Sukses

HEADLINE: Kisah Ekspatriat di Indonesia, Nikahi Artis hingga Naik Ojek

Menjadi pekerja asing atau ekspatriat tidak selalu identik dengan kesenangan. Banyak tantangan dan halangan yang mereka temukan saat bekerja di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Pekerja asing alias ekspatriat di Indonesia dianggap identik dengan hidup nyaman, gaji tinggi, fasilitas berlimpah, penampilan necis lagi wangi. Setidaknya, itu anggapan orang kebanyakan.

Namun, dalam praktiknya, menjadi pekerja asing atau ekspatriat di Indonesia tak gampang. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Tak jarang, mereka harus berpeluh. 

"Meskipun bisa bahasa Indonesia, saya tetap orang asing. Jadi memang dibilang kesulitan juga enggak, cuma ada tantangan," ucap Michael Villareal, Wakil Direktur USP Int Indonesia, dalam sebuah perbincangan melalui telepon, Senin, 30 April 2018.

Uniknya lagi, perusahaan multinasional yang berkolaborasi dengan pemerintah Indonesia untuk pembangunan infrastruktur di bidang kelistrikan itu hanya punya satu orang pekerja asing, yaitu Michael Villareal. Ada tantangan khusus untuk pria yang karib disapa Mike ini.

Bagi Mike, untuk bisa meyakinkan warga dan pejabat pemerintah bukan perkara mudah. Sebab, masih banyak anggapan di masyarakat bahwa orang asing tidak bisa dipercaya. Oleh karena itu, Mike kerap menggunakan pendekatan personal, terutama kepada warga.

Dalam proyek di Halmahera Barat, misalnya, tugas Mike cukup berat. Dia harus meyakinkan warga tentang pembangunan tenaga listrik tenaga surya di desa. Dia tak takut kulitnya terbakar lantaran matahari di lokasi proyek lebih terik. Bahkan, Mike harus menggunakan bahasa daerah atau sekadar berbicara dengan logat serupa warga lokal.

"Persoalannya justru budaya, sebagai orang asing, bagaimana bisa dipercaya oleh pejabat daerah dan masyarakat daerah," jelas pria yang sudah beberapa tahun menjabat Wakil Direktur USP Int Indonesia.

Tahun 1994, untuk pertama kalinya Mike menginjakkan kaki di Indonesia. Kala itu dia diajak seorang rekan menjadi bagian dari perusahaan PT Harvest Internasional. Di perusahaan konsultan pemerintah yang bergerak lintas sektor ini, dia menjabat direktur marketing.

Setahun tinggal di Indonesia, dia sudah bisa berbahasa Indonesia. Namun bukan hasil kursus, melainkan karena sering berinteraksi dengan warga lokal. Utamanya sopir taksi, salah satu moda transportasi andalan Mike kala itu.

Obrolan dengan para sopir taksi itu membuat dia lebih cepat paham bahasa gaul Jakarta. Seperti mengucapkan kata 'gue' dan 'lu', bahasa gaul yang digunakan masyarakat Ibu Kota. Namun, dia pernah apes karena menganggap budaya di Amerika sama dengan di Indonesia, khususnya dalam soal sopan santun.

Mike bercerita, suatu kali dia pernah bertemu dengan salah seorang menteri. Dalam perbincangan dia kemudian menggunakan istilah dan kata yang dia pelajari dari sopir taksi. Akibatnya, dia ditegur ajudan sang menteri.

"Saya pernah didatangi ajudannya pejabat karena bicara pakai 'gue' dan 'lu'. Baru tahu setelah kejadian itu, saya enggak tahu, yang penting pakai bahasa Indonesia, karena enggak pernah kursus, belajar di jalan saja," ucap Mike.

Beberapa tahun kemudian, Mike naik jabatan. Sebagai Wakil Direktur Harvest Indonesia, otomatis pendapatan bulanannya juga naik. Mike mengatakan perusahaannya mempekerjakan warga lokal sebanyak 75 persen. Sementara sisanya merupakan orang Amerika. Setelah 11 tahun bekerja untuk Harvest, tahun 2005 Mike memutuskan mengundurkan diri.

Dia kemudian sempat berpindah-pindah perusahaan. Dia juga sempat memboyong keluarganya kembali ke Amerika. Apalagi setelah dia menikah dengan model dan penyanyi ternama Indonesia, Sophia Latjuba.

"Saya sempat pulang ke Amerika sekitar 3 tahun sampai 4 tahun setelah kawin dengan Sophia Latjuba, karena Sophie mau masuk ke dunia entertainment di Amerika sama anak-anakku mau sekolah di Amerika juga," ucap Mike.

Belum genap lima tahun di negara asalnya, Mike memutuskan kembali ke Indonesia karena melihat berbagai peluang yang ada. Sempat terbersit untuk pindah kewarganegaraan menjadi WNI.

Namun, dia kerap mengurungkan niatnya. Sebab, meski betah tinggal di Indonesia, Mike tetap bangga menjadi orang AS.

"Banyak budaya dan sifat orang Indonesia yang menarik. Namun, yang paling menarik adalah soal peluang dan kesempatan yang sangat luas. Apa saja di Indonesia itu baru perkembangan, baru mulai, kalau di Amerika sudah lama ada," jelas Mike.

Demikian pula soal besaran gaji. Dia mengatakan wajar bila pekerja asing dibayar lebih mahal dari warga lokal. Sebab, para TKA memiliki keahlian tertentu yang tidak dimiliki warga lokal. Namun, patokan soal gaji itu kini tidak berlaku lagi di Indonesia.

"Dulu wajar bila pendapatan tenaga kerja asing lebih tinggi, karena mereka ahli. Tapi sekarang sudah banyak orang Indonesia memiliki kemampuan seperti warga asing," ungkap Mike.

Sejak akhir 2017, Mike sibuk bolak-balik Jakarta-Halmahera Barat untuk mengerjakan proyek pembangkit listrik. Namun, kesibukan tak membuatnya lupa dengan negara asalnya. Dia masih kerap meluangkan waktu satu atau dua pekan untuk kembali ke Amerika mengunjungi orangtuanya di Texas dan Atlanta.

"Habis proyek ini juga saya bakal balik ke Amerika seminggu," tandas Mike.

 

Saksikan video terkait di bawah ini:

 

https://www.vidio.com/watch/1363293-927-tka-bekerja-di-sulawesi-tenggara

 

2 dari 3 halaman

Liburan ke Bali, Bekerja di Jakarta

Mudahnya mendapat pekerjaan di Indonesia juga dirasakan James Blacker, editor bahasa untuk koran The Jakarta Post. Pria asal kota kecil di wilayah barat daya Inggris, Bristol, ini tak perlu berdarah-darah untuk mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Bahkan, dia mendapatkan pekerjaan dari mesin pencari Google.

Ceritanya berawal tiga tahun lalu, ketika James mengunjungi Pulau Bali untuk berlibur. Tak sekadar liburan, pria yang lulus kuliah di jurusan bahasa Prancis dan Rusia itu sempat pula belajar bahasa dan budaya Indonesia.

Seusai liburan di Bali, terbersit keinginan pria yang berprofesi sebagai penerjemah ini kembali ke Indonesia. Bukan jadi turis, James ingin bekerja dan menetap di Indonesia yang dirasanya sangat nyaman untuk ditinggali. Senyum ramah dan sikap bersahabat warga Bali telah memikat hatinya.

"Selain itu, di sini semuanya serba murah," ungkap James dalam sebuah perbincangan di kawasan Senayan, Jakarta, Sabtu akhir pekan lalu.

Keinginan itu akhirnya terpenuhi. Tapi dia bukan kembali ke Bali, melainkan menetap di Kota Malang, Jawa Timur. Ada alasan khusus kenapa dia memilih menetap di kota dingin tersebut dibanding Pulau Bali yang lebih banyak dipilih warga asing.

"Aku pilih Malang karena aku enggak mau di Bali lagi. Di sini tidak banyak orang bulenya, jadi aku bisa banyak belajar. Kalau di Bali temen aku bule semuanya," ujar James.

Selama tinggal di Malang, James banyak mengambil kerja paruh waktu. Mulai dari sebagai penerjemah hingga bekerja untuk perusahaan di Inggris secara online. Profesi itu pula yang ditekuni saat menetap di Bandung, Jawa Barat.

"Aku kerja freelance sebagai penerjemah, yang sebelum itu cuma jalan-jalan. Jadi aku mau experience banyak ketemu orang dan belajar bahasa Indonesia," ungkap James.

Saat itu, iseng-iseng dia mencari lowongan pekerjaan di dunia maya hingga akhirnya tahun lalu ia melamar pekerjaan di Koran Jakarta Post sebagai editor bahasa. Dia diterima dan terhitung sejak Agustus 2017 James resmi bekerja dan dikontrak selama satu tahun.

"Saya cari kerja di Google dan saya lihat ada lowongan kerjaan ini (tim editor bahasa Inggris di Jakarta Post) dan terus kerja sama seperti sekarang," jelas dia dengan bahasa Indonesia yang masih terbata-bata.

Satu bulan sebelum bekerja, dia memilih untuk pulang kampung ke Inggris untuk keperluan pengurusan kontrak kerja. Meski dibantu tim dari tempatnya akan bekerja, James merasakan proses administrasi dan birokrasi di Indonesia tidaklah mudah.

"Harus ke RW, RT dan kelurahan. Banyak dan lama prosesnya, harus ke Singapore juga buat bikin visanya," terang bungsu dari tiga bersaudara ini.

Yang jelas, kini dia tengah menikmati pekerjaannya. Meski diakui, gaji yang diterimanya di Indonesia tidak sebesar profesi serupa di Inggris, James mengatakan tidak mempermasalahkan. Alasannya, pengeluaran dia sehari-hari juga terbilang kecil.

"Gaji di sini untuk saya cukup. Tapi saya pikir ada bule dengan gaji besar sekali kalau di Jakarta, tapi untuk saya ini cukup. Apalagi kalau di Inggris harga mahal sekali," tutur pria berusia 30 tahun ini.

Bahkan, dia mengatakan masih bisa menabung, lantaran penghasilannya tetap lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja lokal dengan jabatan yang sama.

"Saya kan bisa tinggal di tempat murah banget, kalau saya mau nabung ya bisa. Kalau di sini bisa kos yang Rp 1 juta sebulan, kalau di Inggris enggak bisa, enggak ada yang semurah itu," ujar James tergelak.

Di luar semua itu, dia mengaku bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Alasannya, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan begitu sengit di negara asalnya. Sebaliknya, di Indonesia ia merasa mendapatkan pekerjaan dengan cara yang mudah.

"Di Inggris lumayan susah sekarang, kalau di Indonesia tergantung skill. Seperti saya bisa jadi guru bahasa Inggris atau penerjemah karena banyak orang mau belajar bahasa Inggris," ujar James.

Bersyukur atas kesempatan yang diterima, dia menerima bekerja dengan fasilitas standar. Tinggal di sebuah kontrakan yang dicari sendiri, James berangkat bekerja dengan ojek online.

"Tempat tinggal cari sendiri, ke kantor naik ojek online. Tapi saya sudah mulai malas naik gojek, saat ini mau naik motor sendiri," ujar James.

Dia pun mengaku makin betah di Jakarta karena sudah memiliki kekasih orang Indonesia. Seorang mahasiswi kedokteran salah satu universitas swasta di Jakarta turut mengisi hari-harinya.

"Sebelumnya punya pacar, tapi orang Inggris. Ini pertama kali sama orang Indonesia, dia punya darah Bali-Sumatera, tinggal di Lenteng Agung," jelas James sambil tersenyum.

Kegembiraan James pun bertambah karena di Jakarta dia bisa sesering mungkin bertemu sang kekasih. Bukan karena dia banyak uang atau sering cuti, melainkan karena alasan lain.

"Saya senang di Indonesia karena banyak hari liburnya," tandas James sembari terbahak.

 

3 dari 3 halaman

Uji Data Pekerja Asing

Kehadiran tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia sejatinya bukanlah sesuatu yang aneh. Malah, akan aneh jika ada negara yang tak membutuhkan tenaga asing dalam berbagai ruang lingkup profesi dan pekerjaan.

Bahkan, banyaknya kehadiran mereka dianggap pemerintah sebagai tren positif. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengatakan, parameter sebuah negara maju bisa dilihat dari besarnya tenaga kerja asing. Baik untuk posisi tinggi hingga pekerja kasar.

"Di seluruh dunia, ada tren semakin kaya sebuah negara, semakin tinggi TKA yang digunakan. Negara paling kaya di dunia, paling banyak menggunakan TKA, baik di tingkat tinggi maupun pekerja kasar," kata Thomas dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin, 23 April 2018.

Namun, penolakan terhadap masuknya pekerja asing makin menguat seiring terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Banyak kalangan menuduh Perpres itu sebagai jembatan emas bagi pekerja asing membanjiri Tanah Air.

Padahal, melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015, pemerintah menegaskan bahwa calon tenaga kerja asing itu harus melalui kualifikasi dan persyaratan.

Ada enam persyaratan. Pertama, memiliki pendidikan sesuai dengan syarat jabatan akan diduduki. Lalu, memiliki sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman kerja sesuai dengan jabatan akan diduduki paling kurang 5 (lima) tahun. Selanjutnya, membuat surat pernyataan wajib mengalihkan keahliannya dengan laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.

Syarat lainnya, yakni memiliki NPWP bagi mereka sudah bekerja lebih dari enam bulan. Ditambah memiliki bukti polis asuransi pada asuransi berbadan hukum Indonesia. Dan terakhir, ikut kepesertaan Jaminan Sosial Nasional bagi mereka bekerja lebih dan enam bulan.

Namun, harapan terhadap para ahli dari tenaga kerja asing untuk mentransfer ilmu kepada pekerja Indonesia dirasakan bakal sulit terwujud. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan transfer of knowledge dari tenaga kerja asing sulit terlaksana. Salah satunya karena tingkat pendidikan pekerja Indonesia tidak sebanding dengan mereka.

Ini terlihat dari banyaknya buruh di Indonesia masih lulusan sekolah menengah pertama (SMP) yang hampir 60 persen. Hal tersebut membuat transfer ilmu sulit dijalankan. Pemerintah seharusnya meningkatkan dahulu pendidikan pekerja buruh, setelah itu masuk ke tahap berikutnya dengan transfer ilmu dari tenaga kerja asing.

"Kita tidak bisa bersaing karena 60 persen buruh ini merupakan lulusan SMP. Di dalam Perpres ini ada dana kompensasi. Tiap tahun kita punya dana kompensasi Rp 1,4 triliun. Ini digunakan untuk apa? Nah sebaiknya ini upgrading skills baru kemudian transfer of knowledge," tutur Bhima dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu 28 April 2018.

Menurut dia, seharusnya dana ini bisa menjadi modal untuk meningkatkan pendidikan para buruh dan daya saing tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

"Jika seperti ini, terus yang ada TKA bakal naik signifikan. Kalau saya lihat implikasi untuk skill tenaga kerja kita ini belum terasa. Artinya, penggunaan dana kompensasi ini ada yang salah," jelas Bhima.

Di sisi lain, pemerintah meminta publik untuk tidak risau dengan keberadaan pekerja asing di Indonesia. Bagaimanapun, fakta dan data yang ada masih memperlihatkan angka yang sangat kecil antara jumlah TKA di Tanah Air dengan jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri.

Data Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kementerian Ketenagakerjaan menyebut jumlah tenaga kerja asing di Indonesia saat ini berkisar pada angka sekitar 86 ribu orang.

"Data TKA di Indonesia per akhir 2017 kemarin 85.974 orang," kata Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri saat menghadiri diskusi Forum Merdeka Barat 9 di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta Pusat, Senin 23 April 2018.

Menurut Hanif, ada dua cara untuk mencari perbandingan dan menentukan apakah TKA benar telah membanjiri Indonesia, yakni dengan menghitung berapa jumlah TKI di luar negeri atau membandingkan TKA di negara-negara lain. Dia memulainya dengan menyebut jumlah TKI berdasarkan data yang dihimpun oleh World Bank.

"TKI kita itu besar, kalau pakai survei World Bank ada sekitar 9 juta per akhir 2017. 55 persennya ada di Malaysia, 13 persen di Saudi Arabia, 10 persen di China atau Taipei, dan di negara-negara lain," tutur Hanif.

Sementara jika merujuk pada data TKA di beberapa negara, Hanif mengambil contoh Singapura yang satu per lima warga di sana adalah TKA. Keberadaan TKA yang besar juga bisa ditemui di Qatar, Uni Emirat Arab, di mana jumlah TKA di sana hampir sama dengan jumlah penduduknya.

Menaker juga menyinggung tentang kekhawatiran jumlah TKA asal China di Indonesia. Menanggapi hal tersebut, dia menilai justru TKI yang menyerbu China, bukan TKA asal China yang membanjiri Indonesia.

"TKI kita di Hong Kong sudah lebih dari 150 ribu orang. Di Makau sekitar 20 ribu orang. Di Taiwan sekitar 200 ribu orang. Sementara jumlah TKA asal China yang kerja di Indonesia sampai akhir 2017 sekitar 24.800-an," ujar Hanif.

Jadi, dari mana data yang menyebutkan pekerja asing, khususnya asal China, muncul dan dianggap sebagai sebuah kebenaran?

Reporter: Anisyah Al Faqir