Sukses

Jejak Pramoedya Ananta Toer

Salah satu karya Pramodya Ananta Toer, yakni Bumi Manusia, akan diangkat ke layar lebar.

Liputan6.com, Jakarta - Pramoedya Ananta Toer atau Pram menjadi salah satu sastrawan paling terkemuka di Indonesia. Semasa hidupnya,1925-2006, dia telah menulis sekitar 50 karya yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Salah satu karya fenomenalnya adalah novel berjudul Bumi Manusia. Sebuah novel yang bercerita tentang seorang penulis pribumi bernama Minke. Minke digambarkan sebagai sosok yang cerdas dan punya kemampuan menulis yang baik.

Tahun ini, cerita tentang Minke dalam Bumi Manusia akan diangkat ke layar lebar. Namun, pro dan kontra bermunculan ketika karakter Minke itu akan diperankan oleh artis Iqbaal Ramadhan.

Terlepas dari kehebohan film tersebut, mungkin banyak yang belum tahu siapa Pramoedya Ananta Toer dan penghargaan apa saja yang pernah dia dapat. Selengkapnya dapat dilihat dalam Infografis di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Aktif di Lekra

Pram, dijuluki sebagai Bapak Realisme Sosialis, semasa hidupnya aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) telah menelurkan lebih dari 50 karya sastra, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, serta menjadi bahan ajar fakultas sastra di luar negeri.

Ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri, seorang guru yang tadinya bekerja untuk sekolah dasar pemerintah, HIS, di Rembang. Ayahnya lantas menjadi kepala sekolah milik pergerakan Boedi Oetomo di Blora. Sementara ibu Pram, Saidah, adalah anak seorang penghulu.

Gaji guru Boedi Oetomo sangat kecil, sehingga ibunya harus menambah penghasilan dengan bekerja di sawah atau pekarangan rumah. Pram anak sulung. Suasana di Blora tampaknya begitu menyedihkan, apalagi ayahnya begitu keras.

Sang ayah, seorang nasionalis yang keras hati, tampaknya begitu kecewa dengan keadaan pergerakan. Ia juga kesal karena Pram tak sepintar yang diharapkannya. Pram ternyata sempat tidak naik sekolah tiga kali. Keadaan bertambah buruk saat ibunya meninggal karena penyakit TBC pada usia 34 tahun. Pram lantas pergi ke Jakarta.

Segala kegelisahan, kekagumannya pada sang ibu, dan kemarahannya pada sang ayah kemudian banyak diwujudkan dalam karya-karyanya. Ia tampak tak puas dan marah kepada hidup yang barangkali hanya memberinya kebahagiaan sejenak.

3 dari 3 halaman

Nasib Rakyat

Beberapa karya awalnya, Kranji-Kranji Jatuh, Perburuan, dan Keluarga Gerilya dengan segera menunjukkan kegeramannya pada penguasa. Pram sepertinya mengenang kala tentara Belanda dengan sewenang-wenang pernah membakar buku koleksi ayahnya.

August Hans den Boef dan Kees Snoek dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (2008) mengatakan, karya-karya Pramoedya telah menciptakan gambaran tidak terhapuskan tentang Tanah Air dan sejarahnya.

Inti dalam karya Pram adalah nasib rakyat. Rakyat dalam kehidupan sehari-hari, rakyat yang bertahan untuk mencari nafkah, serta rakyat yang dilukiskan dalam ambisi-ambisinya yang sering dikekang.

Dalam Perburuan, Pram jelas menyuarakan kebencian pada orang-orang Indonesia yang jadi kolaborator Jepang, sementara tokoh Amilah dalam Keluarga Gerilya tampaknya diambil Pram dari sang ibu.

Adapun tokoh Wahab didasarkan Pram pada Komandan Wahab, seorang pejuang kemerdekaan yang dijatuhi hukuman mati oleh Belanda.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: