Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa kasus e-KTP, Setya Novanto, berkeluh kesah soal sulitnya menjadi pengurus Partai Golkar. Melalui nota pembelaannya, dia juga menyinggung dugaan uang korupsi proyek e-KTP yang mengalir ke Rapimnas Golkar di Bogor pada 2012.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan, anggaran kegiatan partai berlambang pohon beringin itu berasal dari internal kader.
Dia mencontohkan soal Munaslub Bali 2016. Pada saat itu, sebagai ketua umum, dia memberikan dana Rp 1 miliar untuk menutup kekurangan biaya.
Advertisement
"Munaslub Bali 2016 yang menetapkan saya sebagai ketua umum dan saya berkontribusi Rp 1 miliar sebagai kekurangan biaya," kata Setya Novanto.
Sementara pada kegiatan Rapimnas Bogor, dia mengaku tak tahu Andi Agustinus alias Andi Narogong lah yang menggelontorkan Rp 5 miliar melalui Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo sekaligus keponakan Novanto dan kader Golkar. Dia baru mengetahui adanya aliran Rp 5 miliar dari Andi setelah adanya konfrontasi antara dirinya dan Irvanto.
"Pada Rapimnas di Bogor Juni atau Juli 2012, Irvanto juga terlibat aktif sebagai event organizer, baru kemudian dilaporkan kepada saya Andi pernah serahkan uang sebesar Rp 5 miliar kepada Irvanto yang mana sebagian uang tersebut sebagai kontribusi rapimnas di Bogor dan tidak menutup kemungkinan untuk kepentingan Partai Golkar yang lain," ujar Setya Novanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2018).
Ketika mengetahui adanya dugaan aliran uang korupsi e-KTP pada kegiatan tersebut, dia langsung mengembalikannya ke KPK dengan dalih bertanggung jawab sebagai Bendahara Umum Golkar saat itu. Terlebih, dia beranggapan Irvanto tidak akan sanggup mengembalikannya.
"Selaku paman dan Bendahara Umum Golkar saat itu saya merasa bertanggung jawab. Irvan tidak akan mampu kembalikan uang Rp 5 miliar ke KPK," kata Novanto.
Dia pun mengaku tak pernah mengintervensi pengerjaan proyek e-KTP. Begitu juga saat dia menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR. Dia menyebut tidak pernah menyalahgunakan wewenang karena keputusan komisi di DPR disetujui oleh masing-masing komisi. Dalam hal ini, dia merujuk pada keterangan mantan Wakil Ketua Komisi II DPR yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
"Keterangan Ganjar yang menerangkan anggaran e-KTP tidak ada voting. Itu menandakan persetujuan e-KTP disetujui secara bulat oleh komisi II. Dengan demikian apabila saya selaku ketua fraksi Golkar dianggap memiliki kewenangan seluruh anggota di komisi II adalah tidak relevan apalagi saat itu saya bertugas di komisi III," tukas Setya Novanto.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tuntutan Jaksa
Sebelumnya, JPU menuntut Setya Novanto dengan hukuman 16 tahun penjara, yakni Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.
Dia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan penjara. Dia juga dituntut membayar ganti rugi US$ 7,3 juta atas penerimaan secara tidak langsung korupsi e-KTP melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung.
Selain itu, JPU menuntut pidana tambahan pencabutan hak politik 5 tahun selesai menjalani pidana pokok. Jaksa meminta hakim mewajibkannya membayar uang pengganti US$ 135 ribu terkait penerimaan jam tangan mewah Richard Mille dari Andi Narogong.
Reporter: Yunita Amalia
Advertisement