Sukses

Zohri dan Janji Keluar dari 'Takdir' Atlet Indonesia

Zohri memilih bermain sepak bola ketimbang ikut pelajaran di dalam kelas. Bahkan, untuk menjadi seorang atlet lari seperti sekarang ini tidak pernah terlintas di benaknya.

Liputan6.com, Jakarta - Lalu Muhammad Zohri hampir terjatuh saat sesi wawancara khusus dengan media. Jadwalnya cukup padat hari ini, Kamis (19/7/2018), sejak pukul 07.30 WIB, Zohri harus bertemu menteri, latihan rutin, hingga konferensi pers, dan kembali latihan.

"Nak minum air, Nak," teriak pelatihnya dari luar area wawancara khusus di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta Pusat, saat melihat anak didiknya itu gontai hampir jatuh.

Saat ini Zohri menjadi buah bibir seantero Nusantara. Si bungsu empat bersaudara pasangan Lalu Ahmad Yani (alm) dan Saeriah (almh) ini berhasil mengharumkan nama Indonesia usai merebut medali emas di nomor bergengsi lari 100 meter, Kejuaraan Dunia Atletik IAAF U-20, Finlandia, pekan lalu, Rabu, 11 Juli 2018.

Namun siapa sangka, bujang kelahiran 1 Juli 2000 yang sangat disiplin ini dulunya merupakan anak badung. Saat mengenyam pendidikan di SMP Negeri 1 Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Zohri sering membolos.

"Iya, dulu saya memang sering membolos, tapi itu dulu waktu masih SMP," kata Zohri di Hotel Atlet Century Park, Jakarta Selatan, Kamis (19/7/2018).

Zohri memilih bermain sepak bola ketimbang ikut pelajaran di dalam kelas. Bahkan, untuk menjadi seorang atlet lari seperti sekarang ini tidak pernah terlintas di benaknya.

"Saya dulu lebih mentingin sepak bola daripada lari," ujar dia.

Namun, mimpinya untuk menjadi pemain sepak bola belakangan dia urungkan. Ada beberapa alasan yang membuatnya mengurungkan niatnya tersebut.

"Soalnya di kampung saya atau kabupaten saya, sepak bola memang tak pernah berkembang sama sekali. Mungkin pengurusnya enggak ada, ya pelatihnya juga enggak ada sih," katanya.

Selain karena merasa menjadi pesepak bola tidak menjamin hidupnya kelak, guru olahraganya di SMP Negeri 1 Pemenang, Rosida, juga berhasil membujuk Zohri untuk mulai berlatih ketika Zohri naik ke kelas IX.

"Selain itu, yang menjadi motivasi saya adalah kakak senior saya, Sudirman Hadi," Zohri menambahkan. Sudirman Hadi adalah sprinter yang mewakili Indonesia di Olimpiade 2016 di Brasil.

 

2 dari 2 halaman

Janji Zohri

Menjadi seorang atlet sekaligus siswa tentu menjadi pilihan bagi Zohri: fokus menjalani latihan atau pendidikan formal. Salah satu dikorbankan. Bila fokus menjalani pendidikan formal tentunya akan mengorbankan fokus latihan.

Meski begitu, Zohri tak ingin memilih satu di antaranya. Dia berjanji tidak akan mengesampingkan pendidikan formalnya. Pemuda yang saat ini duduk di bangku kelas XII SMA itu berjanji akan menyelesaikan pendidikannya hingga ke perguruan tinggi.

"Ya mau lanjutin sekolah, mau kuliah juga, itu pasti," Zohri berjanji.

Sekertaris Umum PB Pasi, Tigor Tanjung, mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya akan fokus terhadap perkembangan Zohri sebagai sprinter, sambil melihat minat Zohri ada di bidang apa untuk kemudian mengarahkan Zohri nanti lanjut di perguruan tinggi mana.

"Ya, untuk saat ini kita lihat dulu minatnya di mana ya, apalagi dia masih kelas tiga SMA. Tapi pasti kita arahkan dia ke sekolah yang baik seperti atlet-atlet yang ada sekarang," kata Tigor kepada Liputan6.com.

Yang jelas, katanya, PB Pasi tidak akan mengesampingkan pendidikan formal atlet-atletnya. "Tapi bagaimana pun kan Tuhan yang menentukan," ujarnya sambil tertawa.

Liputan6.com mencatat, ada sejumlah atlet yang memilih fokus berkarier di dunia olahraga tanpa dibarengi dengan pendidikan.

Sebut saja Leni Haeni, mantan atlet dayung yang pernah menyumbangkan tiga medali emas dalam SEA Games 1997 itu, kini dikabarkan menjadi buruh cuci karena tak memiliki ijazah, lantaran saat menjadi atlet ia mengorbankan pendidikan formalnya.

Atlet lainnya adalah Ellyas Pical, petinju Indonesia pertama yang menjuarai IBF Kelas Bantam Junior pada 3 Mei 1985. Petinju kelahiran Saparua, Maluku Tengah, itu dikabarkan sempat menjadi Office Boy di Kementerian Pendidikan dan Olahraga.

Masih ada lagi atlet yang bernasib kurang beruntung di usia senja. Tati Sumirah, atlet bulu tangkis yang ikut menyumbang di Piala Uber 1975 itu, sempat menjadi karyawan apotek karena tak memiliki ijazah SMP.

Tati memang sempat menjadi pelatih bulu tangkis. Namun, lokasi pelatihan yang jauh membuat Tati terpaksa harus mengendarai motor dari kediamannya ke lokasi pelatihan tersebut, hingga suatu waktu Tati mengalami kecelakaan hingga kakinya patah.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: