Liputan6.com, Jakarta: Penyelesaian kasus perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia ternyata tak hanya lewat pengadilan. Secara sembunyi-sembunyi kedua negara pernah baku tembak berkali-kali. Hal itu diakui Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayor Jenderal TNI Sudrajat di Jakarta, pekan kedua Juni ini. Sayangnya, dia tak merinci waktu kejadian dan jumlah peristiwa kontak senjata.
Sudrajat mengatakan, ketegangan antar kedua negara memang tak dapat dihindari. "Sampai sekarang belum jelas sih, siapa pemiliknya," ujar dia. Dalam insiden itu, Departemen Keamanan hanya menyumbang bantuan berupa data, termasuk peta lokasi. "Departemen Luar Negeri-lah yang menjadi penanggung jawab kasus ini," kata dia. Namun, Sudrajat menuturkan, kini intensitas baku tembak menurun sejak masalah ini diserahkan ke Mahkamah Internasional.
Pembahasan masalah Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional telah masuk ke tahap argumentasi lisan atau oral hearings. Sejumlah kalangan menilai, kemungkinan besar Indonesia akan kehilangan kedua pulau yang kini dijadikan tempat wisata tadi. Pasalnya, Indonesia terkesan kurang serius menangani persoalan yang telah terjadi sejak 1969 itu [baca: Pemerintah Dinilai Tak Serius Menangani Persoalan Sipadan-Ligitan].
Tahap oral hearings sendiri diadakan pada 3-12 Juni 2002 di Den Haag, Belanda. Ini adalah tahap akhir penyelesaian sengketa setelah sebelumnya diadakan argumentasi tertulis atau written pleadings. Sedangkan keputusan Mahkamah Internasional yang bersifat final dan mengikat tentang penyelesaian kasus tadi diperkirakan akan dilakukan sekitar November atau Desember 2002.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda membantah Delegasi Indonesia kurang serius menangani sengketa Sipadan-Ligitan. Menurut Hassan, tim dan pakar dari Departemen Luar Negeri serta para ahli internasional yang dibayar telah diterjunkan untuk mendapatkan kedua pulau tersebut. Mereka akan meyakinkan Mahkamah Internasional bahwa kedua pulau itu milik Indonesia. Klaim itu didasarkan pada perjanjian yang dibuat Pemerintahan Kolonial Belanda dan Inggris pada 1891. Mereka bersepakat menarik garis batas empat derajat 10 menit untuk menyelesaikan perbatasan dan distribusi wilayah tersebut.
Hassan menilai, penyelesaian sengketa ini melalui Mahkamah Internasional adalah langkah maju bagi Indonesia-Malaysia. Apalagi, kedua negara telah bersepakat menerima segala keputusan Mahkamah Internasional. Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Negeri Jiran dimulai ketika kedua negara untuk pertama kali membicarakan mengenai batas landas kontinen pada 1969. Pada tahun yang sama kedua negara menyetujui Note of Understanding yang menetapkan kedua pulau sebagai status quo.
Dalam perjalanannya, pembahasan bilateral tentang sengketa Sipadan dan Ligitan tak pernah mencapai kesepakatan. Sampai akhirnya, kedua negara membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional pada 1997. Kala itu, Filipina yang tak mempunyai kepentingan teritorial atas Pulau Sipadan dan Ligitan, sempat melakukan intervensi dengan mengajukan klaim atas Sabah. Namun, intervensi tersebut ditolak Mahkamah Internasional pada 23 Oktober 2001.(MTA/Fahmi Ihsan dan Budi Sukmadianto)
Sudrajat mengatakan, ketegangan antar kedua negara memang tak dapat dihindari. "Sampai sekarang belum jelas sih, siapa pemiliknya," ujar dia. Dalam insiden itu, Departemen Keamanan hanya menyumbang bantuan berupa data, termasuk peta lokasi. "Departemen Luar Negeri-lah yang menjadi penanggung jawab kasus ini," kata dia. Namun, Sudrajat menuturkan, kini intensitas baku tembak menurun sejak masalah ini diserahkan ke Mahkamah Internasional.
Pembahasan masalah Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional telah masuk ke tahap argumentasi lisan atau oral hearings. Sejumlah kalangan menilai, kemungkinan besar Indonesia akan kehilangan kedua pulau yang kini dijadikan tempat wisata tadi. Pasalnya, Indonesia terkesan kurang serius menangani persoalan yang telah terjadi sejak 1969 itu [baca: Pemerintah Dinilai Tak Serius Menangani Persoalan Sipadan-Ligitan].
Tahap oral hearings sendiri diadakan pada 3-12 Juni 2002 di Den Haag, Belanda. Ini adalah tahap akhir penyelesaian sengketa setelah sebelumnya diadakan argumentasi tertulis atau written pleadings. Sedangkan keputusan Mahkamah Internasional yang bersifat final dan mengikat tentang penyelesaian kasus tadi diperkirakan akan dilakukan sekitar November atau Desember 2002.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda membantah Delegasi Indonesia kurang serius menangani sengketa Sipadan-Ligitan. Menurut Hassan, tim dan pakar dari Departemen Luar Negeri serta para ahli internasional yang dibayar telah diterjunkan untuk mendapatkan kedua pulau tersebut. Mereka akan meyakinkan Mahkamah Internasional bahwa kedua pulau itu milik Indonesia. Klaim itu didasarkan pada perjanjian yang dibuat Pemerintahan Kolonial Belanda dan Inggris pada 1891. Mereka bersepakat menarik garis batas empat derajat 10 menit untuk menyelesaikan perbatasan dan distribusi wilayah tersebut.
Hassan menilai, penyelesaian sengketa ini melalui Mahkamah Internasional adalah langkah maju bagi Indonesia-Malaysia. Apalagi, kedua negara telah bersepakat menerima segala keputusan Mahkamah Internasional. Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Negeri Jiran dimulai ketika kedua negara untuk pertama kali membicarakan mengenai batas landas kontinen pada 1969. Pada tahun yang sama kedua negara menyetujui Note of Understanding yang menetapkan kedua pulau sebagai status quo.
Dalam perjalanannya, pembahasan bilateral tentang sengketa Sipadan dan Ligitan tak pernah mencapai kesepakatan. Sampai akhirnya, kedua negara membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional pada 1997. Kala itu, Filipina yang tak mempunyai kepentingan teritorial atas Pulau Sipadan dan Ligitan, sempat melakukan intervensi dengan mengajukan klaim atas Sabah. Namun, intervensi tersebut ditolak Mahkamah Internasional pada 23 Oktober 2001.(MTA/Fahmi Ihsan dan Budi Sukmadianto)