Sukses

Pasang Surut Hubungan Megawati-SBY yang Warnai Pilpres 2019

SBY terang-terangan mengakui hubungannya dengan Megawati masih belum pulih.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kerap melontarkan masalah hubungannya dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

Dalam dua kesempatan berbeda, usai bertemu Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dua kali pula SBY menyinggung kurang harmonisnya hubungan Demokrat dengan partai pendukung Jokowi itu.

Di balik itu, SBY rupanya masih khawatir dengan hubungannya dengan Megawati Soekarnoputri. Bahkan SBY terang-terangan mengakui hubungannya dengan Megawati masih belum pulih. "Masih ada jarak, masih ada hambatan," kata SBY.

Sebenarnya, bagaimana sejarah hubungan SBY-Megawati yang hingga kini masih berseteru?

Hubungan SBY dan Megawati mulai merenggang sejak 15 tahun lalu. Bermula pada 2003, Megawati mulai mencium aroma politik saat SBY menjadi Menko Polhukam dalam pemerintahan Megawati-Hamzah Haz. Saat itu, SBY banyak muncul dalam iklan sosialisasi pemilu.

Saat itu pula, Megawati mulai mengucilkan SBY dengan tak mengikutsertakannya dalam rapat kenegaraan. SBY pun mengirimkan surat kepada Megawati, tapi tak direspons. Surat kedua pun dilayangkan SBY pada 11 Maret 2004 yang berisi pengunduran dirinya sebagai Menko Polhukam.

Kemudian, di bulan yang sama, SBY tancap gas membentuk Partai Demokrat dan mulai berkampanye pada Pemilu 2004. Di tahun yang sama, SBY mendaftarkan diri sebagai calon presiden dengan menggandeng Jusuf Kalla. Keduanya melawan Megawati yang saat itu berduet dengan Hasyim Muzadi.

Saat debat capres di televisi, Megawati berusaha terus menghindari SBY. Namun dalam pertarungan perebutan kursi presiden, pasangan Megawati-Hasyim Muzadi kalah oleh SBY-JK di putaran kedua.

Kala itu Mega-Hasyim mendapat perolehan suara 44.990.704 atau 39,38 persen, sementara SBY-JK meraih 69.266.350 atau 60,62 persen.

Pada 5 Oktober 2004, KPU mengumumkan kemenangan SBY dalam Pilpres 2004. Lalu, pada 20 Oktober 2004, saat SBY membacakan sumpah presiden, Megawati malah mengundang kader PDIP untuk buka puasa di Kebagusan.

Di sana, Megawati mengatakan "Saya katakan, kita bukan kalah (dalam pemilu), tapi kurang suara. Jangan merasa kita kalah, kita hanya kekurangan suara!"

Saat itu pula, Megawati bertekat merebut kembali kursi presiden. Namun, fakta berkata lain, Megawati kembali kalah melawan SBY dalam Pilpres 2009.

Megawati yang berduet dengan Prabowo Subianto tumbang hanya dalam satu putaran. SBY-Boediono menang telak lebih dari 60 persen. PDIP pun kembali menjadi partai oposisi selama 10 tahun. Selama itu pula, Megawati enggan menghadiri acara kenegaraan karena tak mau bertemu SBY.

2 dari 2 halaman

Kembali Bertemu

Usai peristiwa itu, keduanya bertemu kembali saat pemakaman suami Megawati, Taufiq Kiemas. Saat itu, SBY menjadi inspektur upacara pemakaman Ketua MPR itu pada 9 Juni 2013.

SBY menyampaikan langsung ucapan ikut berduka atas meninggalnya Taufiq Kiemas. SBY, yang mengenakan setelan jas hitam lengkap dengan peci, menyalami Megawati, menggenggam erat tangan kanan Mega dengan dua tangannya.

Jabat tangan hangat SBY disambut Mega, yang mengenakan pakaian serbahitam dan kerudung putih, masih berwajah penuh duka. Di samping Mega, Puan Maharani, yang juga mengenakan pakaian serbahitam kembar dengan Mega ditambah kerudung hitam, tampak tersenyum kecil.

Keduanya kembali bertemu empat tahun kemudian. SBY dan Megawati sama-sama diundang Jokowi untuk menghadiri HUT Kemerdekaan RI di Istana Merdeka pada 17 Agustus 2017.

Pertemuan Megawati-SBY ini dinilai sebagai sinyal keduanya berkoalisi di Pilpres 2019. Namun kenyataannya, SBY mengaku sulit berkoalisi di kubu PDIP karena terhalang Megawati. Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menanggapi keluhan SBY. 

"Silakan lihat dalam jejak digital maupun media cetak, bahwa menjelang pemilu pasti Pak SBY selalu menyampaikan keluhannya tentang Ibu Megawati," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/7/2018).

Hasto menyebut perilaku SBY sebagai keluhan musiman. Padahal, menurut dia, selama ini Megawati baik-baik saja. Mega memilih diam karena meyakini pada akhirnya kebenaranlah yang akan menang.

Manuver SBY mengingatkan Hasto dengan periode pemilihan presiden 2004 silam. Ia mengatakan saat itu SBY juga memosisikan diri sebagai korban.

"Saat itu Pak SBY menyatakan diri sebagai orang yang dizalimi. Secara psikologis, seharusnya yang menzalimi itu kan yang merasa bersalah, tetapi kenapa ya Pak SBY justru tampak sebagai pihak yang merasa bersalah dan selalu menuduhkan hal yang kurang pas tentang Ibu Mega?" ia berujar.

Saksikan video pilihan di bawah ini: