Sukses

Fredrich Yunadi: Saya Tak Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain

Fredrich mengatakan perkaranya lebih tepat ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Umum pada kepolisian ataupun Jampidum pada Kejaksaan.

Liputan6.com, Jakarta - Fredrich Yunadi bersikukuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang menyeretnya sebagai terdakwa perintangan penyidikan korupsi proyek e-KTP. Mantan kuasa hukum Setya Novanto itu berdalih, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan jaksa penuntut umum pada KPK merupakan ranah pidana umum.

Mengingat KPK dibentuk sebagai komisi dengan undang-undang khusus, Fredrich mengatakan perkaranya tersebut lebih tepat ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Umum pada kepolisian ataupun Jampidum pada Kejaksaan.

"Pasal 21 adalah delik umum yang ditarik dari Pasal 221 KUHP. Menyembunyikan tersangka tidak diadopsi sehingga normanya tetap delik umum," ujar Fredrich di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (22/6/2018).

"Tidak ada (norma) perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, korporasi, yang merupakan unsur pokok tindak pidana korupsi, sehingga orang yang diperiksa atas Pasal 21 hanya dilakukan polisi Dirpidum atau Kejaksaan," imbuh dia.

Fredrich Yunadi juga menuding, selama proses persidangan JPU pada KPK mencoba mengintervensi majelis hakim dengan membeberkan sejumlah argumentasi putusan hakim atas perkara lain yang dinilai jaksa serupa dengan perkaranya.

Karena itu, Fredrich mengingatkan tim jaksa penuntut umum atas masa tugasnya di KPK. Sebab, lembaga asal tim jaksa penuntut umum adalah Kejaksaan dan para JPU hanya diperbantukan ke KPK.

"Perlu diingatkan terdakwa, penuntut umum masih kesatuan dengan Kejaksaan. Penuntut umum hanya sementara waktu diperbantukan ke KPK, maksimal tugas 10 tahun," ujar Fredrich Yunadi.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Bersikap Tak Kooperatif

Diketahui, Fredrich Yunadi didakwa melakukan upaya perintangan penyidikan Setya Novanto dengan status tersangka korupsi proyek e-KTP saat itu. Pengacara yang viral atas pernyataan bakpao itu disebut melakukan pemesanan kamar sesaat sebelum kecelakaan Setya Novanto terjadi.

Ia didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selama persidangan, Fredrich menunjukkan sikap tak kooperatif. Saling lempar argumen antara jaksa, hakim, dan Fredrich kerap mewarnai jalannya sidang. Beberapa kali palu majelis hakim diketok melerai perdebatan antara jaksa dan Fredrich.

Jaksa penuntut umum pada KPK kerap merasa keberatan atas ulah mantan kuasa hukum Setya Novanto itu, semisal penggunaan kata ‘situ’ dan ‘you’ kepada saksi ataupun jaksa.

Puncaknya, jaksa menuntut Fredrich pidana penjara 12 tahun denda Rp 600 juta atau subsider 6 bulan kurungan. Tidak ada keadaan yang meringankan dalam tuntutan yang dibacakan pada Kamis 31 Mei lalu itu.

 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com