Liputan6.com, Jakarta - Pemberitaan persidangan terdakwa terorisme yang disiarkan oleh media secara langsung atau pun dibeberkan dengan mendetail dinilai dapat memicu timbulnya korban baru. Mereka adalah komponen persidangan mulai dari saksi, Jaksa Penuntut Umum (JPU), hingga hakim dalam pengadilan tersebut.
"Kalau (media) menyampaikan secara langsung artinya data (komponen persidangan) sudah di tangan ini. Kalau itu teroris, maka jelas sudah menunggu (ancaman)," tutur Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah dalam diskusi 'Pemberitaan dan Penyiaran tentang Terorisme' di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (30/5/2018).
Baca Juga
Menurut Abdullah, saat pengadilan tingkat pertama dan banding itu tentunya memeriksa saksi dan alat bukti. Saksi yang dihadirkan merupakan orang yang akan memberatkan terdakwa.
Advertisement
"Oleh karena itu keselamatannya harus dilindungi. Hakim, penuntut umum, dan polisi yang mengawal terdakwa ini juga perlu perlindungan, minimal tidak diberitakan. Artinya posisi mereka terancam," jelas dia.
Selain itu, keterangan saksi di persidangan pada dasarnya tidak boleh didengar oleh pihak lain. Pasalnya, informasi yang nantinya dilontarkan saksi lain pun dapat terkontaminasi.
Hasilnya, keterangan yang akan diterima hakim dari saksi menjadi tidak lagi orisinil dan sulit dipertanggungjawabkan. Bahkan saksi dapat mencabut kesaksian lantaran perasaan takut dan akhirnya menyulitkan penyidik dan keputusan hakim.
"Jadi dengan tidak memberitakan maka sudah menyelamatkan namun kalau memberitakan artinya sudah memberikan informasi untuk menambah korban baru," Abdullah menandaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini: