Liputan6.com, Jakarta -
Sarono kini sudah tidak dapat melihat lagi. Penglihatannya hilang sejak 1995 lalu. Meski begitu, Rono, sapaan akrabnya, tidak patah arang. Mengaku sempat menjual telur asin dan pisang dengan berkeliling kampung, kini Rono menjadi pemecah batu di samping toko material yang tidak begitu jauh dari rumahnya.
Meski memiliki keterbatasan fisik dan biaya, tak tanggung-tanggung, Sarono memiliki anak asuh yatim piatu hingga ratusan. Ia juga merawat kaum duafa.
Kisah ini bermula pada 1994 lalu, ketika sang istri mengalami sakit dan harus dioperasi pada 1995 hingga tidak bisa memiliki anak. Rono yang saat itu sudah mulai tidak bisa melihat mengaku sempat bersedih. Tetapi, ia dan istri harus terus menjalani hidup.
Dimulai dari menjual telur asin yang penjualannya di awal sempat ramai sampai sepi, ia kemudian berjualan pisang, tapi juga tidak laris.
Sampai akhirnya suatu waktu, di perjalanan pulang dengan membawa utuh pisang dagangannya, Rono tersandung batu. Dia pun membungkuk dan mengambil batu tersebut yang ternyata sudah melukai dirinya. Rono lalu berdoa.
"Ya Allah, terima kasih ya Allah, semoga Engkau memberikan rezeki dari sini (batu-batu). Mudah-mudahan dari darah kotor ini keluar mengurangi dosa saya," cerita Rono kepada Liputan6.com di rumahnya Jalan Cipinang Jaya IIB, Jakarta Timur, Rabu, 4 Juli 2018.
Berangkat dari kejadian tersebut, Rono menekuni pekerjaannya sebagai pemecah batu. Batu merah, batako, dan batu-batu lain itu dipungutnya dari toko material.
Lalu, batu-batu tersebut dipecahkannya hingga menjadi butiran-butiran, kemudian disaring, hingga menjadi pasir halus.
Pasir tersebut dijual oleh Sarono kepada siapa pun yang mau membelinya. Diakuinya, belum lama ini pasir buatannya dibeli oleh penjual martabak.
2 dari 3 halaman
Bertemu Anak Yatim
Rono tidak mematok harga untuk pasir tersebut. Menurut dia, asal sama-sama ikhlas dan senang, maka sudah cukup bagi dirinya berapa pun yang diberikan oleh sang pembeli.
Pria berusia 60 tahun ini bekerja dua kali dalam sehari. Pertama pagi hari mulai pukul 07.00-11.00 WIB dan sore hari pada pukul 16.00-17.30 WIB. Hal ini lantaran Rono ingin salat dan makan siang di rumah.
Untuk pulang dan pergi ke tempatnya memukul batu, Rono selalu diantar kemudian dijemput oleh anak asuhnya. Peralatan yang digunakannya juga sederhana, hanya menggunakan martil dan sebuah batu bata untuk tempatnya duduk memecahkan batu.
Rono membawa 1 dirijen air yang digunakan untuk membasahi pinggir jalan tempatnya duduk, agar tidak berdebu karena bisa mengenai matanya. Tak lupa, sebuah tongkat dibawa Rono untuk membantunya berjalan.
Tempat Rono memecahkan batu benar-benar berada di pinggir jalan yang banyak dilalui oleh kendaraan motor dan mobil. Di sampingnya ada got besar yang bisa membuatnya jatuh terperosok.
Namun, Rono tak khawatir. Ia mengaku benar-benar ikhlas bekerja karena Allah SWT. Ia tak takut jatuh apalagi tertabrak kendaraan. Ia hanya ingin bisa mendapatkan rezeki bagi anak-anak asuhnya.
Rono bersyukur, pemilik toko material baik kepadanya. Ia diizinkan untuk mengambil pecahan-pecahan batu yang tak terpakai. Rono membalasnya dengan membantu membersihkan got.
Terus giat bekerja, hingga pada 2003, Rono berkenalan dengan dua orang anak yatim yang kemudian diasuhnya.
Jumlah anak asuhnya terus bertambah setiap tahun, hingga mencapai ratusan orang sekarang. Rono mengatakan, tidak pernah kesulitan untuk membiayai anak asuh dan dhuafa. Donatur-donatur justru berdatangan kepadanya memberikan bantuan.
Menurut Rono, dititipkan anak yatim dan piatu merupakan sebuah amanah yang harus dijalankan. Ia selalu mengucap syukur atas apa yang didapatkan.
Karena menurutnya, ketika masih muda dulu, dia sangat jauh dari Allah, lupa untuk beramal, infak, dan sedekah. Sehingga ia dan istrinya sepakat untuk merawat anak yatim piatu.
Advertisement
3 dari 3 halaman
Tak Pernah Minta Bantuan Donatur
Tinggal di rumah seluas 10 x 3 meter membuat Rono tak bisa tinggal dengan anak-anak yatim asuhannya. Mereka yang masih punya orangtua, tetap tinggal bersama orangtuanya.
Tetapi, anak-anak tersebut sering main dan makan di rumah Rono. Tak hanya anak yatim, Rono dan istri juga merawat kaum duafa.
"Termasuk juga duafa. Duafa ini kan orangnya susah, ada bapaknya, tapi enggak diurusin," kata dia.
Untuk merawat anak asuhnya, Rono mengaku tidak pernah sama sekali meminta bantuan donatur. Melainkan, para donatur tersebut yang mencarinya. Donatur Rono tak hanya dari Ibu Kota, tapi juga dari luar kota.
Bahkan untuk memudahkan, kini Rono sudah memiliki rekening bagi para donatur jika ingin membantunya merawat anak yatim dan duafa.
Pada Hari Raya Idul Fitri lalu, Rono bersyukur ada saja rezeki yang didapat untuk kembali dibagikan kepada anak asuhnya. Sehingga, mereka semua dapat merasakan Lebaran.
Sampai sekarang, jumlah anak asuh yang dibiayai Rono, yatim dan duafa, mencapai 184 orang.
"Di Muara deket Pasar Deprok ada 35 orang, deket Pasar Elok ada 30 orang, Prumpung 15 orang, Cipinang Pulo Maja 14 orang, terus di sini di RT 09 ada 75 orang," ucapnya.
Menurut Rono, kini ada anak asuhnya yang sudah kuliah. Tak sedikit pula yang sudah bekerja karena telah berhasil disekolahkan oleh Rono hingga lulus.
"(Anak asuh) ada yang udah kuliah sana di Pasar Rebo, ada juga yang udah kerja di Tip Top (supermarket), gajinya dia Rp 1,7 (juta) alhamdulillah, karena dia udah punya duit sendiri," jelas Rono.
Meski tak bisa melihat, Rono bangga bisa menjaga, merawat, dan membiayai anak asuhnya agar tidak putus sekolah. Tak banyak yang diharapkan Rono. Ia hanya berharap, kelak anak asuhnya dapat menjadi anak saleh atau salehah serta berhasil.
Rono juga berharap agar selalu sehat dan diberikan rezeki untuk bisa diberikan kepada anak asuh yatim piatu juga duafa yang dirawatnya.
Rono bersyukur, dengan kebutaannya, ia justru menjadi semakin dekat kepada Allah dan tidak hanya hidup untuk kesenangan atau mengejar dunia semata. Ia bahagia karena meski tidak memiliki anak kandung, tetapi anak asuhnya sudah hampir 200 orang dan tetap bisa menyenangkan dirinya bersama sang istri tercinta.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: