Sukses

HEADLINE: Vonis 15 Tahun untuk Setya Novanto, Siapa Selanjutnya?

Kucing-kucingan Setya Novanto dengan hukum berakhir di palu hakim. Namun, KPK tak berhenti sampai di situ. Kasus e-KTP terus diusut.

Liputan6.com, Jakarta - Drama Setya Novanto berakhir pada Selasa 24 April 2018. Ia yang duduk kursi pesakitan beberapa kali memejamkan mata ketika hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membacakan putusannya.

Namun, ia tak sedang tertidur. Sesekali, pria 62 tahun itu mengarahkan pandangan ke majelis hakim. Nasibnya akan segera ditentukan oleh lima orang di hadapannya itu. 

Tak lama kemudian, tok, tok, tok vonis 15 tahun penjara dijatuhkan pada terpidana kasus dugaan korupsi e-KTP itu.

"Menjatuhkan pidana 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta," ujar Hakim Ketua Yanto, Selasa (24/4/2018).

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntutnya 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Hakim menilai, mantan Ketua DPR itu terbukti secara sah melakukan korupsi dalam pengadaan proyek e-KTP. Majelis juga mencabut hak politik mantan Ketua DPR itu selama 5 tahun. Pencabutan hak politik ini akan berlaku setelah ia selesai menjalani masa tahanan.

Setya Novanto juga diharuskan membayar uang pengganti US$ 7,3 juta, dikurangi Rp 5 miliar yang sudah dibayarkannya ke rekening tampungan KPK. Jumlah duit yang harus dikembalikan tersebut sesuai dengan tuntutan JPU KPK.

Majelis Hakim menyatakan, Setya Novanto telah melanggar Pasal 3 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1. Pasal tersebut mengatur tentang tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan wewenang.

Tak pembelaan yang ditepis mentah-mentah, permohonan Setya Novanto untuk menjadi justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP pun ditolak hakim.

Tak Berhenti Sampai Setya Novanto

Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengapresiasi vonis hakim terhadap Setya Novanto. Tuntutan soal uang pengganti dan pencabutan hak politik dikabulkan, meski masa hukuman dikorting setahun dari apa yang diminta jaksa. 

"Kita tahu kasus ini ditangani dalam kondisi KPK menghadapi sejumlah tantangan dan hambatan. Namun bisa selesai akibat kerja keras tim di penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan unit lain terkait," kata Agus saat dihubungi Liputan6.com.

Dia mengatakan, KPK juga berterimakasih pada masyarakat yang telah membantu kerja para penyidik dan mengawasi secara lekat kasus yang merugikan khalayak itu. 

Dan, kasus e-KTP tak berhenti sampai Setya Novanto. 

"Untuk pengembangan pada pelaku lain, segera kami cermati fakta-fakta sidang. Tentu seperti yang pernah disampaikan, kasus ini tidak akan berhenti kepada Setya Novanto saja," kata dia.

Agus mengatakan, sejak tuntutan diajukan sudah menyampaikan, jika ada bukti yang kuat adanya upaya penyamaran uang hasil korupsi tentu akan diproses.

Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, pihaknya akan mencermati fakta-fakta persidangan untuk pengembangan kasus. 

"Tentu seperti yang pernah disampaikan, kasus ini tidak berhenti pada Setya Novanto saja, karena kasus ini melibatkan banyak pihak," kata dia kepada Liputan6.com.

Sementara itu, Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, hukuman untuk Setya Novanto sudah cukup setimpal terutama adanya uang pengganti sejumlah US$ 7,3 juta dan pencabutan hak politik.

Dia pun berharap, nama-nama yang muncul dalam persidangan e-KTP dan disebutkan hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta.

"Nama nama yang disebut menerima harus diproses, agar perkara e-KTP ini tuntas," kata dia kepada Liputan6.com.

Dia mengatakan, KPK juga harus mengusut kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Setya Novanto.

Sementara, Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, vonis tersebut relatif besar.

"Vonis yang besar dari sisi tren vonis pidana korupsi yang dikeluarkan pengadilan tingkat pertama, dan di luar perbedaan jumlah tuntutan dan vonis semua tuntutan KPK dipenuhi. Jadi saya kira itu adalah satu bentuk pembuktian memang Setya Novanto terlibat dalam kasus korupsi e-KTP," kata Adnan kepada Liputan6.com, Selasa (24/4/2018).

Mengenai nama-nama yang diduga menerima aliran dana e-KTP, menurutnya KPK akan melihat semua putusan itu dan melengkapi bukti bukti lain yang dimiliki. Karena, kalau hanya putusan saja tidak bisa dipakai KPK untuk memproses.

"Itu harus tetap dibuktikan dengan data data atau alat bukti lain yang dimiliki oleh KPK," kata dia.

Dia mengatakan, KPK harus mengejar pihak - pihak lain yang masih diduga terlibat kasus ini. KPK jangan berpuas diri setelah vonis terhadap Setya Novanto keluar.

Dalam pembacaan pertimbangan putusan, majelis hakim menyatakan, Setya Novanto terbukti memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain dan korporasi.

Berikut sejumlah nama yang disebut dalam vonis hakim:  

1. Irman sebesar Rp 2,37 miliar, US$ 877,7 ribu, dan 6 ribu dolar Singapura.

2. Sugiharto sebesar US$ 473 ribu

3. Andi Agustinus Alias Andi Narogong sebesar US$ 2,5 juta dan Rp 1,18 miliar.

4. Gamawan Fauzi sebesar Rp 50 juta

5. Diah Anggraeni sebesar US$ 500 ribu dan Rp 22,5 juta

6. Drajat Wisnu Setyawan sejumlah US$ 40 ribu dan Rp 25 juta

7. Anggota panitia pengadaan barang/jasa sebanyak enam orang, masing-masing sebesar Rp 10 juta.

8. Johannes Marliem sebesar US$ 14,8 juta dan Rp 25,2 miliar

9. Miryam S. Haryani sebesar US$ 1,2 juta

10. Markus Nari sebesar US$ 400 ribu

11. Ade Komarudin sebesar US$ 100 ribu

12. M Jafar Hafsah sebesar US$ 100 ribu

13. Beberapa anggota DPR periode 2009-2014 sebesar US$ 12,8 juta dan Rp 44 miliar.

14. Husni Fahmi sebesar US$ 20 ribu dan Rp 10 juta

15. Tri Sampurno sejumlah Rp 2 juta

16. Beberapa anggota Tim Fatmawati, yakni Jimmy Iskandar Tedjasusila Als Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Supriyantono, Setyo Dwi Suhartanto, Benny Akhir, Dudy Susanto, dan Mudji Rachmat Kurniawan masing-masing sebesar Rp 60 juta.

17. Wahyudin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri sebesar Rp 2 miliar

18. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara selaku Direksi PT LEN Industri masing-masing mendapatkan sejumlah Rp 1 miliar serta untuk kepentingan gathering sebesar Rp 1 miliar.

19. Mahmud Toha sejumlah Rp 3 juta.

20. Charles Sutanto Ekapraja sebesar US$ 800 ribu

21. Manajemen Bersama Konsorsium PNRI sebesar Rp 137,9 miliar.

22. Perum PNRI sebesar Rp 107,7 miliar.

23. PT Sandipala Artha Putra sebesar Rp 145,8 miliar.

24. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sebesar Rp 148,8 miliar.

25. PT LEN Industri sebesar Rp 5,4 miliar.

26. PT Sucofindo sebesar Rp 8,2 miliar.

27. PT Quadra Solution sebesar Rp 79 miliar

Dari nama-nama tersebut, sudah ada yang divonis dalam kasus e-KTP atau telah dimintai keterangan di KPK. 

Sementara, nama-nama besar -- misalnya nama sejumlah anggota DPR -- yang diakui Setya Novanto sebagai pihak yang kecipratan dana e-KTP dikesampingkan oleh hakim. 

"Konfrontir dilakukan di luar persidangan sehingga tidak dapat dijadikan pertimbangan," kata Hakim Anwar dalam sidang vonis Setya Novanto.

2 dari 3 halaman

Peringatan bagi Para Politisi

Setya Novanto mengaku kaget saat mendengar vonis majelis hakim. Menurutnya, putusan itu terlalu berat. 

"Saya betul-betul sangat shock. Karena saya lihat apa yang didakwakan itu dan apa yang disampaikan tentu perlu dipertimbangkan karena tidak sesuai dengan persidangan yang ada," ujar Setya Novanto usai persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (24/4/2018).

Menurut dia, selama persidangan ia telah mengungkap segala peristiwa terkait korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu. Permohonan justice collaborator pun sedianya, menurut Novanto, terpenuhi, meski Jaksa Penuntut Umum pada KPK dan majelis hakim menolak permohonan itu.

"Saya sudah mengikuti semua dengan baik. Baik kepada penyidik, JPU saya hormat dan saya telah melaksanakan sebaik mungkin. Tentu ini menjadi pertimbangan buat pimpinan," Setya Novanto memungkas.

Sementara itu, tim penasihat hukum Setya Novanto siap mengajukan banding. Menurut Maqdir Ismail, banding akan dia lakukan usai koordinasi dengan keluarga Setya Novanto.

Menurut Maqdir, amar putusan yang dibacakan majelis hakim pengadilan tipikor terhadap kliennya tak jauh berbeda dengan dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK.

"Saya kira itu yang harus kita lihat baik dan perhatikan, apa yang disebut fakta-fakta tadi lebih banyak mengulangi uraian dari dakwaan meskipun mereka lebih ringkas," kata Maqdir.

Dia mengatakan, salah satu alasan pihaknya akan mengajukan banding lantaran hakim tak membeberkan dengan rinci perihal kerugian negara yang disebabkan Setya Novanto atas perkara e-KTP.

"Salah satu contoh, sama sekali tidak disinggung oleh putusan tadi bagaimana cara menghitung kerugian negara. karena ini tidak ada perbandingan apa pun yang mereka lakukan daripada keterangan ahli," kata Maqdir.

Secara terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK juga mengaku prihatin terhadap putusan penjara 15 tahun yang dijatuhkan hakim kepada mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Namun, JK menilai majelis hakim sudah mempertimbangkan dengan baik keputusan tersebut.

"Ya ini kan hakim kita tidak bisa campuri. Kita prihatin ya. Tapi ya ini keputusan hakim ya tentu dipertimbangkan dengan baik," kata JK di kantornya, Jalan Merdeka Utara, Selasa (24/4/2018).

JK pun menegaskan hal tersebut adalah peringatan kepada siapa saja untuk tidak melanggar hukum serta tidak melakukan korupsi.

"Ini juga peringatan kepada siapa saja untuk tidak mengambil tindakan atau perbuatan yang melanggar hukum," kata JK.

3 dari 3 halaman

Vonis Setya Novanto Mendunia

Vonis Setya Novanto dalam kasus Korupsi tak hanya jadi perhatian warga Indonesia, tapi juga penduduk dunia.

Sejumlah media asing memberitakan soal vonis mantan Ketua DPR itu. Situs Bangkok Post memuat artikel, Indonesia jails former parliament speaker for 15 years.

Pun dengan Nikkei Asian Review, media Australia News.com.au, The Australian, South China Morning Post, New Straits Times, Wall Street Journal, dan ABC News.

Sementara, media Amerika Serikat The New York Times memuat artikel berjudul, Top Indonesian Official, Long Seen as Untouchable, Gets Prison for Graft.

New York Times menyebut, Setya Novanto divonis bersalah dalam salah satu kasus korupsi paling fantastis dalam sejarah Indonesia.

"Putusan itu mengakhiri kisah kucing-kucingan Setya Novanto dengan KPK,yang menyelidiki skandal e-KTP," demikian dikutip dari New York Times.

Pada 2017 Setya Novanto menghindar dari pemeriksaan KPK. Sakit dan dirawat dokter jadi alasannya.

Pada 5 September 2017, ayah empat anak itu mengajukan perlawanan dengan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan tersebut dikabulkan hakim tunggal, Cepi Iskandar.

Setya Novanto kembali masuk rumah sakit pada 16 November 2017. Kali itu dengan alasan kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya menabrak tiang lampu jalan di kawasan Permata Hijau.

Bagian depan kendaraan itu penyok, sementara tiang listrik yang ditabraknya masih tegak berdiri, hanya posisinya yang bergeser.

Pengacaranya, Fredrich Yunadi mengatakan, akibat kecelakaan itu, Setya Novanto mengalami luka-luka dan langsung pingsan. Mobilnya pun hancur…cur…cur.

Belakangan diketahui, kecelakaan itu disebut-sebut rekayasa belaka. Pengacaranya, Fredrich Yunadi dan dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo ikut terseret jadi terdakwa.

"Setya Novanto bertemu dengan Donald Trump, yang kala itu masih kandidat presiden AS, di New York pada 2015," demikian ditulis New York Times.

Pertemuan tersebut, kata media AS itu, dilakukan sebelum skandal rekaman "papa minta saham" Setya Novanto.