Liputan6.com, Jakarta: Anggota TNI/Polri kemungkinan mempunyai hak memilih dan dipilih pada Pemilihan Umum 2004. Sebab, Rancangan Undang-undang Pemilu yang diajukan pemerintah kepada DPR memberikan peluang untuk itu. Bahkan, anggota TNI/Polri juga berpeluang menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah--sebuah lembaga baru yang dibentuk berdasarkan Perubahan Ketiga Amendemen Undang-Undang Dasar 1945, sebagai bagian dari komposisi MPR [baca: Tiga RUU Politik Masih Dikaji].
Di mata pakar ilmu hukum tata negara Harun Al Rasyid, peran aktif TNI/Polri dalam Pemilu mendatang adalah sesuatu yang wajar. "Soalnya, pada Pemilu 2004, semua anggota Dewan sudah tak ada lagi yang diangkat," kata Harun Al Rasyid di Jakarta, baru-baru ini. Terlebih lagi, hak buat memilih dan dipilih mutlak dimiliki oleh setiap warga negara.
Dalam RUU Pemilu 2004, netralitas anggota TNI/Polri dihapuskan. Ini disebutkan dalam ayat 2 pasal 93 yang berbunyi, "Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia mempunyai hak memilih". Sementara dalam Pasal 30 dan 42 UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI/Polri) tak berhak memilih dan dipilih.
Mengenai kemungkinan anggota TNI/Polri menjadi anggota DPD diatur dalam ayat 1 pasal 24. Bunyinya, "Calon anggota DPD dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, dan anggota Polri... harus mendapat izin dari Pejabat yang berwenang". Namun, dalam ayat 2-nya, dijabarkan bahwa setiap calon anggota DPD dari PNS dan TNI/Polri harus diberhentikan sementara selama yang bersangkutan dalam jangka waktu pencalonan.
Menurut Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, pemberian hak pilih aktif ini disebabkan anggota TNI/Polri adalah juga warga negara. Berdasarkan pemahaman ini, pemerintah tak berkeinginan mengebiri hak mereka buat memilih dalam Pemilu. Lagipula, Mendagri juga meyakini anggota TNI/Polri bisa bersikap dewasa untuk memilah antara pribadi dan institusi.
Hal serupa juga diungkapkan penasihat Fraksi TNI/Polri di DPR/MPR Letnan Jenderal TNI Agus Widjojo. Menurut Agus, hak memilih dan dipilih ada pada setiap warga negara, termasuk anggota TNI/Polri. Di Amerika Serikat, Malaysia, dan Singapura, setiap tentaranya ikut Pemilu. "Cuma tentara kita saja yang tak ikut Pemilu," ujar Agus. Untuk itu, Agus menyarankan agar setiap anggota TNI/Polri dididik dan diajarkan bahwa penggunaan hak pilih aktif ini tak berkaitan dengan kedudukan yang bersangkutan sebagai prajurit TNI/Polri. Tapi lebih kepada hak yang dimiliki setiap warga negara. Itulah sebabnya, menurut Agus, setiap aspirasi politik yang disalurkan dalam Pemilu tak boleh mempengaruhi pelaksanaan tugas para prajurit TNI/Polri.
Sekadar diketahui, pada Pemilu 1955, anggota TNI/Polri sempat mempunyai hak pilih. Bahkan, Polri sempat mendirikan Partai Persatuan Polisi Republik Indonesia. Buntutnya, hingga era 60-an, sejumlah anggota TNI/Polri justru memihak ke parpol tertentu. Hal itu diduga lantaran sebagian dari mereka tak dapat memisahkan antara hak politik dan kedudukan sebagai alat pertahanan negara. Itulah sebabnya, pada Pemilu 1971, para anggota TNI/Polri tak lagi mengikuti proses demokrasi tersebut karena dianggap suara mereka sudah terwakili dalam Fraksi TNI/Polri.(SID/Aldi Yarman dan Eko Purwanto)
Di mata pakar ilmu hukum tata negara Harun Al Rasyid, peran aktif TNI/Polri dalam Pemilu mendatang adalah sesuatu yang wajar. "Soalnya, pada Pemilu 2004, semua anggota Dewan sudah tak ada lagi yang diangkat," kata Harun Al Rasyid di Jakarta, baru-baru ini. Terlebih lagi, hak buat memilih dan dipilih mutlak dimiliki oleh setiap warga negara.
Dalam RUU Pemilu 2004, netralitas anggota TNI/Polri dihapuskan. Ini disebutkan dalam ayat 2 pasal 93 yang berbunyi, "Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia mempunyai hak memilih". Sementara dalam Pasal 30 dan 42 UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI/Polri) tak berhak memilih dan dipilih.
Mengenai kemungkinan anggota TNI/Polri menjadi anggota DPD diatur dalam ayat 1 pasal 24. Bunyinya, "Calon anggota DPD dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, dan anggota Polri... harus mendapat izin dari Pejabat yang berwenang". Namun, dalam ayat 2-nya, dijabarkan bahwa setiap calon anggota DPD dari PNS dan TNI/Polri harus diberhentikan sementara selama yang bersangkutan dalam jangka waktu pencalonan.
Menurut Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, pemberian hak pilih aktif ini disebabkan anggota TNI/Polri adalah juga warga negara. Berdasarkan pemahaman ini, pemerintah tak berkeinginan mengebiri hak mereka buat memilih dalam Pemilu. Lagipula, Mendagri juga meyakini anggota TNI/Polri bisa bersikap dewasa untuk memilah antara pribadi dan institusi.
Hal serupa juga diungkapkan penasihat Fraksi TNI/Polri di DPR/MPR Letnan Jenderal TNI Agus Widjojo. Menurut Agus, hak memilih dan dipilih ada pada setiap warga negara, termasuk anggota TNI/Polri. Di Amerika Serikat, Malaysia, dan Singapura, setiap tentaranya ikut Pemilu. "Cuma tentara kita saja yang tak ikut Pemilu," ujar Agus. Untuk itu, Agus menyarankan agar setiap anggota TNI/Polri dididik dan diajarkan bahwa penggunaan hak pilih aktif ini tak berkaitan dengan kedudukan yang bersangkutan sebagai prajurit TNI/Polri. Tapi lebih kepada hak yang dimiliki setiap warga negara. Itulah sebabnya, menurut Agus, setiap aspirasi politik yang disalurkan dalam Pemilu tak boleh mempengaruhi pelaksanaan tugas para prajurit TNI/Polri.
Sekadar diketahui, pada Pemilu 1955, anggota TNI/Polri sempat mempunyai hak pilih. Bahkan, Polri sempat mendirikan Partai Persatuan Polisi Republik Indonesia. Buntutnya, hingga era 60-an, sejumlah anggota TNI/Polri justru memihak ke parpol tertentu. Hal itu diduga lantaran sebagian dari mereka tak dapat memisahkan antara hak politik dan kedudukan sebagai alat pertahanan negara. Itulah sebabnya, pada Pemilu 1971, para anggota TNI/Polri tak lagi mengikuti proses demokrasi tersebut karena dianggap suara mereka sudah terwakili dalam Fraksi TNI/Polri.(SID/Aldi Yarman dan Eko Purwanto)