Liputan6.com, Jakarta - Misteri lima calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi Joko Widodo atau Jokowi pada Pilpres 2019, belum semua terpecahkan. Empat nama sudah terungkap. Hanya satu yang belum diumumkan.
Sementara itu, sejak beberapa bulan lalu, sejumlah pihak menginginkan Jusuf Kalla maju lagi bersama Jokowi. UU Pemilu pun digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar tidak ada ganjalan di jalan JK maju untuk ketiga kalinya menjadi cawapres.
Terlebih, PDIP menyebut, Jokowi dan partai banteng masih menunggu putusan MK tentang JK sebelum menetapkan cawapres.
Advertisement
Lalu, apakah JK adalah nama kelima bakal calon yang ada di kantong Jokowi?
Ahli hukum tata negara Refli Harun mengatakan, jika bercermin pada Pasal 7 UUD 1945, jelas JK tidak bisa maju jadi pendamping Jokowi.
Pasal tersebut menyatakan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
"Jadi tidak bisa maju lagi," ujar Refli kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (20/7/2018).
Namun, keadaan ini bisa berubah jika MK mengabulkan gugatan Partai Perindo terkait Pasal 169 huruf n UU Pemilu soal ketentuan calon presiden dan cawapres.
"Sangat tergantung pada MK akan mengabulkan gugatan itu atau tidak," kata Direktur Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), Sirojudin Abbas.
Secara terpisah, mantan Ketua MK, Mahfud MD menuturkan, gugatan pertama terkait aturan ini tidak dapat diterima karena persoalan legal standing.
"Menurut keputusan kemarin itu, yang tidak dapat diterima, karena dia bukan calon. Tidak punya legal standing. Mereka tidak dirugikan dengan adanya aturan tersebut," ujar Mahfud ketika dihubungi Liputan6.com.
Saat ini, lanjut dia, yang bisa mengklaim punya kerugian konstitusional hanya ada dua orang. Kedua orang itu yakni Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Yang dirugikan itu Pak JK dan Pak SBY, karena yang sudah 2 kali menjabat ya mereka. Itu teorinya begitu ya, yang bisa mengklaim punya kerugian konstitusional mereka," Mahfud menjelaskan.
Jumat sore, kuasa hukum Jusuf Kalla, Irman Putra Sidin mendatangi MK. Kedatangannya ini memberi efek kejut, lantaran JK mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi aturan capres dan cawapres yang dimohonkan Partai Perindo.
Namun, dia membantah ada kepentingan politik yang mendorong JK mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan tersebut.
"Kami merasa berkewajiban, tanggung jawab konstitusional untuk masuk sebagai pihak terkait bukan karena kepentingan pribadi namun karena kami adalah warga negara yang dianggap paling kredibel untuk pihak terkait dalam perkara ini," kata Irman di Mahkamah Konstitusi, Jumat.
Dia mengatakan, ada kepentingan generasi bangsa mendatang dalam uji materi tersebut. Oleh karena itu, JK sendiri lah yang meminta agar dijadikan pihak terkait dalam gugatan itu. JK menilai harus turun tangan memberi penjelasan dalam sidang di MK.
"Iya pasti (permintaan Pak JK). Kan kami kuasa hukumnya," ucap Irman Putra Sidin kepada Liputan6.com.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bukan Jalan Mudah
Sejumlah pihak masih menginginkan romantisme Jokowi-Jusuf Kalla berlanjut hingga 2024. Salah satunya Partai Perindo. Partai bentukan Hary Tanoesoedibjo itu mengajukan gugatan ke MK agar batas seseorang mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres dalam Pasal 169 huruf n UU Pemilu dianulir.
Sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq menuturkan kelanjutan kepemimpinan keduanya bakal mempercepat pembangunan di Tanah Air.
"Iya gini loh, kepentingan Indonesia ke depan ini kan kita melihat pembangunan sudah di jalan kan oleh periode hari ini. Nah, kalau pasangan ini masih bisa dipertahankan, maka pembangunan ke depan itu pasti jauh lebih cepat karena apa yang jadi bagian dari Nawacita ataupun program secara keseluruhan itu tidak terpotong dengan kepemimpinan yang baru," kata Ahmad kepada Liputan6.com.
Namun, jikapun gugatan Perindo dikabulkan MK, jalan Jusuf Kalla maju di Pilpres 2019 diprediksi tidak akan mulus.
Direktur Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), Sirojudin Abbas menilai akan banyak pihak yang tidak setuju dengan putusan MK. Sebab, pembatalan aturan pencalonan capres dan cawapres itu dinilai menjadi mencederai reformasi demokrasi.
"Kalaupun dikabulkan, tidak akan mudah juga. Dihitung begini, kalau itu dibiarkan, bakal menjadi preseden kurang baik karena membiarkan seseorang menjabat lebih dari dua kali. Demokrasi akan mengalami kemunduran. Nanti juga akan merembet ke Presiden soalnya," kata Sirojudin saat dihubungi Liputan6.com.
Belum lagi, jika dilihat dari sudut pandang partai politik. Jika JK bisa maju lagi mendampingi Jokowi, "Apakah parpol bisa menerima beliau maju untuk ketiga kalinya? Negosiasinya tidak akan mudah."
Terlebih, posisi cawapres Jokowi menjadi primadona di kalangan politikus dan negarawan. Sebut saja Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau yang akrab disapa Cak Imin yang percaya diri bakal terpilih menjadi cawapres Jokowi di Pilpres 2019.
Menurut Sirojudin, harus dihitung juga posisi sentral dan value Jusuf Kalla. Dia menilai nilai tawar JK sudah tidak sekuat saat maju sebagai cawapres di Pilpres 2014.
"Value Pak JK tidak seperti dulu. Sekarang jauh lebih kecil dibanding posisi bargaining beliau. Meski opini publik, Pak JK masih digaungkan di antara tokoh yang di-support dalam posisi wakil presiden. Seperti halnya AHY, Pak Mahfud, Pak Gatot, dan Sri Mulyani. Tapi kita harus lihat konteks legal. Di 2019 ini, kalau berpasangan lagi dengan Jokowi nilai bargaining Pak JK tidak sekuat 2014," ujar Sirojudin.
Lalu, mengapa Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno menuturkan, Jokowi dan PDIP masih menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi terkait masa jabatan wakil presiden yang digugat Perindo?
"Saya kira bukan hanya menunggu JK, bukan hanya pilihan wakil. Tapi menunggu manuver yang bisa dimainkan Pak JK. Karena penting sekali untuk menunggu sikap Pak JK. Tidak bisa dipungkiri, Pak JK adalah pemain politik yang sangat penting. Ke manapun Pak JK melabuhkan dukungan, itu akan menjadi bobot penting," tutur Sirojudin.
Advertisement
Dua Kali Digugat
Batas masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n UU Nomor 7 tahun 2017 kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan tersebut diajukan Rabu 10 Juli 2018 oleh Partai Perindo.
Sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq mengatakan JK masih memiliki potensi untuk menjadi cawapres Jokowi. Itulah salah satu dasar mereka mengajukan permohonan uji materi.
"Yang pertama saya sampaikan bahwa UUD 45 sama UU Pemilu itu ada perbedaan penafsiran. Penafsiran itu adalah UUD 45 itu berturut-turut (mencalonkan diri), yang UU Pemilu berturut-turut dan tidak berturut-turut dan mana yang mau dipakai. Nah ini yang jadi dasar utama bagi Partai Perindo," kata dia.
Jusuf Kalla pun mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi soal masa jabatan wakil presiden tersebut. Dalam proses pengajuan itu, Kalla diwakili kuasa hukumnya Irman Putra Sidin.
"Kami merasa berkewajiban, tanggung jawab konstitusional untuk masuk sebagai pihak terkait bukan karena kepentingan pribadi namun karena kami adalah warga negara yang dianggap paling kredibel untuk pihak terkait dalam perkara ini," kata Irman di Mahkamah Konstitusi, Jumat (20/7/2018).
Aturan tersebut juga pernah digugat oleh seorang warga negara bernama Muhammad Hafidz, Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi (Perak), serta Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS).
Namun, gugatan itu tidak diterima oleh majelis hakim MK. "Dengan ini menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," ucap Ketua Majelis Hakim Anwar Usman di dalam persidangan, di Jakarta, Kamis 28 Juni 2018.
Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai para pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum.
"Menurut Mahkamah, para pemohon sebagai pembayar pajak tidak serta-merta memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang," ucap Palguna.
Dia menuturkan, para pemohon dapat memiliki kedudukan hukum atau legal standing apabila para pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis, bahwa pelanggaran hak konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang diuji ada keterkaitan sebagai statusnya pembayar pajak, memiliki kerugian yang nyata.
"Dengan demikian alasan untuk mengajukan pengujian norma baik berupa pasal, ayat, norma, atau bagian tertentu dari undang-undang termasuk penjelasannya, tidak cukup hanya mendalilkan sebagai pembayar pajak, tanpa terlebih dahulu menjelaskan kerugian konstitusional yang nyata atau potensial," kata Palguna.
Dia menambahkan, para pemohon juga bukanlah orang yang menjabat sebagai presiden atau wapres dalam dua kali masa jabatan yang sama secara tidak berturut-turut.
"Menimbang bahwa tidak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh para pemohon, baik yang bersifat aktual ataupun yang berpotensial," ucap Palguna.
Sehingga, masih kata dia, Mahkamah tidak ada keraguan sedikit pun untuk menyatakan para pemohon tidak memiliki legal standing.
"Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, karena para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon, maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan," dia memungkasi.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menjelaskan, aturan ini memang masih bisa digugat karena pada gugatan pertama, hakim menyatakan "tidak dapat diterima" bukan ditolak.
"Tidak dapat diterima karena dia bukan calon presiden atau wakil presiden. Berbeda dengan ditolak. Ini tidak dapat diterima karena dia tidak punya legal standing. Sekarang masih terbuka untuk digugat lagi, masih bisa dilakukan," kata Mahfud kepada Liputan6.com.