Sukses

Setengah Abad Menanti KUHP Baru

Hal lain yang masih mengganjal adalah masih dimasukkannya pasal-pasal tentang tindak pidana korupsi ke dalam KUHP yang ditentang KPK.

Liputan6.com, Jakarta - Ada kabar baik dari Gedung DPR di awal bulan ini. Anggota Panitia Kerja (Panja) Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dari Fraksi Partai NasDem, Teuku Taufiqulhadi mengatakan RKUHP sudah selesai nyaris 100 persen. Bahkan, DPR telah menyelesaikan sekitar 700 pasal dalam revisi tersebut.

"Sekarang kita sudah selesaikan 100 persen, sudan sekitar 700-an pasal lebih," kata Taufiq di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/6/2018).

Dia menjelaskan, saat ini masih ada beberapa pasal yang perlu pengambilan keputusan tingkat fraksi. Salah satunya pasal mengenai hukuman mati.

"Nah sekarang menurut kami sudah selesai, tapi ada pasal-pasal yang kita anggap memerlukan sebuah keputusan, kajian, masukan lagi dan harus ada keputusan dari fraksi yang lain sudah yakin," ungkap Taufiqulhadi.

"Seperti hukuman mati, tetap diberlakukan dalam konteks kami di Panja, tetapi kita harus tanyakan ke fraksi juga setuju atau tidak," lanjut dia.

Sikap optimistis juga diungkapkan Ketua DPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet yang mengatakan, Revisi KUHP sudah dalam tahap finalisasi. Dia yakin RKUHP bisa selesai pada Agustus mendatang dan menjadi kado ulang tahun kemerdekaan Indonesia.

"Pemerintah maupun Panja DPR Panja RUU KUHP mereka akan menyelesaikan Agustus dan akan menjadi kado ulang tahun kemerdekaan bangsa," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 30 Mei 2018.

"Momentum 17 Agustus besok itu adalah bahwa kita punya UU KUHP sendiri, tidak lagi pakai UU pidana kolonial," kata dia lagi.

Bamsoet menjelaskan, memang masih ada beberapa perdebatan dalam pembahasan pasal revisi KUHP. Di antaranya pasal perzinaan, pasal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dan pasal penghinaan presiden.

Demikian pula dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang optimistis DPR bisa menepati janji menyelesaikan Revisi KUHP saat HUT ke-73 RI pada 17 Agustus 2018. Walaupun JK yakin masih ada perbedaan padangan dalam beberapa hal pada rancangan tersebut.

"Perbedaan-perbedaan itu tergantung intensifikasi pertemuan. Contohnya soal UU teroris dalam waktu 5 hari selesai, ini masih ada waktu 3 bulan poin-poin itu untuk di sepakati bersama. Saya yakin kalau DPR bisa, tiga bulan waktu yang menyelesaikan soal itu," kata JK di kantornya, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu 30 Mei 2018.

Hal lain yang juga masih mengganjal adalah masih dimasukkannya pasal-pasal tentang tindak pidana korupsi ke dalam KUHP, sementara diketahui undang-undang yang lebih khusus mengatur perkara korupsi sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun, Taufiq yang juga anggota Komisi III DPR ini menegaskan tidak ada fraksi yang mempermasalahkan adanya pasal tindak pidana korupsi (Tipikor) masuk RKUHP. Menurutnya, tidak ada yang perlu diperdebatkan terkait pasal tersebut.

"Menurut saya bukan, tidak masalah korupsi, justru engga ada persoalan, di luar apakah ini dilepaskan dari KUHP sama sekali," ujarnya.

"Tidak ada berebut pasal. Apa yang diperebutkan di situ," ucapnya.

Namun, KPK punya sikap lain. Lembaga ini justru bersikap sebaliknya dan menentang rencana pengesahan RKUHP jika tetap masih mengakomodir pasal-pasal tentang tipikor.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

2 dari 3 halaman

KPK Surati Presiden

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agaknya memang risau dengan pembahasan Revisi KUHP di DPR. Karena itu, pekan lalu lembaga ini mengaku telah menyurati Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar mengeluarkan pasal-pasal tindak pidana korupsi dari revisi KUHP.

"Saya kira, masyarakat akan mendukung jika Presiden melawan pelemahan pemberantasan korupsi. Dan sekaligus, diharapkan Presiden juga memimpin penguatan pemberantasan korupsi yang salah satu caranya adalah membuat aturan yang lebih keras pada koruptor melalui revisi UU Tipikor yang ada saat ini," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di KPK, Rabu 30 Mei 2018.

KPK, kata Febri, menilai jika pasal-pasal tindak pidana korupsi itu masih berada dalam RUU KUHP, berisiko melemahkan pemberantasan korupsi. Febri mengatakan, pihak KPK sudah membuat kajian terkait RUU KUHP tersebut dengan beberapa guru besar, ahli dan praktisi hukum di beberapa universitas.

"Ada kekhawatiran yang tinggi jika RUU KUHP dipaksakan pengesahannya dalam kondisi saat ini. Kita tidak bisa membayangkan ke depan bagaimana resiko terhadap pemberantasan korupsi dan kejahatan serius lainnya," kata dia.

Yang jelas, KPK mengimbau pengesahan RUU KUHP tidak melemahkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, KPK juga berharap revisi tersebut tidak ditumpangi oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan di dalamnya.

"Kita harus sangat hati-hati, jangan sampai program-program regulasi seperti ini ditumpangi kepentingan untuk melemahkan pemberantasan korupsi dan kejahatan serius lainnya," ujar Febri.

Namun, anggota Panitia Kerja (Panja) Revisi KUHP dari Fraksi Partai NasDem, Teuku Taufiqulhadi menilai tindakan KPK yang menolak masuknya pasal tindak pidana korupsi di Revisi KUHP tidak etis.

Menurutnya, jika ada pegawai KPK yang tidak setuju dengan kehadiran pasal tipikor masuk di RKUHP, sebaiknya keluar dari lembaga antirasuah itu.

"Kalau dia adalah anggota lembaga, dia bukan pembuat undang-undang tapi dia pelaksana undang-undang. Kalau mereka tidak setuju ya keluar dari KPK, bukan mempengaruhi Presiden," kata Taufiq, Sabtu (2/6/2018)

"Jangan kemudian mengirim surat, melakukan tekanan, itu menurut saya tidak etis," sambung dia.

Taufiq menjelaskan, dalam rapat, DPR sempat menanyakan sikap KPK atas pasal tipikor ini. Namun KPK selalu tidak memberikan jawaban yang pasti.

"Pemerintah menghadirkan anggota lembaga lain. Misalnya kejaksaan, BNPT, BNN. Semua hadir. Yang tidak mau hadir itu KPK. Karena dia menganggap berbeda dengan lembaga lain. Kemudian sekarang mereka persoalakan hal-hal seperti itu," ujar dia.

Anggota Komisi III ini mengungkapkan, selama ini KPK terkesan tidak ingin diajak kompromi dan cenderung memberikan tekanan terkait pasal tipikor di KUHP. Kemudian memilih melakukan penolakan di belakang anggota DPR.

"Kalau lembaga lain kepala atau pimpinannya, kalau KPK hadirkan entah siapa saya tidak tahu. Yang ketika kemudian kita menanyakan bagaimana sikap KPK. Yang ketika kita menanyakan bagaimana sikap KPK, dia mengatakan kami belum bisa menyatakan pendapat karena kami belum tanya ke pimpinan di sana," pungkas Taufiq.

3 dari 3 halaman

Penantian Setengah Abad

Penantian akan lahirnya sebuah KUHP yang benar-benar hasil karya bangsa sendiri sudah berlangsung lama. Gagasan untuk melahirkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Nasional yang segera disahkan lahir lebih setengah abad silam, yakni saat berlangsung Seminar Hukum Nasional I di Semarang.

Dalam seminar yang berlangsung pada 1963 tersebut muncul berbagai masukan untuk KUHP asli Indonesia. Antara lain, perlunya perluasan delik-delik kejahatan keamanan negara, ekonomi, juga kesusilaan.

Gagasan ini lahir karena selain KUHP yang ada merupakan produk pemerintahan kolonial yang sejumlah pasalnya tak bisa dilepaskan untuk kepentingan pemerintahan jajahan, juga lantaran perlu ada aturan dan rumusan baru bagi sejumlah delik pidana.

Sumber KUHP sendiri adalah hukum Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku di Hindia Belanda sejak 1 Januari 1918.

Pemerintah kemudian merespons hasil seminar dengan membentuk sebuah tim perumus. Setahun kemudian terbentuk tim perumus RKUHP yang diketuai pakar hukum Universitas Diponegoro Prof Soedarto. Tim beranggotakan sejumlah pakar hukum terkemuka Indonesia.

Mereka antara lain Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Satochid Kartanegara, Prof Oemar Seno Adji, dan J.E. Sahetapy.

Beberapa tahun kemudian anggota tim ditambah, antara lain dengan melibatkan Prof Mardjono Reksodiputro, Karlinah Soebroto, Andi Hamzah, Muladi, Barda Nawawi, dan Bagir Manan. Soedarto memimpin tim hingga ia wafat pada 1986 dan kemudian digantikan Roeslan Saleh.

Tim perumus RKUHP sepakat tidak membuat KUHP sama sekali dari nol. Tim melakukan rekodifikasi KUHP Hindia Belanda, menghilangkan Buku III dan membuat penjelasan setiap pasal. Soedarto juga meminta pandangan dua pakar hukum Belanda untuk memberi masukan RKUHP. Keduanya, yaitu Prof D Schaffmeister dan Prof N Keijzer dari Universitas Leiden.

Pada 1986 penyusunan Buku I yang berisi asas-asas dan penjelasan pasal-pasal selesai yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan Buku II, yakni dengan memasukkan pasal yang dinilai tim masih relevan ke dalam buku II, yang mengatur tindak pidana berikut ancaman pidananya.

Saat Menteri Ismail Saleh menjadi Menteri Kehakiman ia meminta tim untuk segera menyelesaikan penyusunan RKUHP ini. Ismail dan Sunarjati Hartono -Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)- terus mengawal penyusunan RKUHP tersebut.

Akhirnya pada 1993 Ketua Tim, saat itu dipegang Mardjono Reksodiputro menyerahkan naskah lengkap RKUHP kepada Ismail Saleh di kantornya. Mardjono menjadi ketua tim sejak 1987 hingga 1993.

Ketika Ismail lengser dan digantikan Oetojo Oesman, peraktis tidak ada kemajuan dalam pembuatan RKUHP itu. Bisa disebut, hampir selama lima tahun RKUHP ini hanya tersimpan di Kementerian Kehakiman. RKUHP kemudian baru mengalami kemajuan lagi ketika Muladi menjadi Menteri Kehakiman.

Muladi sempat mengajukan RKUHP ini ke Sekretariat Negara. RKUHP ini juga pernah diberikan ke DPR. Baru pada 2013 DPR secara intensif melakukan pembahasan RKUHP. Benny K Harman dari Fraksi Demokrat memimpin Panitia Kerja pembahasan RKHUP.

Pada 5 Juni 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP. DPR dan pemerintah sepakat merampungkan pembahasan itu dalam tempo dua tahun yaitu sampai akhir 2017 yang akhirnya terlewati.

Kini, bisa dipastikan bahwa RKUHP yang terdiri sekitar 780 pasal itu akan disahkan pada 2018. Jika disahkan nanti, maka berarti inilah rancangan undang-undang yang terbilang paling lama pembuatannya dalam sejarah bangsa ini. Jika dihitung dari Seminar Hukum Nasional I di Semarang, memakan waktu sekitar 55 tahun.

Reporter: Sania Mashabi