Sukses

Cinta Janggal Oesman Sapta Odang untuk Mahkamah Konstitusi

Makian Oesman Sapta Odang terhadap MK di ruang publik. Buntutnya panjang melibatkan lembaga tinggi negara.

Liputan6.com, Jakarta - "MK itu goblok, karena dia tidak menghargai kebijakan yang telah diputuskan oleh siapa? oleh KPU. Itu porsi KPU, bukan porsi MK," kata Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) dalam sebuah diskusi yang ditayangkan langsung sebuah stasiun televisi, 25 Juli 2018 lalu.

Serangan verbal OSO menjadi klimaks kegeramannya kepada Mahkamah Konsitusi (MK). Ketua Umum Hanura itu berang dengan putusan MK mengabulkan permohonan pengujian Pasal 128 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Uji materi yang diajukan Muhammad Hafidz itu meminta 'fatwa' MK perihal pasal 182 huruf l UU Pemilu yang memuat syarat bagi calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'. Frasa 'pekerjaan lain' dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional.

Dalam putusannya, Mahkamah menilai frasa tersebut harus dimaknai pula dengan 'mencakup pula pengurus parpol'.

"Mahkamah penting menegaskan bahwa pengurus adalah mulai dari pusat sampai paling rendah sesuai struktur organisasi parpol," jelas Hakim MK I Dewa Gede Palguna.

Alhasil, pengurus parpol tak boleh menjadi calon legislatif DPD. MK menegaskan keputusan itu tak berlaku surut.

Posisi OSO di pimpinan tertinggi DPD praktis aman. Persoalannya, ia kini juga tengah mendaftar untuk kembali maju menjadi anggota DPD.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menyampaikan, lembaganya akan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang kursi Dewan perwakilan Daerah (DPD) diisi pengurus partai politik. Namun sebelumnya, KPU lebih dulu akan mempelajari dan meneliti hasil putusan itu.

KPU akan menggodok putusan MK dengan para ahli hukum. Hasilnya akan dituangkan dalam Peraturan KPU soal pencalonan anggota DPD.

Dampak dari putusan MK itu, kata Wahyu, jika ada pengurus parpol yang tetap ingin menjadi anggota DPD, maka harus mundur dari jabatannya di partai.

"Kalau dia ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD, ya harus mundur dari jabatannya (di parpol). Secara teknis kan nanti dia harus lengkapi syarat itu (mundur dari parpol)," tutur Wahyu.

Pendaftaran calon anggota DPD untuk Pemilu 2019 telah berlangsung. Menurut Wahyu, ada bakal calon anggota DPD yang berasal dari partai politik.

Namun belum diketahui pasti berapa jumlahnya. KPU akan mereview kembali data-data yang telah diserahkan.

"Ya ada. Karena sebelum ini kami mengabaikannya, sebab enggak ada larangan. Tapi karena ada ini, kita akan review kembali," kata Komisioner KPU itu.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta bakal calon legislatif (bacaleg) DPD RI yang juga seorang pengurus partai politik untuk menyerahkan surat pengunduran diri.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi menyampaikan, rencananya, KPU akan menunggu surat pengunduran tersebut hingga satu hari sebelum tahapan Daftar Calon Tetap (DCT) berakhir. DCT sendiri berakhir pada 20 September 2018.

"Batas akhirnya ya. Mau menyerahkan sekarang boleh, tapi batas akhirnya 1 hari sebelum DCT," ujar Pramono, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (26/7/2018).

Pramono mengatakan, batas waktu tersebut memang rencananya disamakan dengan batas waktu persyaratan pengunduran diri bagi pejabat negara yang maju menjadi caleg.

"Itu kemungkinan pengaturan kami ke sana," kata Pramono.

Sebagai Ketua Umum Hanura, putusan MK menutup peluang OSO rangkap jabatan. Bila ingin maju menjadi anggota DPD, OSO harus mengundurkan diri dari kepengurusan Hanura.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Keluhan OSO

OSO mengeluhkan MK yang tak pernah berkonsultasi dengan DPD terkait hal itu.

"Yang jelas MK itu tidak pernah konsultasi dengan DPD yang menyangkut masalah prinsipnya," kata OSO di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/7/2018).

Hingga akhirnya, serangan kasar di siaran langsung program televisi itu terlontar. Pernyataan di ruang publik itu sontak membuat MK bereaksi. Lembaga itu melayangkan surat keberatan kepada OSO.

"Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa tindakan atau ucapan yang dilakukan Bapak Oesman Sapta Odang, dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang merendahkan kehormatan, harkat martabat dan wibawa Mahkamah Konstitusi dan para hakim Konstitusi," kata Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah di kantornya, Selasa (31/7/2018).

Guntur menjelaskan, tak ada batas waktu bagi OSO untuk menanggapi surat itu. Yang jelas, MK menegaskan menunggu respons OSO.

"Kalau nanti respon sudah ada, nanti Mahkamah Konstitusi menyikapinya seperti apa dan langkah seperti apa dari MK ini," jelas Guntur.

Dia menampik, surat keberatan itu merupakan bentuk sikap lunak MK terhadap OSO. Menurutnya, respons MK sudah proporsional.

"Kami hanya masukan kategori sudah merendahkan. Jadi tidak perlu secara vulgar, tapi pesannya sampai agar Pak Oesman Sapta Odang untuk merespon," pungkasnya.

Dewan Perwakilan Daerah mengirim balasan untuk menjawab surat keberatan yang dilayangkan Mahkamah Konstitusi kepada Oesman Sapta Odang (OSO). Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal DPD, Ma'ruf Cahyono menilai pernyataan Ketua DPD itu di sebuah stasiun televisi tak bermaksud merendahkan pihak tertentu.

"Pernyataan Oesman Sapta disampaikan dalam kapasitasnya sebagai anggota DPD yang bertugas memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah," ucap Ma'ruf dalam keterangannya, Rabu (1/8/2018).

Ma'ruf mengungkapkan surat yang dikirimkannya terdiri dari enam poin. Selain menjelaskan tentang hak konstitusional pimpinan dan anggota DPD, surat itu berisikan tentang dasar pernyataan Ketua DPD terkait Putusan MK.

Diresponsnya somasi MK di hari yang sama, menurut Ma'ruf, membuktikan bahwa DPD sangat menghormati wibawa dan kewenangan masing-masing lembaga negara.

 

3 dari 3 halaman

Hak Kritik

Ia menjelaskan, pimpinan dan anggota DPD memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan kritik dan penilaian teradap berbagai persoalan. Pernyataan OSO juga dianggap sebagai keprihatinan atas terbitnya putusan yang berpotensi menghilangkan hak politik dan konstitusional warga negara.

"Prinsipnya, Pak Oesman Sapta sangat menghormati hukum, termasuk putusan tersebut. Pernyataan itu, tak bermaksud menghina atau merendahkan kehormatan dan kewibawaan MK, Hakim Konstitusi, maupun putusannya," tegasnya.

Dalam dialog itu, lanjut Ma'ruf, OSO juga menuturkan sejumlah alasan terkait kejanggalan dan persoalan hukum yang ditimbulkan dalam putusan tersebut.

Di antaranya, MK tak melibatkan DPD sebagai pihak terkait dalam uji materi Pasal 182 huruf 1 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Kemudian, putusan yang bersifat final dan mengikat itu, dikeluarkan saat tahapan pelaksanaan Pemilu 2019 telah berjalan.

"Jika dicermati, pernyataan beliau justru sangat menghormati dan mencintai MK. Pak Oesman tidak mau lembaga hukum terseret arus politik, apalagi menghilangkan hak-hak politik dan konstitusional warga negara," ucapnya.

Ironisnya, bentuk cinta itu diwujudkan dalam bentuk makian di ruang publik. 

Partai Hanura ikut mengomentari surat keberatan yang dilayangkan Mahkamah Konstitusi kepada Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO).

"Penyampaian somasi MK menunjukkan kepanikan MK karena tidak menyangka DPD mengetahui bahwa pengawal konstitusi melanggar konstitusi," kata Inas saat dihubungi merdeka.com, Rabu (1/8/2018).

Saksikan video pilihan di bawah ini

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.