Liputan6.com, Jakarta - Ada beberapa menteri dalam Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang akan menjadi caleg pada Pemilu 2019. Seharusnya pimpinan parpol yang kadernya telah jadi menteri mengikhlaskan yang bersangkutan untuk tetap konsentrasi menjadi menteri dan jangan diminta menjadi caleg.
Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, adanya menteri yang terjun menjadi caleg merupakan bentuk kekeliruan paradigma.
"Ini sistem pemerintahan presidensil, bukan parlementer. Dalam parlementer, menteri memang harus nyaleg. Kenapa? Karena dia harus menguasai mayoritas parlemen untuk pemerintah. Karena itu menteri-menteri harus nyaleg. Tapi ini sistem pemerintahan presidensil. Dia sudah jadi menteri, ngapain dia nyaleg?" jelas Refly di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (26/7/2018).
Advertisement
Dia menilai ada dua alasan para menteri menjadi caleg. Pertama takut tak akan diangkat menjadi menteri pada pemerintahan berikutnya. Kedua, parpol yang bersangkutan membutuhkan menteri ini untuk meningkatkan perolehan suara.
"Harusnya partai politik yang kadernya jadi menteri itu sudahlah, relakan. Diwakafkan istilahnya. Mestinya begitu. Dia sudah bekerja demi kepentingan bangsa dan negara. Sudah diwakafkan saja. Cari kader-kader yang lain," saran Refly.
"Ini kan enggak. Bahkan ketua umumnya sendiri jadi menteri atau elite-elitenya jadi menteri. Jadi diwakafkan. Cari kader yang lain. Barulah bernegara kita benar," imbuh dia.
Jika para menteri terjun menjadi caleg, maka waktunya akan terbagi untuk kampanye. Ini dikhawatirkan menurunkan kinerja yang bersangkutan.
"Coba bayangkan, ini sembilan bulan menuju pemilu sudah gonjang ganjing enggak karuan. Menteri-menteri ini kan pasti akan berkampanye. Enggak mungkin akan diam saja. Apalagi beban dia sebagai vote getter itu tinggi. Dia kan tidak hanya untuk dirinya sendiri. Bila perlu ia menolong partainya untuk mendapatkan lebih dari satu kursi," pungkas Refly.
Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Jabatan Wapres Tak Perlu Dibatasi
Selain itu, Refly menilai, jika ditinjau dari hukum tata negara, jabatan wapres tak perlu dibatasi. Dia menilai argumentasi JK dalam mengajukan gugatan ini cukup tepat. JK menggunakan argumentasi teori tentang pemegang kekuasaan dimana pemegang kekuasaan tertinggi dipegang oleh presiden.
Ia mengatakan, tafsir terhadap konstitusi itu hidup di mana dulu hal yang dianggap konstitusional di kemudian hari bisa dianggap inkonstitusional atau sebaliknya.
"Kalau MK kemudian mengambil tafsir ini yang menurut saya logis dan rasional, maka dengan sendirinya wapres tidak perlu dibatasi. Tapi presiden tetap harus dibatasi dua periode karena itu soal kesejarahan dan maksud dari perumusan Pasal 7 UUD 1945. Tapi wapres sebagai orang yang tidak memegang kekuasaan not necessary, tidak terlalu penting untuk dibatasi," jelasnya.
Maksud pembatasan kekuasaan dalam Pasal 7 itu ialah akibat trauma sejarah masa lalu, baik itu saat Orde Lama maupun Orde Baru yang melahirkan otoritarianisme. Saat Orde Lama, Soekarno pernah menyatakan diri menjadi presiden seumur hidup dan pada masa Orde Baru Soeharto berkuasa selama 32 tahun.
"Ketika Bung Karno dan Pak Harto memegang kekuasaan secara otoriter sehingga perlu adanya pembatasan kekuasaan. Siapa yang harus dibatasi? Yaitu pemegang kekuasaan, buat apa kita membatasi seseorang yang tidak memegang kekuasaan. Dalam sistem konstitusi kita, pemegang kekuasaan itu adalah presiden," papar Refly.
Wapres hanya sebatas pembantu presiden, sama seperti menteri. Hanya saja yang membedakan wapres dengan menteri, presiden tak bisa memberhentikan wapres. Wapres hanya bisa diberhentikan lewat pemakzulan. Pembeda lainnya, ketika presiden berhalangan tetap, maka wapres yang akan menggantikannya menjadi presiden sampai habis masa jabatan.
"Itu saja yang membedakan wapres dan menteri, yaitu cara pemberhentian dan dia punya opportunity untuk menjadi nomor satu," kata Refly.
Â
Reporter: Hari Ariyanti
Â
Advertisement