Sukses

Ketika Pengusutan Kasus Terorisme Disoal karena Alquran

Penggeledahan dalam pengusutan kasus terorisme dipersoalkan karena diduga ikut menyita Alquran. Polemik bermula dari petisi daring.

Liputan6.com, Jakarta - Akun Twitter Wakil Ketua DPR Fadli Zon, berkicau pada Minggu (20 Mei 2018), jelang tengah hari. Ia nimbrung mengomentari isu yang sedang hangat beberapa hari terakhir.

"Kontroversi Al Quran sebagai barang bukti tindak kejahatan terorisme harus dibahas secara serius," tulisnya.

Setelah cuitan pertama, Fadli menggunggah 13 poin cuitan lain. Isinya masih bicara soal keberatannya Alquran dijadikan barang bukti dalam kasus tindak pidana korupsi.

Fadli sempat menyinggung Pasal 39 KUHAP tentang kriteria barang yang dapat disita. Dalam Kultwit itu, ia meminta Polri berhati-hati dalam menetapkan alat bukti.

Fadli juga mengutip putusan Mahkamah Agung terhadap terpidana Masykur Rahmat bin Mahmud di Aceh. "Di situ Alquran dijadikan sebagai barang bukti yang disita," kata Fadli.

Polemik penggunaan Alquran sebagai bukti tindak pidana terorimse mulai bergulir Kamis (17 Mei 2018) lalu. Sebuah akun memulai petisi 'Alquran Bukan Barang Bukti Kejahatan' di situs www.change.org.

Dalam penjelasan petisinya, si pembuat petisi terganggu dengan informasi yang berseliweran dalam pemberitaan media. Poin keberatannya terletak pada penyebutan Alquran sebagai barang bukti.

"Banyak sekali pemberitaan yang menyebutkan bahwa aparat menyita Alquran yang ditemukan di TKP sebagai barang bukti kejahatan, terutama terorisme. Kejadian ini telah dilakukan bertahun-tahun," tulis si pembuat petisi.

"Alquran adalah wahyu Allah Swt. Adalah tidak pantas dan tidak benar menjadikan Alquran sebagai barang bukti kejahatan," bunyi petisi itu lagi.

Petisi yang hingga Minggu (20 Mei 2018) sore mendapat 36 ribu dukungan itu ditujukan kepada Kapolri, Komnas HAM, MUI, dan Jaksaan Agung.

Majelis Ulama Indonesia pun turut berkomentar. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin punya pandangan senada dengan isi petisi.

Ia menolak kitab suci Alquran dijadikan barang bukti dalam kasus terorisme. Din pun sepakat dan mendukung petisi penolakan Alquran dijadikan sebagai barang bukti oleh kepolisian.

"Ya sebaiknya janganlah (Alquran jadi barang bukti). Saya setuju Alquran jangan jadi bahan bukti, saya setuju," kata Din di Jakarta, Sabtu (19 Mei 2018).

Menurut Din, Alquran merupakan kitab suci umat muslim yang dijadikan sebagai pedoman dalam beragama dan berkehidupan. Sehingga, kata dia, sebaiknya tidak digunakan untuk barang bukti kasus terorisme.

"Itu kitab suci yang seyogyanya sudah ada di rumah seorang muslim," ucap Din.

 

2 dari 3 halaman

Harus Dihormati

Penolakan beresonansi hingga ke Gedung Parlemen. Anggota Komisi IX DPR, yang juga Wakil Sekjen Partai Amanat Nasional, Saleh Partaonan Daulay, tegas menolak Alquran dijadikan bukti tindakan terorisme.

Baginya, Alquran adalah kitab suci yang harus dihormati. Ia menilai lumrah jika setiap rumah Muslim memiliki Al-Quran.

Bila Alquran menjadi barang bukti tindak teroris, Saleh Khawatir nantinya muncul persepsi keliru.

"Jangan sampai setiap orang yang memiliki Al-Quran malah dicurigai sebagai teroris. Itu berbahaya sekali dan potensial menimbulkan kegelisahan," kata Saleh.

Ia menegaskan, aksi terorisme tak ada sangkut pautnya dengan agama. Terorisme, kata Saleh, adalah kejahatan kemanusiaan yang dibungkus dengan wajah agama.

Bagi umat Islam sendiri, tindakan terorisme itu sangat merugikan. Secara faktual, menurut Saleh, umat Islam mengecam terorisme dan menginginkan perdamaian.

Ajaran luhur itu justru datang dari Alquran. "Mana mungkin kitab suci yang mengajarkan perdamaian seperti itu jadi barang bukti kejahatan?" kata Saleh.

Ia meminta Polri memberi klarifikasi terkait posisi dan status Alquran yang ditemukan dalam dalam setiap kasus terorisme. Saleh berpendapat, penjelasan utuh diperlukan untuk membangun kesepemahaman antara masyarakat dan Polri dalam pemberantasan terorisme.

"Bagaimana pun juga, umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia sangat diperlukan perannya dalam membantu kepolisian dalam perang melawan terorisme," katanya.

3 dari 3 halaman

Respons Polri

Saat awal petisi bergulir, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menyatakan, segera melakukan evaluasi internal terkait aspirasi masyarakat tersebut.

"Nanti kita evaluasi. Terima kasih masukannya," ujar Setyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (18 Mei 2018).

Sehari kemudian, jawaban Polri lebih tegas. Setyo menampik kabar Alquran dijadikan barang bukti dalam kasus terorisme.

"Saya nyatakan bahwa tidak pernah ada penyitaan kitab suci Alquran sebagai barang bukti," ucap Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto melalui keterangan tertulis, Jakarta, Sabtu (19 Mei 2018).

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Mohammad Iqbal juga menyampaikan pesan yang sama. Polri, kata dia, tidak pernah melabeli Alquran sebagai barang bukti kejahatan.

Iqbal menambahkan, 90 persen penyidik Densus 88 Antiteror Polri merupakan muslim. Sehingga mereka sangat paham bahwa Alquran tidak ada kaitannya sama sekali dengan tindak kejahatan terorisme.

"Penyidik sangat paham bahwa tidak ada sama sekali hubungan terorisme dengan kitab suci Alquran. Bahkan aksi terorisme sangat bertentangan dengan isi dan makna yang terkandung dalam Alquran," tutur Iqbal.

Jenderal bintang satu itu meminta masyarakat lebih jernih menyikapi hal-hal yang terjadi di media sosial. "Mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terhasut dengan isi petisi," tegasnya.

Bagi Wakil Ketua DPR, dua pernyataan yang berbeda justru menimbulkan tanya. "Saya menyayangkan statement Polri yang berbeda-beda merespons petisi tersebut," tulisnya di akun Twitter. Ia meminta polisi memberi penjelasan yang terang dan jelas.

Saksikan video pilihan di bawah ini