Sukses

MK Minta Penggugat UU Pemilu Pertajam Tuntutan

Muhammad Hafidz, memiliki legal standing, karena berpartisipasi memenangkan Jusuf Kalla atau JK sebagai Cawapres periode 2014.

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sidang dipimpin Hakim Panel Wahiduddin Adams, kemudian anggotanya Saldi Isra, dan I Dewa Gede Palguna, Senin 14 Mei 2018.

Adapun yang diuji salah satunya mengenai frasa presiden atau wakil presiden, serta frasa selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

Perkara dengan nomor 36/PUU-XVI/2018, diajukan oleh seorang warga negara bernama Muhammad Hafidz, Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi (Perak), serta Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS), yang mempermasalahkan Pasal 169 huruf n, Pasal 270 dan Pasal 227 huruf i.

Dalam persidangan, salah satu kuasa hukumnya, Dorel Armil, menyampaikan, pemohon I yakni Muhammad Hafidz, memiliki legal standing, karena berpartisipasi memenangkan Jusuf Kalla atau JK sebagai cawapres periode 2014.

Sedangkan, pemohon II dan III, merupakan organisasi yang memiliki badan hukum, sehingga juga memiliki legal standing.

"Pemohon I juga telah ikut berpartisipasi dalam memenangkan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden melalui pemilihnya, untuk memilih Jokowi pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hak Pemohon I untuk juga dipilih. Dalam hal ini termasuk dipilih secara potensial sebagai Presiden dan Wakil Presiden di masa yang akan datang. Sehingga hak konstitusional tersebut memang diberikan oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7," ucap Dorel di persidangan, Jakarta, Senin.

Dia menuturkan, pemohon menyadari calon Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik.

"Akan tetapi harapan pemohon untuk dapat kembali mengusung Pasangan Calon Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Petahana, Jusuf Kalla, yang memiliki komitmen dan kerja nyata dalam penciptaan lapangan kerja berkelanjutan, dapat terhalangi dengan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 270, Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu," jelas Dorel.

Sementara itu, kuasa hukum pemohon yang lain, Dewi Kemala Mirza Andalus, menyatakan, Frasa presiden atau wakil presiden pada Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu, haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat dengan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Menurut dia, alasan mendasar, lantaran kata 'dan' dalam frasa tersebut memberikan makna, jabatan dua kali baik Presiden maupun Wakil Presiden, itu dilakukan dalam periode yang sama. Berbeda, masih kata Dewi, dengan rumusan norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu yang menggunakan kata 'atau'.

"Dengan demikian, frasa Presiden atau Wakil Presiden pada Pasal pada Pasal 169 huruf n dan pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu, haruslah dinyatakan bertentangan dengan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Presiden dan Wakil Presiden," jelasnya.

Dewi juga memandang, keberadaan pasal tersebut, membuat tidak tegasnya aturan. Menurut dia, ini dapat memberikan keragu-raguan, serta mengakibatkan ketidakpastian hukum apabila dipersandingkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang frasa dan sesudahnya dapat dipilih kembali yang bermakna 'berturut-turut'.

"Maka guna meniadakan keragu-raguan dan untuk memberikan kepastian hukum atas masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, menjadi relevan apabila pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana dimaksud dalam frasa selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu, sepanjang tidak dimaknai 'tidak berturut-turut,' ungkap Dewi.

 

2 dari 2 halaman

Tanggapan Hakim Panel

Ketua Hakim Panel Wahidin, meminta penjelasan kepada pemohon I, yaitu perseorangan. Dia mempertanyakan, kerugian konstitusional apa yang didapatkan oleh Muhammad Hafidz, dan menanyakan apakah memang JK mau maju kembali.

"Ini perlu dipertajam, terkait sebagai penalaran yang wajar kerugian konstitusional dari saudara, ya. Karena apa? Karena Saudara menyebut statusnya sebagai pendukung. Pendukung perorangan ini harus dipertajam betul dalam konteks apa pendukung ini? Saudara sebutkan. Pendukung dari calon wakil presiden yang mungkin akan maju. Nah, ini ya. Coba nanti diuraikan hal seperti itu," ungkap Wahidin.

Selain itu, hakim Panel I Dewa Gede Palguna, meminta para pemohon, menjelaskan maksud dari menjabat berturut-turut. Dia pun memberi contoh, ini bisa saja menimbulkan presiden seumur hidup.

Senada, Hakim panel Saldi Isra, menjelaskan, jika menggunakan logika Bahasa Indonesia yang sederhana, jabatan kedua itu baru ada setelah masa jabatan pertama.

"Itu logika sederhananya. Jadi, jabatan kedua itu baru ada setelah jabatan pertama. Kalau ada orang jadi presiden satu periode kosong, satu periode tiba-tiba jadi presiden atau wakil presiden lagi, lalu kemudian dibenarkan untuk ikut sekali lagi, bagaimana mengatakan bahwa itu satu apa tidak lebih dari dua periode? Nah, tolong itu dicarikan, sehingga, kami Majelis bisa terbantu untuk memahami perkembangan baru dalam melihat ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945, kalau nanti dikaitkan dengan Pasal 169 huruf n dan penjelasannya itu," jelas Saldi.

Usai menyampaikan hal tersebut, Ketua Hakim Panel Wahidin Adams, mengingatkan pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat Senin, 28 Mei 2018, pukul 10.00 WIB, yang diserahkan ke Kepaniteraan. Lepas itu, dia pun menutup jalannya persidangan.

Saksikan video pilihan di bawah ini: