Sukses

Masuknya Pasal tentang Narkotika dalam Revisi KUHP Dinilai Tak Tepat

Pemerintah dan DPR akan segera merampungkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dan DPR akan segera merampungkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, sikap pemerintah dan DPR yang terkesan terburu-buru ini dipertanyakan oleh sejumlah pihak, di antaranya LBH Masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

Aktivis dari LBH Masyarakat, Arinta Dea Dini, meminta pemerintah dan DPR untuk tidak gegabah mengambil sikap dalam penyusunan revisi KUHP. Padahal, ucap dia, banyak penolak dari sejumlah lembaga pemerintah maupun nonpemerintah.

Misalnya, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

"Hal ini menunjukan bahwa ada persoalan internal di pemerintah dan DPR. Yang membuat kita bertanya-tanya kenapa pembahasan ini dikebut. Padahal, isinya sendiri belum rampung," kata Arinta di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (3/6/2018).

Arinta mengatakan penyebab munculnya penolakan oleh pihak-pihak tersebut adalah dimasukkannya tindak pidana khusus di dalam revisi KUHP. Contohnya, kata dia, adalah masalah penanganan kasus narkoba yang masuk dalam revisi KUHP. Padahal, katanya, penegakan hukum atas narkoba sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang secara khusus tentang Narkotika.

"Misalnya dalam tindak pidana narkotika, kita tahu bahwa ada isu perdagangan manusia di dalam kasus narkotika. Ketika dimasukkan dalam Revisi UU KUHP, itu akan sangat sulit melihat persoalan khusus perempuan," ungkap Arinta.

 

2 dari 2 halaman

Alasannya

Sementara aktivis Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Alfiana, menilai ada beberapa alasan permasalahan narkotika harus diatur dalam undang-undang khusus narkotika. Yang pertama, kata dia, narkotika tidak hanya berbicara mengenai pelaku dan siapa saja yang terlibat dalam kasus narkotika, melainkan juga mengatur aspek lain, misalnya rehabilitasi dan asesmen.

"Ketentuan pidana bagi orang yang terlibat kasus narkoba di RUU KUHP ini justru mengakibatkan penanganan masalah narkotika menjadi tidak utuh. Di dalam Undang-Undang Narkotika ini akarnya sama, yaitu masalah kesehatan. Bukan pendekatan hukuman. Sementara kita tahu bahwa pendekatan penghukuman terhadap terpidana kasus narkotika terbukti gagal," ucap Alfiana.

Menurut Alfiana, ada beberapa pasal "karet" di UU Nomor 35 tentang Narkotika turut dipindahkan ke dalam revisi KUHP. Ia khawatir pasal-pasal itu malah mengirim lebih banyak pengguna narkotika ke dalam penjara. Padahal, kata dia, kondisi penjara di Indonesia sudah dalam tahap mengkhawatirkan.

"Yang saya tahu bahwa pengiriman narkotika ke penjara merupakan permaslahan yang cukup krusial. Ternyata ini juga dikeluhkan oleh Menkumham mengenai over-crowded. Justru tidak membuat efek jera bagi pengguna napza narapidana dan bandar," kata dia.

Selain itu, Alfiana juga menyoroti tidak adanya pasal yang mengatur tentang asesmen bagi penyalahguna narkoba di dalam RUU KUHP. Sejatinya, kata dia, asesmen ini penting dilakukan guna membedakan apakah seseorang itu merupakan pengguna atau banda narkoba.

"Kemudian ada juga mengenai ketentuan rehabilitasi. Dalam UU narkotika yang skarang, rehabilitasi dipandang sebagai unsur kerelaan dalam rehabilitasi. Tapi dalam RUU KUHP, rehabilitasi ini merupaan sanksi pidana. Padahal Kemenkes, Kemensos, dan BNN selama ini berjuang bagaimana menciptakan kebijakan penanganan rehabilitasi," ucap Alfiana.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: