Sukses

Mengulik Kasus Heli AW 101 dari Pemeriksaan Eks KSAU

Agus yang memenuhi panggilan penyidik KPK pada Rabu 6 Juni mengaku menjelaskan proses pengadaan Heli AW 101 di TNI.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah intens mengusut kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Helikopter Agusta Westland (Heli AW 101). Dalam penyidikan kasus ini KPK bekerjasama dengan POM TNI.

Pada Rabu 6 Juni 2018, penyidik KPK memeriksa mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna. Agus yang memenuhi panggilan penyidik KPK mengaku menjelaskan proses pengadaan Heli AW 101 di TNI.

Usai diperiksa, Agus mengaku tak ingin membuat gaduh kasus ini. Namun lantaran seolah disudutkan dengan pemberitaan, dia lalu membeberkan adanya kesalahan dari pihak lain.

"AW 101 ini harusnya teman-teman juga tahu, coba tanya kepada yang membuat masalah ini, tahu enggak UU APBN. Tahu enggak mekanisme anggaran APBN itu seperti apa. Kalau tahu tidak mungkin melakukan hal ini," kata Agus di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 6 Juni 2018.

"Yang kedua, tahu enggak peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 tahun 2011. Kalau tahu tidak mungkin juga melakukan ini. Dan ada juga Peraturan Panglima Nomor 23, itu peraturan Panglima loh, Nomor 23 tahun 2012. Kalau memang betul tahu, tidak mungkin juga melakukan hal ini," Agus menambahkan.

Agus tak menjelaskan siapa pihak yang dia sebut sebagai yang bermasalah. Namun kuasa hukum Agus, Teguh Samudra mengisyaratkan pihak bermasalah itu adalah mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

"Musti sudah tahu kan, pertama kali yang beritakan ini, dan umumkan di KPK ada tindak pidana korupsi siapa? Kan mantan panglima. Padahal ada aturan panglima sendiri," kata Teguh.

Sementara itu, mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo belum bisa dihubungi ketika Liputan6.com mengonfirmasi keterangan pengacara mantan KSAU tentang korupsi heli AW-101 ini.

2 dari 3 halaman

Gatot Sambangi KPK

Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo sempat mendatangi Gedung KPK pada Jumat 26 Mei 2017. Saat itu Gatot menjelaskan rinci awal pengadaan Helikopter AW 101 melalui konferensi pers.

Gatot menjelaskan, pada 3 Desember 2015 Presiden Joko Widodo meminta agar pembelian Heli AW 101 ditunda lantaran kondisi ekonomi Indonesia sedang menurun.

Namun pada 29 Juli 2016, TNI Mabes Angkatan Udara (AU) menekan kontrak kerja sama dengan PT Diratama Jaya Mandiri. Dalam kasus ini, pemilik PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh ditetapkan KPK sebagai tersangka.

Gatot mengatakan, pada 14 September 2016, dia menyurati KSAU Hadi Tjahjanto untuk membatalkan pembelian Heli AW 101. Namun lantaran kontrak sudah ditekan, pembelian tetap dilakukan.

Pada 29 Desember 2016 Gatot membuat surat perintah tentang tim investigasi pengadaan pembelian Heli AW 101. Proses investigasi awal diserahkan ke KSAU pada Januari 2017.

KSAU Hadi Tjahjanto yang kini menjadi Panglima TNI menyerahkan hasil investigasi kepada Gatot pada Februari 2017. Gatot memutuskan bekerja sama dengan Polri, BPK, PPATK dan KPK untuk investigasi.

Gatot mengaku, tim investigasi tersebut dia bentuk berdasarkan arahan Presiden Jokowi. Sejak saat itu, Pom TNI dan KPK memeriksa sejumlah saksi, yakni 6 orang dari pihak militer dan 7 orang sipil nonmiliter. Selain itu disita juga uang dari rekening BRI penyedia barang.

Kemudian ditetapkan tiga orang tersangka yakni Marsma TNI FA yang bertugas pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa: kedua Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas dan tersangka ketiga adalah Pelda SS yang diduga menyalurkan dana-dana terkait pengadaan ke pihak-pihak tertentu.

Sedangkan dari penghitungan sementara, ditemukan potensi kerugian negara sekitar Rp 220 miliar.

"Dari hasil penyelidikan POM TNI bersama-sama KPK dan PPATK terhadap dugaan penyimpangan pengadaan helikopter AW 101 TNI AU," sebut Gatot.

Dalam perjalanannya, POM TNI kembali menetapkan dua orang tersangka, yakni Kolonel FTS, dan Marsda SB.

KPK sendiri menetapkan satu orang, yakni pemilik PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. Dalam proses lelang proyek tersebut, Irfan diduga mengikutsertakan dua perusahaan miliknya, PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang.

Sebelum proses lelang, Irfan diduga sudah menandatangani kontrak dengan AW sebagai produsen helikopter dengan nilai kontrak USD 39,3 juta atau sekitar Rp 514 miliar. Saat PT Diratama Jaya Mandiri memenangkan proses lelang pada Juli 2016, Irfan menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp 738 miliar.

3 dari 3 halaman

KPK Kejar Pihak Lain

KPK masih terus mengejar pihak yang diduga sebagai aktor utama dalam kasus ini. Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, pemeriksaan terhadap mantan KSAU Agus untuk mengklarifikasi mekanisme pengajuan pembelian Heli AW 101.

"Jadi kita klarifikasi sebenarnya saat itu mekanismenya seperti apa, sampai kemudian terjadi katakanlah perubahan atau penunjukan atau yang lain-lainnya. Apa yang diketahui oleh saksi," kata Febri.

Tadi saya dapatkan info juga dari penyidik bahwa saksi sudah memberikan keterangan terkait dengan apa yang dia ketahui itu yang bisa disampaikan

Febri mengatakan, mantan KSAU Agus telah menjelaskan semuanya kepada penyidik KPK. Diduga termasuk menjelaskan dugaan keterlibatan Gatot dalam proses pengadaan Heli AW 101.

Namun Febri belum memastikan apakah penyidik KPK akan memanggil dan memeriksa Gatot.

"Sampai saat ini saya belum mendapatkan informasi tentang siapa saja yang akan diperiksa sebagai saksi, nanti tentu kalau sudah ada informasi dari penyidik akan disampaikan," kata dia.