Sukses

Politik dan Suara Buruh Perempuan di Aksi May Day 2018

Bawaslu sebelumnya mengimbau semua pihak yang hendak memperingati Hari Buruh Internasional tidak melakukan kegiatan kampanye pilkada maupun pemilu.

Liputan6.com, Jakarta - Aksi puluhan ribu buruh yang datang ke Ibu Kota untuk memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day 2018 berlangsung damai dan aman.

"Diperkirakan ada sekitar 1 juta buruh dari 25 provinsi dan 200 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang menggeruduk Jakarta untuk menyuarakan tuntutan," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (1/5/2018), seperti dilansir Antara.

Mereka berasal dari Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia, Federasi Serikat Buruh Indonesia, Komite Nusantara Aparatur Sipil Negara, Federasi Pekerja Pos dan Logistik Indonesia, Forum Honorer Kategori 2 Indonesia, Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia, dan Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia.

Tuntutan tersebut antara lain, turunkan harga beras, listrik, dan BBM, serta tolak upah murah dan tolak tenaga kerja asing (TKA) buruh kasar dari Tiongkok. Para buruh juga menuntut dihapuskannya sistem outsourcing dan memilih Presiden RI 2019 yang pro kepada buruh.

2 dari 4 halaman

Aksi Buruh Disusupi Politik

Meski peringatan May Day 2018 berjalan aman dan damai, aksi para buruh disinyalir disusupi kegiatan politik berupa deklarasi dukungan terhadap salah satu calon presiden 2019.

Setelah puluhan ribu massa KSPI melakukan long march dari Tugu Tani menuju Istana Merdeka, mereka juga akan menggelar deklarasi dukungan terhadap Prabowo Subianto sebagai capres yang diusung buruh yang tergabung dalam KSPI.

Deklarasi dukungan terhadap Prabowo sebagai capres berlangsung di Istora Senayan, sekitar pukul 15.00 WIB. Acara ini dihadiri langsung Ketua Umum Parti Gerindra Prabowo Subianto, sekaligus menandatangani kontrak kesepakatan bersama para buruh diwakili Presiden KSPI, Said Iqbal.

Agenda deklarasi salah satu calon Presiden yang digelar dalam May Day 2018 disinyalir menjadi praktik kegiatan kampanye Pemilu.

3 dari 4 halaman

Bawaslu Bicara

Padahal, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengimbau semua pihak yang hendak memperingati Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2018, untuk tidak melakukan kegiatan kampanye pilkada maupun pemilu. Aksi May Day seyogianya dimaksimalkan untuk memperjuangkan kepentingan buruh yang dilindungi konstitusi UUD 1945.

Bawaslu mengimbau agar kemerdekaan tersebut tetap dilakukan dalam jalur peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk ketentuan UU Pilkada dan Pemilu.

"Tidak boleh disusupi. Tidak boleh ada bendera parpol atau atribut pasangan calon baik pemilihan wali kota (pilwalkot), pemilihan gubernur (pilgub), dan pemilihan legislatif (pileg)," kata Koordinator Divisi Hukum Bawaslu Jawa Barat, Yusuf Kurnia.

Bawaslu mengimbau, penyampaian pendapat pada peringatan Hari Buruh 2018 tidak disisipkan materi kampanye pilkada maupun pemilu. Materi yang dimaksud adalah menyampaikan orasi dalam bentuk terbuka maupun menggunakan alat peraga, seperti spanduk, poster, ataupun selebaran.

4 dari 4 halaman

Suara Buruh Perempuan di Aksi May Day

Para buruh perempuan juga tidak ketinggalan menggelar aksi dalam perayaan May Day 2018.

Aksi buruh perempuan diikuti oleh Jala PRT, Federasi Buruh Lintas Pabrik, Serikat SINDIKASI, Perempuan Mahardhika, Solidaritas Perempuan, Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT Pancaprima EkaBrothers, PurpleCode Collective, Kalyanamitra, Emancipate, JOUDI Foundation, Aliansi Remaja Independen (ARI), LBH APIK, Institut Perempuan, Seperti Pagi Foundation, Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG), perEMPUan, dan www.Konde.co.

Buruh perempuan menuntut pemerintah untuk memberikan dukungan atas advokasi penghentian kekerasan di dunia kerja, dan tidak melakukan pembiaran atas kekerasan di dunia kerja.

Mereka juga menuntut pengusaha, majikan atau pemberi kerja untuk tidak melakukan kekerasan terhadap buruh perempuan yang terjadi di dunia kerja. Baik itu yang bekerja di domestik maupun publik.

Kaum perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga juga masih belum dianggap sebagai pekerja, buruh, maupun pekerja lepas. Tidak adanya pengakuan itu membuat pekerja rumah tangga tidak memiliki hak perlindungan kerja yang layak.

"Mereka masih kerap disebut pembantu. Status pekerja yang hilang bagi pekerja rumah tangga merupakan bagian dari konsekuensi anggapan kerja domestik tidak diakui sebagai sebuah pekerjaan," kata Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini.

 

Saksikan video pilihan selengkapnya di bawah ini:Â