Liputan6.com, Jakarta - Wajah Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto tampak semringah. Ketua Umum Partai Berkarya itu terus menebarkan senyum kepada kadernya dalam acara syukuran setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan partai politik itu mendapat nomor urut 7 dalam Pemilu 2019.
"Semoga pertanda baik partai ini akan jadi besar pada 2019," kata Tommy di gedung Granadi, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin 19 Februari 2018.
Dengan menyandang nama sebagai anggota Keluarga Cendana, putra penguasa Orde Baru, wajar Tommy punya harapan lebih untuk dilirik pemilik suara. Namun, sebagai pendiri partai baru, ia juga punya amunisi lain, yaitu deretan purnawirawan jenderal TNI yang punya nama dan menempati posisi strategis.
Advertisement
Baca Juga
Lihat saja, ada mantan Menko Polhukam Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy yang didapuk sebagai Ketua Dewan Pertimbangan. Ada pula mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwoprandjono di posisi Ketua Dewan Kehormatan. Sedangkan mantan Dan Puspom TNI Mayjen (Purn) Syamsu Djalal menempati posisi Ketua Dewan Penasihat Partai Berkarya.
Hingga kini, belum bisa diketahui apa dampak positif yang akan didapat Partai Berkarya dengan masuknya nama-nama mantan jenderal itu dalam daftar kepengurusan. Alih-alih bisa menjaring suara pemilih, bukan tak mungkin para mantan jenderal itu dihadirkan hanya untuk gagah-gagahan. Namun, anggapan itu dibantah Muchdi. Menurutnya, ia dan para purnawirawan bukan sekedar "aksesoris" belaka.
"Kalau tidak bisa menentukan di dalam kepartaian, ngapain saya ikut? Ngapain saya masuk partai tanpa bisa berbuat sesuatu untuk partai itu," tegas Muchdi PR kepada tim Liputan6.com dan Merdeka.com, Sabtu 14 April 2018.
Dia mengatakan, publik tidak bisa melihat masuknya mantan jenderal ke dalam partai politik hanya dari asal usul kemiliterannya saja. Sebab, mereka masuk dunia politik dengan berbekal kemampuan.
"Saya melihat kompetensi daripada masing-masing pribadi saja, bukan melihat jenderalnya, tapi bagaimana track record mereka. Apalagi sekarang kan zaman now, melihat track record seseorang gampang," ujar Muchdi.
Selain itu mantan politikus Partai Gerindra dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengaku tak sekadar ikut, melainkan juga membidani lahirnya Partai Berkarya.
"Saya itu enggak ditawari Mas Tommy (Tommy Soeharto), ya punya andil sedikitlah (mendirikan), bukan ikut. Kalau dicari, nama saya memang nggak ada, tapi ikut membidani dan mewarnai partai ini," tegas Muchdi.
Kendati demikian, pria kelahiran 15 April 1949 ini belum tahu posisi sebenarnya di Partai Berkarya, lantaran susunan kepengurusan baru di bawah Ketua Umum Tommy Soeharto belum terbentuk.
"Sekarang belum tahu mau jadi apa saya. Kalau sebagai Dewan Pembina kemarin saya memeberikan motivasi kepada pengurus-pengurus, memberikan nasihat dan petunjuk bagaimana supaya partai ini bisa besar," jelas Muchdi.
Mantan Danjen Kopassus ini menegaskan, meski punya sederetan jabatan mentereng saat masih di TNI, kini dirinya tak lagi punya hasrat untuk meraih jabatan atau kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif.
"Saya sudah cukup tua. Saya tidak ingin lagi di eksekutif atau jadi anggota DPR. Meski ada di partai, saya juga nggak ingin nyaleg. Saya hanya ingin memberikan masukan saja, memberikan petunjuk, nasihat, motivasi. Bagaimanapun saya kan mengalami dan melihat pemilu pertama tahun 1955, waktu Orde Lama, Orde Baru dan reformasi saya menyaksikan," pungkas Muchdi.
Bukan karena Kenal Prabowo
Jika dilihat komposisi mantan jenderal di kepengurusan partai politik, Partai Berkarya sebenarnya belum apa-apa dibandingkan partai lainnya. Misalnya, Partai Gerindra. Selain didirikan oleh mantan jenderal, yaitu Letjen (Purn) Prabowo Subianto, partai ini juga dimotori puluhan purnawirawan TNI.
Beberapa nama yang menonjol adalah Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn) Djoko Santoso dan Letjen (Purn) Muhammad Yunus Yosfiah. Kemudian ada Mayjen (Purn) Haryadi Darmawan yang menempati posisi Ketua Dewan Penasihat.
Sementara di jajaran pengurus pusat Partai Gerindra ada nama Ketua Harian Laksdya (Purn) Moekhlas Sidik, Wakil Ketua Umum Bidang Luar Negeri Mayjen (Purn) Yogi Magyo Yusuf dan Wakil Ketua Umum Bidang Pertahanan dan Keamanan Mayjen (Purn) Chaerawan Musyirawan.
Ada pula Ketua Bidang Pertahanan Udara Marsda (Purn) Suwitno Adi dan Ketua Bidang Ketahanan Nasional Mayjen (Purn) Soenarko.
Bahkan, partai ini punya organisasi sayap Purnawirawan Pejuang Indonesia Raya, yang berisikan purnawirawan-purnawirawan TNI yang ingin berpolitik. Namun, Djoko Santoso membantah kalau Partai Gerindra dikatakan sebagai partai mantan jenderal.
"Pensiunan tentara itu statusnya kan rakyat biasa, dia tidak masuk dalam struktur atau sistem politik. Dia mau masuk ke Gerindra, Demokrat atau PAN, itu hak perorangan sebagai rakyat yang punya hak politik," ujar Djoko di kediamannya Jalan Bambu Apus Raya, Jakarta Timur, Minggu 15 April 2018.
Pria kelahiran Surakarta 65 tahun lalu itu mengatakan, keputusan untuk bergabung dengan Gerindra lantaran punya kesamaan pandangan. Selain karena kenal dengan Prabowo, tekad partai itu untuk menjaga kedaulatan negara, keutuhan Tanah Air dan menjaga keselamatan bangsa membuat dia jatuh hati.
"Saya ke Gerindra enggak dibujuk (Prabowo), atas kesadaran pemahaman kebangsaan dan kerakyatan, saya gabung ke Partai Gerindra. Selain itu, saya memang kenal Prabowo karena sama-sama dididik di Akademi Militer," jelas Djoko.
KSAD periode 2005-2007 ini bercerita, Prabowo merupakan seniornya saat masih menjalani pendidikan di Akmil. Ketika itu dia mengenal Prabowo sebagai taruna yang punya pemikiran maju. Saat Prabowo menjabat Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 328 Kostrad, dia menjadi wakil Prabowo. Tapi, dia membantah kedekatan itu yang membuatnya bergabung dengan Gerindra.
"Bukan karena kenal (Prabowo). Kalau hanya kenal tapi pemikirannya lain, ya saya tidak akan dukung. Ini karena pemikirannya sama dan panggilan tugas. Saya pernah bilang tentara itu tidak ada pensiunnya, kecuali sudah masuk kubur," tegas Djoko.
Karena kesamaan pemikiran itu pula dia mengaku tidak pilih-pilih jabatan atau tugas di Gerindra. Yang jelas, sebagai Dewan Pembina Partai dia punya tugas untuk menggelar rapat-rapat untuk merumuskan kebijakan partai yang akan diimplementasikan ketua umum dan sekjen partai.
"Jabatan enggak penting. Saya dijadikan kurir juga tidak masalah. Kita tidak ada negosiasi dapat apa, kita juga tidak pernah menanyakan kita mau dapat apa. Yang penting apa yang bisa kita lakukan. Kita kan hanya kumpulan orang-orang tua saja," tegas Djoko.
Tapi, dia menolak menanggapi dugaan bahwa mantan jenderal yang masuk partai politik kerap digunakan untuk mengatur strategi pemenangan yang tak jauh-jauh dari strategi militer.
"Kalau bicara strategi itu kan rahasia," pungkas Djoko.
Saksikan wawancara dengan Ketua Umum PKPI, Hendropriyono berikut ini:
Golkar dan Tentara yang Kembali Mesra
Menyoal masih banyaknya mantan jenderal yang tertarik masuk ke partai politik tentu tak bisa dilepaskan dari Partai Golkar. Inilah cikal bakal partai politik yang menampung jenderal TNI aktif di masa Orde Baru. Bahkan, Golkar identik dengan TNI, karena tak ada jenderal di partai politik selain di partai berlambang beringin ini.
Kini, warna sipil lebih mendominasi Partai Golkar, setelah banyak para jenderal yang sudah pensiun memutuskan keluar dari Golkar dan mendirikan partai baru atau bergabung dengan partai lain. Namun, sejatinya Golkar tak pernah ditinggal mantan jenderal. Sejumlah nama purnawirawan masih tertera di posisi kunci susunan kepengurusan.
Misalnya, Letnan Jenderal (Purn) Lodewijk Freidrich Paulus. Mantan Danjen Kopassus dan Komandan Kodiklat TNI AD itu menempati posisi Sekjen Partai Golkar. Ada pula Wakil Koordinator Bidang Hankam, Luar Negeri dan Diaspora Mayjen (Purn) Andoko serta Ketua Bidang Pertahanan dan Keamanan Marsekal (Purn) Usra Harahap.
Alasan kesejarahan itu pula yang membuat Lodewijk tertarik bergabung dengan Golkar. Dia melihat TNI dan Golkar sama-sama menjadi pendukung dan benteng Pancasila sejak dulu.
"Sebagai perwira Angkatan Darat, lebih khusus lagi di pasukan khusus (Kopassus), saya melihat Golkar dilahirkan setelah menyatukan ormas-ormas melalui Sekber Golkar. Dan itu yang membina tentara," ujar Lodewijk saat diwawancarai, Sabtu 14 April 2018.
Dia mengaku sempat heran melihat kondisi Partai Golkar yang ditinggalkan para mantan jenderal. Namun, itu tak menghalangi tekadnya untuk bergabung.
"Waktu dulu saya itu masuk Golkar, tidak ada lagi tentara. Padahal dulu itu dibidani oleh Angkatan Darat, tapi kok sekarang sudah enggak ada? Saat saya masuk itu awalnya ada Pak Luhut (Luhut Binsar Pandjaitan), karena jadi menteri koordinator, dia tidak lagi (di Golkar)," ungkap Lodewijk.
Pilihan itu pun dinilainya tepat, karena saat masuk Golkar dia langsung diberi jabatan sebagai Korbid Kajian Strategis. Posisi ini sangat berkaitan dengan jabatan terakhirnya sebagai Komandan Kodiklat TNI AD yang mempelajari soal organisasi, pendidikan, latihan dan doktrin.
"Ternyata riwayat jabatan di militer seakan-akan berlanjut, nyambung ke dunia politik. Setelah saya masuk dan sekarang jadi Sekjen Golkar, modal saya dengan pengalaman dua tahun di Golkar sangat membantu," jelas Lodewijk.
Termasuk kemampuan di bidang intelijen yang sangat dibutuhkan oleh partai politik dalam menyusun strategi, ternyata juga memiliki korelasi dengan jabatannya saat masih di militer.
"Merancang strategi itu pasti ada. Tidak sendirian, tapi dalam suatu tim. Misalnya strategi dalam menghadapi pileg dan pilkada, pasti ada. Karena itu strategi, jadi kita simpan. Bagaimana implementasinya itu kan rahasia perusahaan," ungkap Lodewijk.
Karena itu, menurut dia, masuknya mantan jenderal ke partai politik memiliki korelasi yang saling menguntungkan. Apalagi militer itu sejatinya menurut dia tak pernah merasa punya akhir dalam memberikan bakti.
"Tentara itu enggak pernah mati. Kalaupun mereka pensiun itu hanya menepi dan memberikan tempat untuk junior-juniornya untuk maju. Artinya, dalam berjuang tentara itu tidak mengenal waktu, dia akan terus berjuang dan berjuang," tandas Lodewijk.
Doktrin Sudah Berubah
Namun, pandangan berbeda datang dari Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Jenderal TNI (Purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono. Dia melihat masuknya para mantan jenderal ke dalam sebuah partai politik karena desakan dari rakyat yang menginginkan stabilitas serta adanya jaminan keamanan.
"Padahal, jenderal ini sebetulnya sudah pensiun, sudah selesai, nggak ada apa-apanya sebetulnya. Tapi masyarakat sendiri yang menginginkan kepemimpinan militer itu mewarnai perpolitikan kita, karena ingin negara ini stabil," ujar Hendropriyono, Rabu 11 April 2018.
Hendro tak menampik kalau masuknya para mantan jenderal ke partai politik berdasarkan Dwifungsi ABRI yang diajarkan kepada para calon perwira TNI sejak mereka masih berada di akademi.
"Di zaman saya dulu ada doktrin Dwifungsi. Yaitu kita sebagai alat senjata dan alat sosial politik. Kita harus berpartisipasi dalam politik artinya ikut terjun dalam politik praktis untuk menegakkan stabilitas. Itu yang didapat juga oleh kawan-kawan saya yang sekarang memimpin partai politik," jelas mantan Danjen Kopassus ini.
Yang membedakannya, lanjut dia, mereka yang dulu masuk ke partai politik adalah para perwira TNI aktif dan tidak harus menunggu pensiun dulu. Alasannya, doktrin Dwifungsi ABRI memang dimaksudkan untuk perwira TNI, bukan untuk pensiunan.
"Kalau Dwifungsi dulu tentaranya masih aktif. Sekarang doktrin sudah berubah, kalau masih tentara aktif maju jadi politisi kita tidak izinkan, karena dia masih punya pengaruh ke struktur di dalam (TNI) dan masih bisa nyuruh-nyuruh prajuritnya. Kalau purnawirawan kan sudah nggak ada hubungan," jelas Hendro.
Kendati demikian, dia melihat tidak mudah untuk bisa memberi pemahaman kepada publik tentang posisi dan kemampuan mantan jenderal dengan politikus lainnya yang sebenarnya tidaklah jauh berbeda. Hendro mencontohkan dengan apa yang dia alami di PKPI.
"Buktinya, saya mau berhenti (dari Ketua Umum PKPI) saja susah bener. Padahal saya sudah pensiun sejak 25 tahun lalu. Jadi logikanya, saya ini sudah nggak ada lagi latar belakang militer. Mestinya semakin ke sini zamannya, harus semakin jauh, bukannya ditarik atau balik lagi ke ABRI," tegas mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu.
Kalaupun tetap ingin menempatkan mantan jenderal di partai politik, menurut dia yang bisa diharapkan adalah kemampuan mereka dalam hal membuat strategi. Tapi tetap saja, usia dari sang purnawirawan akan sangat berpengaruh.
"Bukan berarti rekan-rekan sipil tidak bisa bikin strategi, banyak yang pintar-pintar dan itu saya alami di PKPI. Kalau soal kepintaran, waduh saya jujur saya katakan generasi sekarang jauh lebih pintar. Mereka banyak referensi," pungkas Hendro.
Advertisement
Konsep Jalan Tengah Menurut Sang Jenderal Besar
Jenderal Besar itu tampak gusar ketika ditanyakan soal konsep Jalan Tengah yang digagas dia dan kemudian menjadi dasar bagi Tentara Nasional Indonesia atau TNI (dulu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI) berpolitik di berbagai bidang.
"Bukan itu konsep Jalan Tengah ABRI yang saya maksud. Saya tak pernah membayangkan tentara jadi gubernur, bupati, memimpin perusahaan, atau jadi anggota DPRD," ujar Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution dengan suara lirih saat ditemui Editor Senior Liputan6.com, Rinaldo di kediamannya, Jalan Teuku Umar Nomor 40, Jakarta Pusat, akhir Oktober 1995 silam.
Dia mengatakan, gagasan tentang Jalan Tengah tentara yang kemudian diterapkan secara massif selama Orde Baru sudah bergeser dari pemikiran awalnya.
"Dengan posisinya sekarang yang jauh masuk ke urusan sipil, ABRI tak lagi menjadi alat negara, melainkan alat pemerintah," tegas Bapak Angkatan Darat yang karib disapa Pak Nas itu.
Namun, sulit dibantah bahwa masuknya TNI ke dalam institusi politik diawali oleh AH Nasution. Apa yang belakangan disebut sebagai Dwifungsi ABRI bermula saat Pak Nas berpidato dalam acara Dies Natalis Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah, 12 November 1958.
Dalam pidato tanpa teks, Nasution yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional/KSAD mengatakan TNI tidak akan mengambil peran sebagai institusi yang pasif, namun juga tidak akan menjadi suatu kekuatan yang langsung.
"Kita tidak menginginkan dan kita tidak akan menjiplak siatusi seperti terdapat di beberapa Negara Amerika Latin, di mana tentara bertindak sebagai satu kekuatan politik yang langsung, demikian pula kita tidak akan meniru model Eropa Barat di mana tentara merupakan alat mati," tegas jenderal yang wafat pada 6 September 2000 seperti dikutip dari buku Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (1986).
Pidato inilah yang kemudian oleh Profesor Joko Sutono, salah seorang anggota perumus dalam Panitia Demokrasi Terpimpin, disebut sebagai Jalan Tengah Tentara. Sedangkan istilah Dwifungsi mulai disebut Nasution pada awal 1962 dalam sebuah pidatonya di Porong, Jawa Timur.
Dalam konteks sejarah ketika itu, munculnya keinginan militer masuk ke lembaga politik tak lain untuk menangkal pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) di tubuh pemerintah. Ditambah lagi, pihak TNI menilai pemerintah, dalam hal ini Presiden Sukarno, terlalu jauh mengintervensi urusan TNI.
Perimbangan kekuatan antara PKI, Sukarno dan TNI berlangsung hingga 1965 yang ditandai dengan pecahnya peristiwa berdarah Gerakan 30 September/PKI. Usai tragedi yang membuat sejumlah jenderal petinggi Angkatan Darat meninggal dunia itu, posisi TNI langsung menguat, bahkan berada di atas Sukarno yang tak lain adalah Panglima Tertinggi TNI.
Berakhirnya perseteruan antara TNI dengan PKI dan Sukarno tak membuat para jenderal kembali pada jati dirinya sebagai alat negara. Menguatnya posisi TNI justru menjadi batu pijakan untuk menempati posisi-posisi strategis di bidang politik, meski tak ada dasar hukum yang memayungi semua langkah tentara itu.
Salah satunya adalah dengan menggagas pembentukan partai politik sebagai langkah untuk ikut menentukan kepemimpinan nasional melalui lembaga legislatif. Dari titik inilah kemudian, TNI menancapkan pengaruh kuatnya pada peta politik nasional.
Hal itu terbukti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI yang salah satu pasalnya menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan Dwifungsi ABRI yang sudah sangat luas itu. Pasal 6 UU ini menyebutkan:
"Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan sosial politik"
Hasrat para jenderal TNI untuk berkiprah di partai politik awalnya mendapat saluran dengan lahirnya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai ketua adalah Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati pada Desember 1965.
Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291. Organisasi-organisasi ini kemudian berhimpun dan dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya dalam tujuh Kelompok Induk Organisasi (Kino). Namun, yang paling berpengaruh adalah tiga kelompok organisasi yang semuanya didirikan tentara.
Yang pertama adalah Koperasi Usaha Gotong Royong (Kosgoro) yang dibentuk pada 10 November 1957 dengan ketuanya Letnan Kolonel Mas Isman. Tiga tahun kemudian, pada 3 Januari 1960, Kolonel Sugandhi membentuk Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Terakhir Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI). Didirikan pada 20 Mei 1960, SOKSI dipimpin ketua umum yang pertama Letnan Kolonel Suhardiman. Tiga kelompok wadah organisasi profesi inilah yang menjadi penyokong utama Golkar hingga sekarang.
Golkar Beranak Pinak
Sekber Golkar awalnya menegaskan dilahirkan untuk menangkal pengaruh dari Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormasnya dalam kehidupan politik Tanah Air. Namun, semua itu kehilangan momentum ketika Orde Lama tumbang dan Orde Baru dimulai.
Sesuai ketentuan dalam Ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan berpolitik di Indonesia, pada 17 Juli 1971 Sekber Golkar mengubah dirinya menjadi Golkar agar bisa mengikuti Pemilu 1971. Namun, Golkar tetap menyatakan diri bukan partai politik, melainkan organisasi kekaryaan.
Jika pada masa Orde Lama tak satupun partai politik yang mewakili kepentingan militer, di era Orde Baru ini mereka punya Golkar. Dengan dukungan penuh militer serta birokrasi, Golkar memenangkan Pemilu 1971 dengan meraih 34.348.673 suara atau 62,79 persen dari total perolehan suara.
Sejak saat itu, tidak sekalipun Golkar kalah dalam pemilu yang digelar selama Orde Baru. Dan sepanjang pemilu itu digelar, Golkar dipimpin oleh ketua umum yang berasal dari militer. Mereka adalah Mayor Jenderal Amir Moertono (1973-1983), Letnan Jenderal Sudharmono (1983-1988), dan Letnan Jenderal Wahono (1988-1993).
Setelah Orde Baru tumbang dan era Reformasi dimulai, Golkar mengalami kemunduran. Namun, Golkar tetap memegang peranan penting dan sejumlah kadernya dari jalur militer melebarkan sayap dengan melahirkan partai politik baru.
Hancurnya Orde Baru juga menumbangkan Dwifungsi ABRI, baik di pemerintahan maupun di legislatif. Sementara di partai politik, eksistensi militer tetap terjaga melalui para purnawirawan yang menempati posisi kunci di Golkar yang berganti wujud dari golongan dan organisasi kekaryaan menjadi partai politik.
Bahkan, Golkar seakan tak bisa lagi menampung gairah berpolitik para purnawirawan, sehingga memunculkan parpol baru. Uniknya, parpol baru yang lahir dari 'rahim' beringin ini digagas oleh para mantan jenderal yang punya nama saat masih menjabat di militer.
Lihat saja mantan Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Edi Sudradjat. Dia mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pada Desember 1998. Saat ini, PKP yang sudah bertransformasi menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dipimpin Abdullah Mahmud Hendropriyono, mantan jenderal yang pernah berdinas di Kopassus, sama dengan Edy Sudradjat.
"Yang bikin (PKPI) senior saya, namanya Edi Sudradjat. Jadi dulu kita semua berada di bawah naungan beringin Golkar. Semua Golkar waktu itu," ujar Hendropriyono kepada Liputan6.com dan Merdeka.com, Rabu 11 April 2018.
Sebelum diangkat menjadi Kepala Badan Intelijen Negara, Sutiyoso yang juga mantan jenderal dari Kopassus juga pernah jadi Ketua Umum PKPI. Partai ini semakin mengukuhkan diri sebagi pertai yang digawangi tentara dengan menempatkan Try Sutrisno, jenderal yang pernah jadi Wakil Presiden, sebagai Dewan Penasihat.
Langkah Edi Sudradjat disusul mantan KSAD Jenderal (Purn) R. Hartono yang memutuskan terjun ke dunia politik. Mantan Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Pembangunan VII mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) pada September 2002. Namun, partai ini tak berumur panjang.
Sementara dari tubuh Golkar, mantan Panglima TNI lainnya yaitu Jenderal (Purn) Wiranto mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) pada Desember 2006. Sejumlah nama perwira tinggi TNI tercatat ikut mendirikan partai ini.
Ada nama Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Laksamana (Purn) Bernard Kent Sondakh, Jenderal (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo, Jenderal (Purn) Chaeruddin Ismail Letjen (Purn) Suaidi Marasabessy, Marsdya (Purn) Budhy Santoso, dan Letjen (Purn) Ary Mardjono.
Kader Golkar lainnya, Letjen (Purn) Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada Februari 2008. Mantan Danjen Kopassus ini juga disokong jajaran mantan jenderal di kepengurusan Gerindra.
Ada Wakil Ketua Umum Bidang Luar Negeri yang dijabat Mayjen (Purn) Yogi Magyo Yusuf dan Wakil Ketua Umum Bidang Pertahanan dan Keamanan Mayjen (Purn) Chaerawan Musyirawan.
Terakhir, kader Partai Golkar melahirkan Partai Berkarya yang didirikan pada 15 Juli 2016. Partai yang dikomandoi Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto ini juga menempatkan sejumlah nama besar mantan jenderal di kepengurusannya.
Sebut saja Mantan Menko Polhukam Laksamana (Purn) Tedjo Edhy yang menjabat Ketua Dewan Pertimbangan. Kemudian ada mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Muchdi Purwoprandjono sebagai Ketua Dewan Kehormatan serta mantan Danpuspom Mayjen (Purn) Syamsu Djalal sebagai Ketua Dewan Penasihat.
Tak hanya di partai politik pecahan Golkar, di parpol besar lainnya yang lahir setelah Orde Baru, kehadiran para mantan jenderal juga masih menjadi daya tarik.
Reporter: Anisyah Al Faqir dan Angga Yudha Pratomo
Advertisement