Sukses

Soal UU MD3, Yasonna Tegaskan Pemerintah Tak Kalah dengan DPR

Menurut Yasonna, pemerintah sudah memperkirakan segala risiko dari terbitnya UU tersebut. Termasuk adanya gugatan dari masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Liputan6.com, Jakarta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menolak apabila pemerintah dianggap kalah oleh DPR terkait terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3.

Menurut Yasonna, pemerintah sudah memperkirakan segala risiko dari terbitnya UU tersebut. Termasuk adanya gugatan dari masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Bukanlah (tidak kalah), mana kalah namanya? Tapi dia (DPR) bilang, begini, begini, begini dan DPR agak keras lah (untuk tetap mengesahkan UU MD3)," katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (4/5).

Politisi PDIP ini mengaku, menyerahkan sepenuhnya kepada proses gugatan UU MD3 yang kini masih bergulir di MK.

"Kita serahkan ke MK, kan masyarakat sudah jelas membuat pendapatnya, jadi kita serahkan saja ke MK, kalau nanti kita bilang (berharap dikabulkan), nanti bentrokan lagi kita dengan DPR," ucap Yasonna.

Sebelumnya, terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) merupakan bentuk dari kekalahan negosiasi politik pemerintah atas DPR RI.

Demikian diungkapkan Bvitri Susanti, akademisi sekaligus praktisi hukum, saat memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan oleh pemohon uji materi UU MD3 di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis 3 Mei 2018 lalu.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

2 dari 2 halaman

Siapa Bertanggungjawab?

Awalnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta Bvitri mengelaborasi lagi soal siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas lahirnya UU MD3 ini.

Sebab, Saldi merasa 'peluru' lebih banyak diarahkan kepada DPR RI, padahal seluruh UU dibahas bersama antara wakil rakyat dengan pemerintah.

Saat diberikan kesempatan menjawab, Bvitri setuju dengan pernyataan Saldi.

"Betul, ini merupakan bentuk kekalahan pemerintah di dalam negosiasi proses UU MD3 dengan DPR sebenarnya," ujar Bvitri.

"Ada dua alasan. Pertama, begitu UU ini disahkan di DPR, Presiden rupanya tidak bersedia menandatangani UU tersebut. Kedua, Presiden malah mendorong rakyat untuk melakukan uji materi UU ini di MK," lanjut dia.

 

Â