Liputan6.com, Jakarta - Mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo masuk dalam sejumlah survei, baik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Manuver relawan Gatot juga telah muncul ke permukaan untuk mendukungnya.
Namun, Direktur Eksekutif Indo Barometer Mochammad Qodari menilai Gatot harus bergerak jika ingin nyapres. Ia juga harus aktif berkomunikasi dengan partai politik dan terbuka dengan publik.
"Kalau Pak Gatot serius mungkin partai politik itu akan ikut koalisinya besar, tetapi kalau usahanya minimalis dan bersikap pasif menurut saya agak berat. Pasti partai politik akan lebih tertarik dengan konstelasi yang sudah ada," kata Qodari di FX Sudirman, Senayan, Jakarta, Kamis (19Â April 2018).
Advertisement
Jika pasif, Gatot Nurmantyo tak akan mendapatkan dukungan dari parpol. Partai politik saat ini masih cenderung menempel Jokowi dan Prabowo sebagai dua kandidat dengan elektabilitas tertinggi untuk capres 2019.
"Karena naluri pertama dari partai politik adalah ingin menang, kecenderungan mereka akan mendekati calon-calon dengan elektabilitas yang tinggi," ujar Qodari.
Dia menuturkan, elektabilitas merupakan hal terpenting selain dana logistik nyapres. Sebab, elektabilitas adalah pilihan murni dari publik.
"Pak Gatot Nurmantyo pada hari ini tidak punya elektabilitas, walaupun katanya punya dana. Beda dana dengan survei elektabilitas adalah, kalau survei itu barang publik sehingga sudah kelihatan elektabilitasnya tinggi atau tidak. Sedangkan kalau dana kan harus dikucurkan dulu baru bergerak, kalau tidak dikeluarkan tentu tidak akan berdampak apa pun," tegas Qodari.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Gatot Cawapres Jokowi
Mochammad Qodari juga menilai Gatot Nurmantyo akan lebih mungkin menjadi cawapres Jokowi ketimbang Prabowo Subianto di Pilpres 2019. Alasannya, pemilih Jokowi dan Gatot beda segmentasi.
"Pak Gatot paling mungkin itu menjadi cawapresnya Jokowi dibandingkan kepada Prabowo. Karena kalau Prabowo itu segmennya sama, yakni sama-sama militer, sama-sama Islam modernis," kata Qodari.
Prabowo, menurut dia, lebih cocok bila berduet dengan Anies. "Kalau Anies itu mungkin ideal untuk Prabowo karena datang dari sipil dan datang dari kalangan menengah," ujarnya.
Selain itu, Muhaimin Iskandar lebih menarik jika di pasangkan dengan Prabowo. Sebab, selama ini mantan Danjen Kopassus tersebut cenderung didukung golongan Islam modern dibanding Islam tradisional, yakni Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan basis Cak Imin.
"Cak Imin itu paling menarik untuk Prabowo. Ketimbang Anies menurut saya Muhaimin lebih menarik sebetulnya bagi Prabowo, karena Muhaimin latar belakangnya adalah NU Islam tradisional yang selama ini bukan basisnya Prabowo," paparnya.
Sementara itu, bila Jokowi bersama Cak Imin hal itu cenderung sulit. Sebab akan menimbulkan kecemburuan politik dari parpol pendukung Jokowi. Pasangan ini juga tak memunculkan suara baru.
"Agak berat, karena partai partai pendukung Jokowi banyak, kalau mengambil Muhaimin yang lain cemburu. Yang lebih fundamental adalah basis Muhaimin adalah kalangan Islam tradisional sudah relatif dekat dengan Jokowi. Sehingga dengan kondisi itu Cak Imin tidak membawa segmen suara baru bagi Jokowi," pungkas Qodari.
Â
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber : merdeka.com
Advertisement