Liputan6.com, Jakarta - Awal 1998, suhu politik di Tanah Air memanas. Unjuk rasa mahasiswa menentang kepemimpinan Presiden Soeharto terjadi silih berganti. Ekonomi juga melemah, yang ditandai dengan terus turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Rabu 11 Maret 1998, Presiden Soeharto membacakan pidato pertanggungjawaban yang kemudian banyak ditanggapi negatif oleh sebagian besar aktivis. Penolakan antara lain disuarakan Rahardjo Waluyo Djati, aktivis Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD), sayap dari Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Kamis 12 Maret 1998, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta itu berada di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Bersama senjumlah aktivis lainnya, seperti Faisol Reza, Djati mendiskusikan laporan tahunan Soeharto. Selepas siang, cerita horor itu dimulai.
Advertisement
"Sekitar pukul 14.00 WIB, karena lapar saya mengajak Faisol Reza keluar untuk mencari makan," cerita Djati dalam sebuah perbincangan panjang dengan kami pada Sabtu 12 April 2018.
Namun, saat keluar dari kantor YLBHI, Djati punya firasat buruk kalau dia dan Faisol tengah diikuti. Ternyata, yang terjadi lebih buruk lagi. Saat berada di trotoar depan Rumah Sakit Cipto Mangunkoesomo, sebuah mobil memepet keduanya. Beberapa orang keluar dari mobil dan mengejar mereka.
"Karena panik, aku masuk ke RSCM, terus ke UGD. Mungkin karena panik dan tak menguasai medan, aku merasa ini kok jalan buntu, ada ruang perawatan dan segala macam. Aku kebingungan. Pas turun lagi, Faisol Reza di tangga sudah diambil (ditangkap), langsung dipukuli. Aku panik dan aku naik lagi, masuk ke toilet," ungkap Djati.
Di dalam toilet, dia membuang semua dokumen, buku telepon serta tanda pengenal ke dalam lobang kloset. Sementara itu, pintu toilet pun terus digedor dari luar. Djati pun pasrah ketika tujuh pria tak dikenal menerobos masuk dan mengeroyoknya di depan pengunjung rumah sakit.
"Waktu itu Gus Dur (Ketua Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid) sedang dirawat di RSCM, aku berharap ada wartawan atau teman aktivis yang sedang menengok Gus Dur. sehingga aku teriak-teriak, 'ini bukan kriminal, ini soal politik. ini soal politik'," teriak Djati.
Namun, teriakan itu tak membuat para pengeroyoknya terganggu. Apalagi mereka mengeluarkan pistol yang membuat orang lain tak berani ikut campur. Dia terus dipukuli dan akhirnya jatuh kesakitan oleh siksaan para pengeroyok tak berseragam itu.
"Saya diseret keluar rumah sakit dan dinaikkan ke atas kendaraan. Mobil langsung dibawa muter-muter kira-kira sejam. Lalu masuk ke satu ruangan, masuk satu gedung, masuk ke ruangan langsung interogasi intensif selama lima hari berturut-turut," jelas Djati.
Dia mengaku tak mengetahui pasti lokasi penyekapan. Dia hanya bisa menebak bahwa tempat itu adalah sebuah instansi militer. Alasannya, dia mendengar ritual upacara setiap pagi. Selebihnya, yang dia rasakan hanya rasa sakit dan kelelahan.
"Selama interogasi kita digebukin, disetrum. Kalau kita sudah kelelahan, sudah payah, ya sudah. Ada dokternya juga untuk mengecek. Kalau denyut nadi kita melemah berarti istirahat dulu. Tiga hari pertama duduk terus," ungkap Djati.
Penyiksaan yang dia alami memang akan sangat sulit dibayangkan. Untuk mendapatkan bocoran satu nama saja, dia harus mengalami rasa sakit akibat penyiksaan yang dialami.
"Aku dibawa ke sebuah ruangan dan seluruh pakaianku dilepas hingga telanjang bulat dan dipaksa tidur tengkurap di atas balok es selama kurang lebih 10-15 menit sambil menanyakan kepadaku bagaimana cara menemukan Andi Arief," kata Djati.
Selama interogasi itu memang ditanyakan soal aktivitas mereka yang disebut-sebut akan menggulingkan pemerintahan. Demikian pula, kepada Djati ditanyakan soal hubungannya dengan sejumlah tokoh, seperti Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais.
"Secara fisik aku sangat menderita, bahkan sampai tidak mampu lagi merasakan sakit, dan secara mental aku mengalami penurunan pada titik yang paling bawah," ungkap Djati.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Penyiksaan dan Pembebasan
Setelah lima hari penyiksaan tanpa henti, Djati kemudian dipindah ke ruangan lain. Ruangan ini berada di bawah tanah dan dia digiring oleh para penculik yang mengenakan penutup wajah.
"Setelah 4-5 hari itu, aku dibawa ke bawah, sel bawah tanah. Pertama cuma di ruangan biasa, di atas. Terus aku dibawa ke ruangan bawah tanah. Di sana aku ketemu dengan yang lain. Desmond Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam (almarhum), dan Faisol Reza. Seingatku ada enam sel," ujar dia.
Ruangan tempat interogasi berganti-ganti. Kadang digunakan ruangan yang kecil, tak jarang pula ruangan besar seperti tempat untuk pertemuan. Yang jelas, semua ruangan itu suhunya dibuat sangat dingin.
"Itu saja sudah bikin kita down, karena kita enggak pakai baju, cuma pakai celana dalam, dingin. Kita kan merasa enggak aman, secara psikologis jadi down. Lalu diikat ke kursi. Dari 12-25 April kira-kira," cerita Djati.
Tak lama kemudian, muncul kabar kalau mereka akan segera dibebaskan. Kabar itu ternyata benar adanya. Yang pertama dibebaskan adalah Pius Lustrilanang, disusul Desmond Junaidi Mahesa dan Haryanto Taslam. Semuanya dibebaskan pada hari yang berbeda.
"Itu sel semua kosong, tinggal aku sama Reza yang terakhir. Tapi kita sudah tenang karena ada yang keluar. Dan kita saling menghapal nomor telepon rumah. Janjiannya, begitu dibebaskan, semua yang sudah keluar duluan harus menghubungi keluarga," cerita Djati.
Tak lama kemudian, dia diproses untuk pembebasan. Para penculik mewanti-wanti dan memberikan peringatan buat dirinya tentang apa yang akan terjadi jika dia melanggar kesepakatan untuk pembebasan. Rupanya, Andi Arief telah tertangkap di Lampung. Itu nampaknya yang menjadi alasan dia akan dilepaskan.
"Kamis 23 April 1998, aku dan Reza diproses lagi untuk persiapan pembebasan, dan untukku telah dipersiapkan skenario kalau aku mengaku korban salah culik oleh mafia belakang diskotek Menteng, aku diancam untuk tidak melanggar hal tersebut karena risikonya seluruh keluargaku akan dihabisi," ujar Djati.
Dia ternyata benar-benar bebas pada Sabtu 26 April 1998. Djati dilepas di Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Dia dibawa dengan sebuah mobil. Di bagian belakang ada kursi yang saling berhadapan dan dia tiduran di bawah ditutupi oleh seseorang yang sedang baca koran.
Tak lama kemudian pintu dibuka dan disuruh turun, tak boleh menoleh dan dikasih tiket kereta. Bahkan, dia masih mengalami ancaman di detik-detik pembebasan.
"Mereka berpesan bahwa orang-orang mereka sudah disebar di sekitar stasiun, bahkan di kereta pun mereka sudah siapkan orang-orang mereka, aku diturunkan di dekat perempatan pintu kereta Jatinegara ke arah Cipinang dan tidak boleh menoleh ke belakang," jelas Djati.
Seolah tak mau melepaskan korbannya, para penculik itu mengatakan bahwa gerak-gerik Djati selama dalam perjalanan pulang tetap akan diawasi kelompok mereka. Termasuk saat berada di atas kereta.
"Dia (penculik) bilang, pokoknya kamu nanti kalau misalnya ada apa-apa di tengah jalan, kamu diam saja. Nanti ada sepasang orangtua dan anaknya yang kenal kamu duduk di kereta. Duduknya di seberang kamu. Anaknya duduk di belakang kamu. Dan benar, itu memang ada," tutur Djati.
Begitu pula saat tiba di rumah, langsung ada telepon masuk dan menanyakan apakah dirinya sudah tiba di rumah atau belum. Sejak itulah dia baru percaya kalau sudah benar-benar bebas.
"Begitu keluar aku menghubungi telepon orangtua Reza. Dia bebas sehari setelah aku. Jarak pembebasan enggak semua beda sehari. Ada yang beberapa hari juga, aku enggak terlalu ingat," tutur Djati.
Namun, tak mudah untuk melupakan perlakuan yang dia dapatkan selama berada di bawah penguasaan penculik. Meski sebagai aktivis dia mengaku siap dengan semua konsekuensi, diculik merupakan hal yang tak terbayangkan.
"Paranoid pasti setelah itu. Kita itu siap ditangkap, siap dipenjara, tapi dihilangkan shock juga. Masih mending dipenjara 10 tahun, jelas. Keluarga masih bisa besuk, baca buku dan lain-lain. Kalau itu, saya pilih dipenjara mungkin nggak apa-apa, daripada hilang begini kan orangtua susah," tegas Djati.
Dalam kasus penculikan ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 23 orang telah dihilangkan. Dari jumlah itu, satu orang ditemukan meninggal, yakni Leonardus Gilang. Sedangkan sembilan orang dilepaskan penculiknya dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.
Mereka yang belum kembali adalah Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin dan Abdun Nasser.
Di antara mereka tak jelas rimbanya itu, sembilan aktivis lain sudah dilepas pada 1998. Mereka kini sudah menjadi manusia bebas. Di antaranya Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Riza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto dan Andi Arief.
Lantas, bagaimana kabar para penculik?
Advertisement
Nasib Tim Mawar
Sekitar setahun setelah Rahardjo Waluyo Djati dan aktivis lainnya dibebaskan, giliran Tim Mawar yang menjadi sorotan. Sebanyak 11 orang anggota Tim Mawar menjadi terdakwa dalam kasus penculikan terhadap sembilan aktivis pro demokrasi di pengadilan Mahkamah Militer II Jakarta.
Pada Selasa 6 April 1999, Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta yang dipimpin Kolonel (Chk) Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999. Hasilnya, Komandan Tim Mawar Mayor (Inf) Bambang Kristiono divonis 22 bulan penjara dan dipecat dari anggota TNI.
Demikian pula dengan perwira lainnya, Kapten (Inf) Fausani Syahrial Multhazar selaku Wakil Komandan Tim Mawar, Kapten (Inf) Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten (Inf) Yulius Selvanus dan Kapten (Inf) Untung Budi Harto, masing-masing divonis 20 bulan penjara dan dipecat sebagai anggota TNI.
Sementara enam prajurit lainnya divonis penjara, namun tak dipecat sebagai anggota TNI. Mereka adalah Kapten (Inf) Dadang Hendra Yuda, Kapten (Inf) Djaka Budi Utama, Kapten (Inf) Fauka Noor Farid masing-masing 1 tahun 4 bulan. Sedangkan Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun.
Kelima prajurit yang dipecat kemudian mengajukan banding, sehingga sanksi pemecatan belum bisa dikenakan atas mereka. Tidak diketahui bagaimana perjalanan banding mereka, yang jelas sebagian besar tetap menapakkan karier dan kenaikan pangkat di TNI.
Lihat saja tahun 2016, empat anggota Tim Mawar meraih bintang di pundaknya atau pangkat brigadir jenderal TNI. Empat anggota Tim Mawar yang menerima kenaikan pangkat itu adalah Kolonel Inf Fauzambi Syahrul Multazhar (Wakil Komandan Tim Mawar yang dulu bernama Fausani Syahrial Multhazar), Kolonel Inf Drs Nugroho Sulistyo Budi, Kolonel Inf Yulius Selvanus dan Kolonel Inf Dadang Hendra Yuda.
Keempatnya dipromosikan menjadi jenderal setelah menerima promosi ke jabatan yang diemban oleh seorang brigjen. Diakui, jabatan yang diemban keempatnya bukan di struktur TNI, melainkan di institusi pemerintahan sipil, yakni di Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Kolonel Yulius Selvanus menjadi anggota Tim Mawar pertama yang menjadi brigjen, setelah Panglima TNI mengeluarkan Surat Perintah Nomor: Sprin/120/I/2016 tentang Kenaikan Pangkat, pada 19 Januari 2016. Brigjen TNI Yulius Selvanus menjabat Kepala BIN Daerah Kepulauan Riau.
Menyusul pada 9 Juni 2016, Kolonel Fauzambi Syahrul Multazhar dan Kolonel Nugroho Sulityo Budi menjadi brigjen. Panglima TNI menerbitkan Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep/463/VI/2016 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI untuk pengangkatan kedua jenderal itu.
Fauzambi dipromosikan dari Kepala Sub Direktorat Analisa Strategi, Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Kemenhan, menjadi Direktur Veteran, Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, Kemenhan. Sedangkan Nugroho Sulistyo Budi dari agen madya BIN Daerah Jawa Tengah menjadi Direktur Komunikasi Massa Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi BIN.
Terakhir, pada 1 Agustus 2016, Kol Dadang Hendra Yuda menjadi brigjen pasca keluarnya Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep/613/VIII/2016 tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI, khususnya mutasi jabatan 43 Perwira Tinggi TNI.
Dadang dipromosikan dari Kepala Sub Direktorat Pengawasan dan Kontra Propaganda dan Deradikalisasi BNPT, menjadi Kepala Biro Umum Sekretariat Utama BNPT yang dijabat seorang brigjen.
Meski menjabat di pemerintahan sipil, keempatnya tetaplah seorang prajurit TNI aktif yang jenjang kepangkatannya ditentukan oleh Panglima TNI. Hal itu diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Pada Pasal 47 ayat (2) disebut; Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan prtahanan nasional, SAR Nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
Jika nasib anggota Tim Mawar memiliki kejelasan, tidak demikian halnya dengan korban penculikan. Benar bahwa sejumlah korban telah dilepaskan, namun lebih banyak lagi yang tidak diketahui nasibnya hingga kini.
Rahardjo Walujo Djati dan Faisol Reza adalah dua di antara mereka yang dilepaskan itu, sehingga bisa menceritakan hari-hari penuh horor yang mereka alami 20 tahun lalu.
Reporter: Anisyah Al Faqir dan Ardyan Mohamad