Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum pada KPK menghadirkan mantan Deputi Asset Management Credit (AMC) pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Muhammad Syahrial pada sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.
Dalam sidang tersebut, jaksa membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Syahrial tentang perintah Syafruddin kepada AMC atas hutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dengan Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham kendali.
Menurut Syahrial, merujuk pada BAP yang dibacakan jaksa Wayan Riana, BPPN mengadakan rapat pada 21 Oktober 2003 dan dipimpin langsung oleh Syafruddin. Dalam rapat tersebut, Syafruddin memerintahkan empat poin.
Advertisement
Namun yang menjadi sorotan jaksa penuntut umum adalah pembebasan tanggung jawab utang BDNI selaku obligor. Alasannya, utang telah dibebankan kepada petani tambak PT Citra Dipasena.
"Intinya Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung menegaskan ke Asset Management Investement (AMI) aset kredit Inti Plasma tidak dibebankan kepada Sjamsul. Maksud dari poin pertama bahwa Sjamsul Nursalim tidak dibebankan aset kredit PT Citra Dipasena apa?" tanya jaksa Wayan kepada Syahrial saat hadir sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (12/7/2018).
Namun, Syahrial mengklaim tak tahu menahu latar belakang perintah Syafruddin kepada AMI. Dalam hal ini AMI sebagai divisi yang mendapat tugas penagihan utang para obligor, termasuk BDNI. "Secara dokumen mengatakan demikian saya tidak tahu latar belakang itu apa," ujar Syahrial.
Jaksa juga mengkritisi penggabungan jumlah utang sustainable (layak ditagih) dan unsustainable (tidak layak ditagih) yang dilakukan oleh BPPN pada divisi AMK. Berdasarkan perhitungan, piutang BDNI ke PT Dipasena sebesar Rp 4,8 triliun namun karena adanya perubahan kurs menjadi Rp 3,7 triliun.
Dari utang tersebut muncul klasifikasi utang layak tagih petambak PT Citra Dipasena sebesar Rp 1,1 triliun sementara utang tidak layak tagih sebesar Rp 1,9 triliun.
Syahrial berdalih, digabungkannya klasifikasi utang layak tagih ataupun sebaliknya lantaran belum mendapat arahan atau perintah tindak lanjut dari kepala BPPN yang saat itu dijawab oleh Syafruddin.
"Saat itu kita belum mendapat arahan terhadap unsustainable portion sehingga dalam mempresentasikan kita harus tetap memasukan angka unsustainable," ujarnya.
Â
Saat Krisis Melanda
Saat krisis melanda Indonesia, sejumlah bank mengalami gonjang-ganjing akibat penarikan uang oleh nasabah secara serentak. Agar tidak menimbulkan kerugian berkelanjutan, negara menggelontorkan BLBI kepada sejumlah obligor dengan total keseluruhan Rp 144 triliun, BDNI termasuk didalamnya.
Seiring berjalannya waktu BDNI dengan kepemilikan saham terbesar adalah Sjamsul Nursalim dianggap misrepresentatif karena membebankan piutang ke petani tambak PT Dipasena, Darmaja dan PT Wachyuni Mandira yang tidak mampu menyelesaikan kewajiban utang.
Sjamsul pun diwajibkan bertanggung jawab membayar Rp 4,58 sebagaimana aset yang dilimpahkan BDNI ke perusahaan tambak tersebut. Namun, belum selesai Sjamsul menyelesaikan kewajibannya, Syafruddin menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap BDNI.
Ia pun didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Â
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka.com
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement