Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa korupsi proyek e-KTP Setya Novanto memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta agar tidak mencabut hak politiknya sebagaimana tuntutan Jaksa KPK. Alasannya, ia sudah dua dasawarsa berkecimpung di dunia politik.
"Saya sudah 20 tahun berkarier pada politik. Oleh karena itu pidana tambahan pencabutan politik lima tahun dapat dipertimbangkan oleh Yang Mulia atau setidaknya-tidaknya dapat dikesampingkan," ujar Setya Novanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2018).
Selain meminta agar hak politiknya tidak dicabut, Setya Novanto meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan justice collaborator, meski KPK dalam tuntutannya belum menerima permintaan tersebut.
Advertisement
Dia menyatakan akan konsisten mengungkap segala peristiwa terkait korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
"Walaupun JPU berkesimpulan permohonan JC belum dikabulkan karena dianggap belum kualifikasi, namun demikian saya sudah berjanji pada diri sendiri akan membantu KPK dalam pengusutan e-KTP sampai tuntas," ujar Setya Novanto.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tuntutan Jaksa
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Setya Novanto dengan Pasal 3 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1. Pasal tersebut mengatur tentang tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan wewenang.
Selain dituntut 16 tahun, ia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan penjara. Dia juga dituntut membayar ganti rugi US$ 7,3 juta atas penerimaan secara tidak langsung korupsi e-KTP melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung.
Selain itu, JPU menuntut pidana tambahan pencabutan hak politik lima tahun selesai menjalani pidana pokok. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti US$ 135 ribu terkait penerimaan jam tangan mewah Richard Mille dari Andi Narogong.
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka.com
Advertisement