Sukses

Bangkit dari Trauma, Kondisi Psikologis 7 Anak Teroris Membaik

Tujuh anak terduga teroris yang menjadi korban dalam serangkaian ledakan bom di Surabaya dan Sidoarjo mendapat perawatan di RS Bhayangkara Polda Jawa Timur di Surabaya.

Surabaya - Tujuh anak terduga teroris yang menjadi korban dalam serangkaian ledakan bom di Surabaya dan Sidoarjo mendapat perawatan di RS Bhayangkara Polda Jawa Timur (Jatim) di Surabaya. Kondisi psikologis ketujuh anak itu menunjukkan perkembangan signifikan.

AIS, anak terduga teroris yang menyerang Mapolrestabes Surabaya misalnya. Dia telah melakukan serangkaian observasi kejiwaan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Anak perempuan itu sudah mulai bisa menggambar kemarin, Rabu 16 Mei. Tim ahli dari RS Bhayangkara Polda Jatim meminta Ais menggambar sejumlah benda. Gambar-gambar tersebut rupanya merupakan rangkaian tes psikologi untuk anak 8 tahun.

Sebelumnya, sejak masuk RS Bhayangkara pada Senin 14 Mei, AIS lebih banyak diam. Hasil kreasi AIS ini bakal langsung dianalisis tim dokter yang beranggotakan para psikolog dan psikiater.

Ketua KPAI Susanto mengatakan, AIS mulai bisa menerima kunjungan para dokter yang menangani. Hanya saja, dia masih pilih-pilih orang yang dianggapnya nyaman untuk berkomunikasi. Orang tersebut adalah seorang perawat perempuan.

Susanto lantas mencoba berkomunikasi dengan anak terduga teroris lainnya. Misalnya AR dan GHA.

Ternyata, ada pola tertentu yang digunakan untuk berkomunikasi dengan para anak terduga teroris itu. Anak laki-laki merasa nyaman berkomunikasi dengan perawat atau tim ahli laki-laki. Begitu juga yang perempuan. Mereka lebih memilih orang bergender sejenis yang dianggap nyaman.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi juga menemui tujuh anak terduga teroris tersebut. Sama dengan Susanto, Seto datang untuk melakukan serangkaian pengecekan seberapa berat trauma yang diderita tujuh anak itu.

Seto menyimpulkan, anak-anak itu masih menderita trauma. Namun, beberapa sudah mengalami kemajuan yang cukup pesat. "Pas ketemu, sudah ada yang mau tersenyum, ditanya ada yang jawab. Sudah tidak diam saja," ujar Seto.

Menurut dia, di antara tujuh anak tersebut, AIS yang menderita trauma paling hebat.

Dia lebih suka menutup mulut ketika diajak berbicara oleh orang lain yang dirasanya kurang nyaman. Terkadang Ais enggan menjawab pertanyaan yang diajukan Seto maupun tim psikolog. Dia hanya memandang mereka penuh tanya.

"Saya tanya sudah makan, dia hanya mengangguk," kata Seto.

Berbeda dengan AIS, trauma ringan diderita keenam anak lainnya. Ketika interaksi dilakukan, beberapa anak mengenali pria yang akrab disapa Kak Seto itu.

Mereka tidak sungkan untuk melakukan interaksi. Salah satunya anak terduga teroris Teguh yang paling bungsu, yakni H. "Dia malah sudah meminta robot kepada petugas untuk menemani dia di ruangan," imbuh Seto.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait datang beberapa jam setelah kunjungan Seto ke ruangan anak-anak. Dia datang bersama Kapolrestabes Surabaya Kombes Rudi Setiawan yang juga ingin memastikan keadaan tujuh anak tersebut.

Ketika sampai di ruangan AIS, Arist berinisiatif masuk terlebih dahulu. Dia menanyakan kabarnya. AIS mampu berkomunikasi dengan menjawab ya atau tidak. Tapi, begitu Rudi datang, AIS hanya menggantinya dengan anggukan yang samar-samar. Senyumnya pun berbeda.

"Raut wajahnya berubah ketika yang tanya Kapolrestabes," ujar Arist. "Kalau ke polisi dia enggak merespons."

 

2 dari 2 halaman

7 Anak

Tujuh anak yang masih dirawat di RS Bhayangkara antara lain AIS, 8 tahun, anak Tri Murtiono pelaku peledakan bom di Mapolrestabes Surabaya; dan tiga anak pemilik bom yang meledak di Rusunawa Wonocolo, Taman, Sidoarjo, AR, 15 tahun; FP, 11 tahun; GHA, 10 tahun.

Tiga anak yang datang menyusul adalah DNS, 14 tahun; AISP, 10 tahun; dan HAA, 7 tahun. Ketiganya adalah anak Dedy Sulistiantono alias Teguh, terduga teroris yang ditangkap polisi di Jalan Sikatan IV, Surabaya.

 

Baca berita menarik lainnya di Jawapos

Saksikan video pilihan di bawah ini: