Liputan6.com, Jakarta - Operasi tangkap tangan yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat menyeret sejumlah pejabat. Pertama adalah Kalapas Sukamiskin Wahid Husen yang dipecat dengan tidak hormat oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Tidak sampai di situ, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga mencopot Kakanwil Kemenkum dan HAM Jawa Barat Indro Purwoko serta Kepala Divisi Pemasyarakatan Jawa Barat Alfisah.
"Hari ini saya memberhentikan Kakanwil Jabar Indro Purwoko dan Kadivpas Jabar Alfisah. Saya baru saja tanda tangan surat keputusan (pemberhentian). Itu supaya juga jadi pelajaran ke depannya," kata Yasonna di Kantor Kemenkumham, Kuningan Jakarta Selatan, Senin (23/7/2018).
Advertisement
Yasonna memang layak berang. Apa yang dilakukan anak buahnya itu telah mencoreng wajah lembaga yang dipimpinnya. Tertangkapnya Kalapas Sukamiskin Wahid Husen telah menguak langgengnya jual beli sel mewah.
Apalagi, berdasarkan temuan KPK, tarif sel mewah itu berkisar Rp 200 hingga Rp 500 juta. Harga sel mewah di Lapas Sukamiskin tersebut belum termasuk penambahan fasilitas seperti pendingin udara, pemanas air, lemari es, oven, rak buku, dan lain sebagainya.
"Ini benar-benar memalukan. Saya stres. Dalam artian, kebangetan banget ini. Ini saya akui. Sudah tidak bisa ditolerir," ujar Yasonna.
Selain janji akan melakukan pembenahan menyeluruh, Yasonna juga mengakui bahwa keberadaan lapas yang dihuni oleh napi kasus korupsi memiliki godaan yang tinggi terhadap aparatnya.
"Lapas Sukamiskin itu sangat menggoda. Jadi kemarin dalam sidak oleh Dirjen dan jajaran memang ditemukan barang-barang yang tak patut dan sepantasnya," kata Yasonna.
Hal itu dibuktikan oleh fakta, tak mudah mencari orang untuk memimpin lapas sekelas Sukamiskin. Dia mengatakan, selama menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM, dia sudah lima kali mengganti Kalapas Sukamiskin.
"Ini akan mendorong kita untuk mengevaluasi. Kelihatannya ini menggoda banyak petugas," ujar Yasonna.
Namun, dari pengamatan Indonesian Corruption Watch (ICW), apa yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM belum cukup terkait praktik pemberian fasilitas mewah di Lapas Sukamiskin. ICW meminta agar KPK memeriksa seluruh pejabat di lapas khusus narapidana korupsi itu.
"Poinnya adalah tentu saya rasa semua pihak yang ada di lapas itu harus dimintai keterangan. Semuanya," tegas Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama S Langkun kepada Liputan6.com, Senin (23/7/2018).
ICW tak yakin perbuatan jual beli fasilitas mewah tersebut hanya melibatkan Kalapas Sukamiskin dan narapidana korupsi Fahmi Dharmawansyah. Untuk itu, lembaga antirasuah harus memeriksa seluruh pihak yang bekerja di Lapas Sukamiskin agar kasus tersebut tak terulang.
"Kita tidak yakin perbuatan yang terjadi antara narapidana dan kalapasnya saja. Misalnya, dalam konteks jual beli tidak mungkin kalapas sendirian yang mengurus, ada pihak-pihak lain yang juga untuk dimintai informasi," jelas Tama.
Â
Hal senada disampaikan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Eks menteri di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mengatakan, kalapas serta jajaran hingga sipir di Sukamiskin haruslah orang terbaik yang melalui proses seleksi ketat.
Menurut dia, fakta bahwa Kalapas Sukamiskin Wahid Husen yang ditangkap KPK saat baru menjabat empat bulan, menunjukkan ada persoalan mendasar pada sistem rekrutmen untuk posisi Kalapas Sukamiskin.
"Ketika kami mengemban amanah Wamenkumham, sistem seleksi Kalapas Sukamiskin sangat ketat dan luar biasa berat, berbeda dengan penjara lainnya di Tanah Air. Sukamiskin adalah satu-satunya kalapas yang kami seleksi langsung, melalui proses yang sangat ketat dan berjenjang, layaknya proses menjaring Komisioner KPK," kata Denny kepada Liputan6.com, Senin (23/7/2018).
Dia menuturkan, terhadap kandidat terbaik dilakukan psikotes, juga penelusuran rekam jejak menyeluruh. Transaksi keuangannya dicek ke PPATK, LHKPN-nya dicek ke KPK. Demikian pula jejak hukumnya dilihat di kepolisian dan kejaksaan, serta pajaknya dicek ke Ditjen Pajak.
"Barulah pada tahap akhir, kepada beberapa kandidat terpilih, kami lakukan wawancara langsung. Melalui proses yang ketat dan berjenjang itulah terpilih Kalapas Sukamiskin," jelas Denny.
Tak cukup sampai di situ, sistem pengawasan di pemasyarakatan, utamanya di Sukamiskin, menurut dia tidak cukup hanya dijaga oleh Kalapas. Kepala Divisi Pemasyarakatan dan Kepala Kantor Wilayah Jawa Barat juga harus kader terbaik. Bahkan, Dirjen Pemasyarakatan juga harus orang terbaik yang mendukung penuh dan membentengi Kalapas Sukamiskin dari berbagai godaan.
"Untuk memastikan hal itu, kami melakukan lelang jabatan terbuka (open bidding) posisi Dirjen Pas, dan terpilih Handoyo Sudrajat, mantan Direktur di KPK, yang sudah pasti kadar integritasnya tidak bisa dibeli. Sayangnya, Pak Handoyo mengundurkan diri di awal 2015," ujar Denny.
Selain sosok petugas yang mumpuni, soal infrastruktur dan fasilitas lapas juga dianggap berpengaruh pada penanganan napi kasus korupsi. Bagaimana yang ideal?
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Pilih Sukamiskin atau Nusakambangan?
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Denny Indrayana punya jawaban tegas saat ditanyakan soal kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) saat ini, khususnya lapas khusus napi kasus korupsi Sukamiskin di Jalan A.H. Nasution, Bandung.
"Jawaban saya atas pertanyaan demikian mestinya tidak cukup dituliskan dalam satu artikel singkat, karena persoalan pada sistem pemasyarakatan kita sudah terlalu kompleks dan rumit," tegas Denny kepada Liputan6.com, Senin (23/7/2018).
Terkait dengan keberadaan Lapas Sukamiskin yang ditetapkan sebagai lapas khusus napi kasus korupsi di tahun 2012 atau saat dirinya menjabat sebagai Wamenkum HAM, dia mengatakan kebijakan itu adalah pilihan manajerial yang berbasis sentralisasi pengawasan.
"Artinya, kami memilih untuk mengumpulkan napi korupsi di satu lapas untuk memudahkan pengawasan, ketimbang mereka tersebar di lebih dari 500-an penjara di seluruh Indonesia," ucap Denny.
Dia menuturkan, jangan membayangkan kalau napi kasus korupsi dikumpulkan dengan napi-napi kejahatan lain, maka napi korupsi tidak bisa membeli fasilitas dengan uangnya. Menurutnya, itu terlalu menyederhanakan persoalan yang sebenarnya sangat rumit.
"Karena rentang wilayah Indonesia yang sangat luas, maka pengawasan menjadi lebih sulit dilakukan. Di penjara yang tersebar di seluruh Indonesia, sudah menjadi rahasia umum para oknum napi korupsi tetap membeli sel sendiri dengan berbagai fasilitasnya, termasuk mempekerjakan napi-napi umum sebagai 'pembantu' mereka," jelas Denny.
Yang membedakan napi korupsi dengan napi lainnya, menurut dia adalah kemampuan finansialnya yang tak terbatas dan kemudian menjadi sumber kekuasaan di dalam lapas.
"Lalu, kenapa di Sukamiskin masih kebobolan dan terjadi OTT korupsi oleh KPK? Karena kebijakan penetapan Sukamiskin sebagai lapas antikorupsi seharusnya bukan kebijakan tunggal yang berdiri sendiri. Sistem kontrol di Sukamiskin harus ditingkatkan jauh di atas rata-rata lapas di seluruh Indonesia," ungkap Denny.
Dia menegaskan, selama menjabat sebagai Wamenkum HAM, dirinya kerap mendatangi Lapas Sukamiskin untuk menggelar inspeksi mendadak atau sidak. Hanya saja, karena tanpa diikuti awak media, sidak itu jarang diketahui publik.
"Pesan yang ingin saya kirimkan ke jajaran Sukamiskin adalah, saya serius mengawasi, sekaligus mendukung dan melindungi penuh mereka dalam menjalankan tugas. Karena alasan perlunya sidak itu pula, saya tidak memilih Nusakambangan sebagai lapas antikorupsi," ungkap Denny.
Dia beralasan, kalau ke Nusakambangan sangat sulit melakukan sidak dan mengecek kondisi lapangan secara kedap. Belum sampai menyeberang laut ke Pulau Nusakambangan, baru mendarat di Semarang, besar kemungkinan kehadirannya sudah bocor.
"Dengan memilih Bandung, maka beberapa kali sepulang jam kerja, saya meluncur tiga jam dari Kuningan, Jakarta, dan tiba mendadak di Lapas Antikorupsi Sukamiskin. Jadi, sekali lagi, pilihan Sukamiskin di Bandung adalah berdasarkan alasan manajerial pengawasan yang lebih terpusat dan terkontrol dari Jakarta," pungkas dia.
Namun, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengaku saat ini pihaknya tengah mengkaji usulan menempatkan para narapidana korupsi di lapas khusus yang punya sel eksklusif, satu sel untuk satu napi dan punya pengamanan super maksimum.
"Penempatan napi koruptor di sel secara khusus akan jadi kajian kita. Akan kita evaluasi," ujar Yasonna di Kantor Kemenkumham Jakarta Selatan, Senin (23/7/2018).
Menurut dia, hal tersebut sebagai tindak lanjut masukan dari KPK yang menginginkan agar para koruptor ditempatkan di sel eksklusif. Yasonna mengatakan pihaknya akan melakukan evaluasi terkait usulan dari lembaga antirasuah itu.
"Ini akan mendorong kita untuk mengevaluasi dan pasti sudah kita lakukan segera tentang penempatan secara eksklusif ini," ucapnya.
Kendati demikian, pimpinan KPK sendiri belum mengetahui dampak positif dan negatifnya jika napi korupsi ditempatkan di lapas kbhusus yang rencananya berada di Pulau Nusambangan.
"Saya belum tahu apakah di sana lebih transparan atau lebih tersembunyi, kita pelajari dulu semua," jelas Ketua KPK Agus Rahardjo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (23/7/2018).
Tentu saja rencana menempatkan napi korupsi di lapas khusus Nusamkambangan layak dicoba. Namun, tetap saja yang menjadi pembeda adalah sosok penjaga atau orangnya. Jika orangnya sudah benar dan lurus, maka tak peduli di mana lokasi lapasnya, sel mewah seperti di Sukamiskin tak akan ada.
Â
Advertisement
Kisah Sel Mewah yang Terkuak
Keberadaan sel mewah di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat yang diungkap KPK bukanlah cerita baru. Banyak sudah cerita tentang sel mewah di penjara yang dihuni narapidana kasus korupsi. Sejumlah kasus yang menonjol di antaranya terjadi di Lapas Cipinang dan Rutan Pondok Bambu.
Selasa 31 Mei 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyita uang dan aset tak bergerak dari lima anak buah Freddy Budiman dengan nilai sebesar Rp 39 miliar. Salah satu tersangka atas nama Haryanto Chandra alias Gombak, napi yang bermain dari dalam Lapas Klas I Cipinang, Jakarta Timur.
Kepala BNN Komjen Budi Waseso menyampaikan, Haryanto Chandra merupakan terpidana narkotika dengan masa kurungan 14 tahun penjara. Penggeladahan sel mewah yang bersangkutan diawali dari pengembangan kasus residivis narkoba berinisial LLT.
Pria yang akrab disapa Buwas itu mengatakan, setelah penangkapan LLT pada Senin 3 April 2017, petugas meringkus Angelina pada Senin 22 Mei 2017 yang merupakan pengelola keuangan milik Haryanto Chandra, selama berada di dalam lapas mewahnya.
"Pada 31 Mei 2017 penyidik melakukan penggeledahan di sel Lapas Cipinang terpidana Haryanto Chandra. Kita temukan 1 unit laptop, 1 unit Ipad, 4 buah handphone, dan 1 unit token," jelas Buwas di BNN, Jalan MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur, Kamis 15 Juni 2017.
Menurut dia, sel milik anak buah Freddy Budiman itu terbilang sangat mewah. Selain dilengkapi AC, televisi layar datar, dan Wifi, di bagian pintu depan penjara terdapat CCTV yang digunakan Haryanto Chandra untuk memantau siapa saja yang melintas atau berniat masuk ke dalam ruangannya.
"Kalau kita mau datang, kita dimonitor. Ada dapur mewah, bahkan bisa merawat ikan arwana. Ini bukan rekayasa, jelas sampai hari ini masih ada seperti ini di dalam lapas," beber Buwas.
Menindaklanjuti temuan ini, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengaku sudah menindak tegas bawahannya. Ia pun mencopot Kepala Lapas Klas I Cipinang dan Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP).
"Hari ini Kalapasnya saya sudah tanda tangani untuk di non-jobkan. Yang kedua, KPLP dinon-jobkan, itu ditandatangani Sekjen karena dia eselon III," ujar Yasonna usai acara buka puasa bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu 14 Juni 2017.
Tak hanya itu, ia pun berjanji akan memeriksa seluruh jajarannya di Lapas Cipinang. Yasonna menegaskan juga akan memberikan sanksi berat kepada siapa pun petugas yang terlibat.
"Kemudian pemeriksaan kepada siapa yang bertanggung jawab memberikan fasilitas itu. Kalapasnya bilang enggak pernah lihat, enggak benar, ya berarti itu dia tidak melakukan tugas dan fungsinya," ucap Yasonna.
Sebelumnya, Minggu 10 Januari 2010 malam, anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin Denny Indrayana melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II A Pondok Bambu, Jakarta Timur. Di antaranya ke ruang terpidana Artalyta Suryani alias Ayin dan Limarita alias Aling terpidana seumur hidup dalam kasus narkoba.
Ruangan Ayin berada di Blok Anggrek Nomor 19, dia tinggal bersama dengan asisten pribadinya, Asmiyati yang merupakan terpidana dua tahun enam bulan penjara. Di dalam ruangannya terdapat perlengkapan bayi untuk anak angkatnya.
Di kamar tersebut juga terdapat kamar mandi berukuran 1 x 1,5 meter persegi berisi bak mandi mengkilap dan bersih serta kloset duduk mirip yang ada di hotel-hotel. Kamar mandinya tak hanya satu. Di salah satu sisi dindingnya juga menempel bak mandi, lengkap dengan peralatan mandi.
Di sana juga terdapat beberapa alat kosmetik mewah berjejer rapi. Saat sidak, Ayin kepergok sedang melakukan perawatan kulit di ruangan khususnya tersebut.
Tak ada karpet atau kasur busa seperti layaknya di ruang tahanan masyarakat biasa. Di sel milik Ayin terdapat spring bed berukuran double. Di ruang seluas itu ternyata terdapat alat fitness yang dijadikan gantungan baju. Sel itu juga dilengkapi televisi layar datar 21 inchi. Untuk mendinginkan ruangan, Ayin juga memasang AC portabel.
Selain memiliki sel di lantai 1, terpidana 5 tahun dalam kasus suap pada jaksa Urip Tri Gunawan itu juga memiliki ruang kantor di lantai 3. Ruangan itu juga bak kamar di hotel berbintang. Papan di depan kamar Ayin tertulis nama Artalyta Suryani dan Asmiyati.
Bahkan, pengusaha asal Lampung ini diketahui juga pernah memimpin rapat perusahaan di dalam rutan.
"Di dalam juga pernah mengadakan rapat dengan para karyawan, karena katanya dia harus mengurusi 70 ribu sampai 80 ribu karyawan," kata anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa.
Selain itu, Ayin juga diketahui pernah dua kali meninggalkan bui. Ayin menjelaskan, kepergian pertamanya ke luar rutan untuk keperluan periksa gigi. Sedangkan yang kedua untuk melayat anggota keluarganya yang meninggal.
Kini, kasus serupa kembali terkuak. Perlu langkah yang lebih tegas dan terukur daripada sekadar memecat pejabat berwenang.
Â