biarkan publik menghukum mereka," tegas Palmer. Dia mengingatkan, tekanan sosial lebih berat dari sanksi hukum. Namun, bukan berarti legalitas formal atau undang-udang yang mengatur profesi pengacara menjadi tidak dibutuhkan. Menurut Palmer, undang-undang advokat perlu dibentuk sebagai bagian dari upaya membangun sistem peradilan yang baik.

Ketiadaan undang-undang advokat juga menyebabkan tidak adanya standar etika di dunia pengacara, seperti yang diutarakan Pengacara Ruhut Sitompul. Pengacara yang juga sering tampil dalam sejumlah sinetron ini mengatakan, saat ini sedikitnya ada 10 wadah atau asosiasi pengacara di Indonesia. Itu artinya ada 10 standar etika yang masing-masing berbeda. Karenanya, pengacara yang sempat mewakili Akbar Tandjung ini mengatakan, kebutuhan undang-undang advokat untuk dijadikan batasan-batasan hukum buat para pengacara sangat mendesak.

Namun pandangan tersebut ditepis oleh pakar hukum Harkristuti Harkrisnowo.Tuti--panggilan ahli hukum dari Universitas Indonesia itu--menyatakan, ketiadaan undang-undang advokat jangan dijadikan alasan kebobrokan mental para pengacara. Tuti mengatakan, setiap profesi harus memiliki self-regulation atau kemampuan untuk mengatur diri, sehingga tak ada pihak yang dirugikan. "Para pengacara itu kan profesional, dan dalam profesionalitas ada etika," papar staf pengajar di Fakultas Hukum UI ini. Dengan demikian, menurut Tuti, penyusunan undang-undang advokat yang mengatur profesi pengacara menjadi tidak relevan lagi.

Menanggapi perilaku tak etis di kalangan para pengacara, Tuti berpendapat, corporate culture atau budaya perusahaan memiliki pengaruh yang cukup besar. Dia mencontohkan, seorang pengacara pada awal karirnya bisa saja memiliki segudang idealisme. Tapi, ketika si pengacara itu bekerja pada suatu perusahaan atau biro hukum, nilai-nilai idealisme itu akan luntur dan cenderung berkompromi dengan pola-pola budaya perusahaan bersangkutan. Kendati demikian, Tuti mengakui, mental para pengacara yang buruk juga cerminan dari kegagalan para pendidik di berbagai perguruan tinggi hukum.

Profesi pengacara memang menjanjikan penghasilan yang lumayan. Namun, pandangan masyarakat terhadap profesi ini kian hari memburuk. Karenanya, seorang pengacara dituntut untuk tidak hanya membela habis-habisan terdakwa yang diwakilinya. Tapi yang paling penting adalah membela keadilan dengan hati nurani yang bersih. Kalau ini yang dilakukan, pasti tak akan ada lagi kata kata semacam "bangsat" masuk ruang sidang, atau soal suap-suapan yang meruyak, sampai urusan berebut klien.(ZAQ)