Sukses

Charles Honoris: Oposisi RI Sulit seperti Malaysia karena Kinerja Jokowi Baik

Insentif elektoral cenderung didapat kelompok oposisi manakala (koalisi) partai penguasa tidak becus menjalankan pemerintahan.

Liputan6.com, Jakarta - Kemenangan oposisi Malaysia yang dipimpin Mahathir Mohamad adalah dampak evaluasi kinerja pemerintahan PM Najib Razak yang dinilai kurang memuaskan oleh mayoritas masyarakat Negeri Jiran. Apalagi, PM yang memerintah sejak 2009 diduga terlibat skandal korupsi 1MDB yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Anggota Komisi Luar Negeri DPR, Charles Honoris mengatakan, insentif elektoral cenderung didapat kelompok oposisi manakala (koalisi) partai penguasa tidak becus menjalankan pemerintahan.

"Rumus politik rasional selalu begitu. Semakin baik kinerja pemerintah, oposisi semakin tidak laku. Sebaliknya, semakin pemerintah tidak becus dan korup, oposisi semakin mendapat angin surga untuk menumbangkannya," kata Charles dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (11/5).

Rumus tersebut, kata Charles, juga bisa dibawa ke Indonesia. Namun, lanjut dia, dengan melihat kepuasaan rakyat yang semakin tinggi terhadap kinerja Presiden Jokowi, seperti ditunjukkan sejumlah hasil survei, kejadian di Malaysia sulit terjadi di Indonesia.

"Survei Litbang Kompas dalam rangka 3,5 tahun Jokowi-JK pada awal April lalu menunjukkan 72,2 persen rakyat puas dengan kinerja pemerintahan ini," kata politikus PDI Perjuangan ini.

"Bayangkan, pembangunan infrastruktur masih berjalan saja tingkat kepuasaan rakyat sudah begitu tinggi, apalagi kalau rakyat sudah merasakan dampaknya nanti?" kata Charles.

Oleh karena itu, kata Charles, pernyataan sejumlah politisi oposisi dalam negeri bahwa peristiwa politik di Malaysia akan 'merembet' ke Indonesia, jelas sulit terjadi selama kinerja pemerintahan Jokowi berjalan baik.

"Politik itu tidak bekerja di ruang hampa. Masak apa yang terjadi di negara tetangga disebut bisa merembet begitu saja, tanpa melihat faktor-faktor yang terjadi di belakangnya, seperti kinerja pemerintahan, efektivitas oposisi, dan sebagainya," kata Charles.

Justru, kata Charles, oposisi terancam tidak laku manakala kinerja pemerintahan Jokowi-JK semakin memuaskan rakyat. "Apalagi jika kritik-kritik yang dilancarkan oposisi tidak substantif dan tidak rasional," ujarnya.

 

2 dari 2 halaman

Kritik

Salah satu kritik yang tidak rasional, ujar Charles, adalah politisasi isu SARA, seperti yang kerap diangkat UMNO dan PM Najib ketika berkampanye.

"Politisasi isu SARA terbukti tidak memiliki tempat dalam perpolitikan Malaysia dan terbukti tidak efektif mendulang suara, karena masyarakat Malaysia sudah cerdas," ujarnya.

Charles yakin politisasi isu SARA juga tidak akan terjadi dan tidak akan berpengaruh dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 di Indonesia. "Karena publik Indonesia semakin cerdas, dan sudah paham efek destruktif politisasi isu SARA yang pernah terjadi," ujarnya.

Lebih jauh Charles menambahkan, PDI Perjuangan bisa memenangkan Pemilu 2014 yang lalu juga karena mendapat kepercayaan rakyat setelah pemerintahan sebelumnya berjalan tidak sesuai harapan. Apalagi, ujar dia, sejumlah petinggi partai penguasa sebelumnya banyak yang terjerat korupsi.

"Di samping itu, PDI Perjuangan sebagai oposisi semakin efektif dalam melakukan komunikasi politik kepada rakyat dan selalu menggunakan cara-cara beradab dalam merebut kekuasaan," ujarnya.

"Jadi, kemenangan PDI Perjuangan di 2014 adalah buah dari kerja politik ideologis selama 10 tahun, bukan hasil menunggu tanda-tanda zaman atau hasil rembetan," dia menandaskan.

Reporter: Muhamad Agil Aliansyah

Sumber: Merdeka.com