Sukses

Pernikahan Dini, Fenomena Gunung Es

Temuan Bappenas, bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak. Perempuan yang mengalaminya rawan kekerasan dalam rumah tangga.

Liputan6.com, Jakarta: Hidup Bunga--bukan nama sebenarnya, berubah 180 derajat. Dia sama sekali tak menyangka jika keputusannya menikah muda membawanya ke kegelapan. Dia terjerembab masuk ke dalam lubang penderitaan satu, ke penderitaan yang lain. Hidupnya tak lagi ceria, layaknya remaja putri yang baru lulus sekolah menengah atas.

Kisah Bunga berawal ketika dirinya bertemu Bintang--juga bukan nama sebenarnya. Mereka bertemu di sebuah perguruan tinggi swasta di Jawa Barat di awal-awal masa perkuliahaan. Saling pandang, berkenalan, dan akhirnya jatuh cinta.

Tak perlu waktu lama dan tanpa pikir panjang, mereka akhirnya memutuskan menikah, di usia yang masih sama-sama 18 tahun. Namun, menikah di usia muda, bukanlah perkara mudah. Terlebih mereka masih berkuliah. Tentu sulit untuk mendapat restu dari orangtua.

Jalan pintas akhirnya ditempuh. Pasangan kekasih yang tengah jatuh cinta ini diam-diam pergi menemui seseorang yang dianggap bisa menyatukan hati mereka. Pernikahan pun diselenggarakan. Tanpa orangtua, tanpa tercatat dalam dokumen resmi negara. Nikah siri, namanya.

Satu bulan, tiga bulan, dan lima bulan pertama, Bunga merasa bahagia. Dia merasa sebagai orang yang paling untung di dunia. Sebab mempunyai suami yang baik dan sangat pengertian.

Namun kebahagian itu pudar seketika di bulan keenam. Saat itu, dia mendapatkan Bintang berselingkuh dengan teman sekampus. Alih-alih mengaku, sikap Bintang terhadap Bunga malah berubah. Dia tak lagi sayang, malah cenderung kasar. Suami Bunga berubah menjadi orang yang tak lagi dikenal.

Menurut Bunga, Bintang kerap membentak jika dirinya melakukan kesalahan kecil. Bahkan, sang suami juga sering memukul jika keinginannya tak dipenuhi atau sedang emosi. Selama ini Bunga berusaha sabar.

Bukannya berubah, Bintang malah menjadi-jadi. Pernah dia menjabak rambut Bunga sampai rontok berserakan di lantai rumah kos mereka. Persoalannya sepele, Bunga hanya bertanya kenapa Bintang masih pergi dengan wanita selingkuhannya itu? Sebelumnya, Bunga membuntuti suaminya nonton, makan, dan berduaan di kamar kos wanita tersebut.

Tak hanya menjambak, Bintang juga menampar Bunga. Bajunya ditarik hingga sobek. Terakhir, kata Bunga, suaminya juga mendorong dan memukulnya berkali-kali, hingga dirinya terpojok di tepi tempat tidur.

Saat itu dia hanya menangis dan ketakutan. Bunga tak lagi menghiraukan darah segar yang mengucur perlahan dari sudut bibirnya. Perih. Hanya itu yang dia rasakan.

Sejak saat itu hubungan mereka berjarak. Tak lagi seperti suami istri.

Bunga tak sendiri. Boleh jadi, banyak Bunga-Bunga lain di negeri ini. Umumnya perempuan yang selalu menjadi korban. Anak perempuan paling rentan menjadi korban dalam kasus perkawinan di bawah umur. Sebanyak 44 persen anak perempuan yang menikah dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi. Sisanya, 56 persen anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah.

Demikian temuan penelitian yang dilakukan Plan Indonesia di delapan kabupaten di seluruh Indonesia selama Januari-April 2011. Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (Jawa Barat), Grobogan, Rembang (Jawa Tengah), Tabanan (Bali), Dompu (NTB), Timor Tengah Selatan, Sikka, dan Lembata (NTT).

Dari penelitian itu diketahui bahwa 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah. Rata-rata mereka menikah di usia 16-19 tahun.

"Walaupun tidak mewakili seluruh populasi di Indonesia, temuan ini bisa menjadi gambaran kasus pernikahan dini secara umum di Tanah Air. Apalagi data ini tak jauh berbeda dengan temuan Bappenas tahun 2008, bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak," ujar Bekti Andari, Gender Specialist Plan Indonesia, di Jakarta, Jumat (23/9).

Country Director Plan Indonesia, John McDonough menyatakan, sebagai organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak, Plan prihatin dengan tingginya angka pernikahan dini di Indonesia. Melalui sejumlah programnya, Plan mendorong pemberdayaan anak perempuan, di mana hal ini bisa mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Program tersebut antara lain pemberdayaan ekonomi keluarga, program advokasi, pendidikan dan penelitian tentang pernikahan dini, serta kampanye pemberdayaan dan partisipasi anak perempuan. Program-program ini tersebar di seluruh wilayah kerja Plan Indonesia.

"Tentu ayah, saudara laki-laki, juga suami memainkan peran penting dalam menciptakan kesetaraan gender. Karena itu, program-program pemberdayaan anak perempuan yang dimiliki Plan juga melibatkan laki-laki dewasa dan anak-anak," kata John McDonough.

Bekti menambahkan, sebagian besar perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena sering terjadi unsur pemaksaan bagi anak perempuan. Studi ini menunjukkan lima faktor yang memengaruhi perkawinan anak, yaitu perilaku seksual dan kehamilan tidak dikehendaki, tradisi/budaya, rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi dan tingkat pendidikan orang tua, faktor sosio-ekonomi dan geografis, serta lemahnya penegakan hukum.

Selain tingginya angka KDRT, perkawinan anak membawa dampak terhadap aspek pendidikan, psikososial, kesehatan reproduksi, dan ekonomi. Dalam hal kesehatan, anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar selama kehamilan atau melahirkan dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25. Sementara yang usia 15-19 kemungkinannya dua kali lebih besar.

Di bidang pendidikan, perkawinan dini mengakibatkan si anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Hanya 5,6 persen anak kawin dini yang masih melanjutkan sekolah setelah kawin.

Plan Indonesia mendorong negara dan semua kekuatan sosial yang ada mengupayakan keselarasan antara undang-undang dan peraturan pemerintah dengan sejumlah konvensi internasional yang sudah diratifikasi. Misalnya, melakukan amandemen terhadap Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, yang isinya bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (UN-CEDAW) serta Konvensi Internasional Hak Anak (UN-CRC).

"Batasan umur anak juga harus diselaraskan antara UU Perkawinan, UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan, UU Perlindungan Anak, dan UU lain yang relevan dengan isu anak dan perkawinan anak," kata Bekti.

Isu mendasar yang perlu mendapat perhatian adalah berlakunya hukum perkawinan yang masih mendiskriminasikan perempuan, dengan membedakan usia minimal kawin perempuan yang lebih rendah (16 tahun) dibandingkan dengan laki-laki (19 tahun).

"Hasil studi lapangan mengungkapkan, di tingkat lokal, sering terjadi penyelewengan dalam mengimplementasikan hukum perkawinan, sehingga anak menjadi korban dan semakin kehilangan hak-haknya. Di beberapa daerah orang tua masih bisa menyuap aparat terkait untuk memanipulasi umur anaknya yang akan dinikahkan," jelas Bekti.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar menyatakan, kekerasan di dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan, merupakan fenomena gunung es. Sebab, jumlah korban kekerasan yang melapor, belum tentu sama dengan yang di lapangan.

Kebanyakan wanita yang korban kekerasan hanya bercerita kepada orang-orang terdekatnya. Mereka enggan melapor ke pihak berwajib. Pihaknya juga mencatat, penyebab utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan antara lain karena masalah ekonomi, emosi yang tak stabil, perilaku buruk, dan cemburu. Sekitar 70 persen kasus kekerasan terjadi di rumah.

Linda mendorong agar perempuan tidak takut melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan pasangannya.(ULF)
    Produksi Liputan6.com