Sukses

Pidana untuk Anak yang Jadi Korban Pemerkosaan di Jambi Dikecam

Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan juga menegaskan, pemidanaan terhadap anak yang menjadi korban pemerkosaan tidak diperkenankan.

Liputan6.com, Jakarta - Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan mengecam keras pidana penjara terhadap WA (15), korban pemerkosaan yang melakukan aborsi. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati yang mewakili aliansi tersebut mengatakan, pemidanaan terhadap korban perkosaan jelas tidak diperkenankan.

"Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan mengecam keras penjatuhan pidana penjara 6 bulan terhadap anak korban perkosaan yang melakukan aborsi," ujar Maidina, dalam media briefing Jangan Hukum Korban Perkosaan!, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (5/8/2018).

Selain mengecam keras, mereka juga menuntut jalannya pemeriksaan harus dilakukan secara hati-hati dalam persidangan di tingkat banding, terutama terhadap anak yang menjadi korban pemerkosaan.

Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan juga menegaskan, pemidanaan terhadap anak korban pemerkosaan jelas tidak diperkenankan. Mereka menilai, terdapat pelanggaran serius dalam proses pemeriksaan perkara tersebut.

"Pelanggaran serius hak atas bantuan hukum yang efektif dan kredibel. Catatan krusial lain, penasihat hukum yang mendampingi anak korban perkosaan sama dengan penasihat hukum untuk pelaku perkosaan dengan interest of justice yang jelas berbeda," kata Maidina.

Selain itu, menurut mereka, terdapat indikasi adanya penyiksaan pada tahap penyidikan. Mereka juga menyoroti perlakuan selama persidangan, di mana pengadilan menahan korban. Hasil penelitian kemasyarakatan juga dirasa tidak secara detail memeriksa kondisi anak dan latar belakang anak yang terang-terang korban perkosaan.

Mereka juga menilai ada pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hakim, wajib untuk berperilaku adil dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.

"Penjatuhan pidana pada anak korban perkosaan yang melakukan aborsi sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan," ucapnya.

Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan juga menganggap bahwa unsur tindak pidana yang didakwa dalam persidangan tidak terbukti. Dikarenakan tidak ada pembuktian dalam perisidangan bahwa benar bayi yang ditemukan oleh warga adalah bayi yang dikandung oleh WA.

"Bahkan tidak diketahui penyebab kematian bayi yang ditemukan."

Selain itu, mereka menilai, penuntut umum maupun majelis hakim sama sekali tidak menggali aspek psikologis WA yang didakwa melakukan aborsi. Ini dikarenakan, tidak ada pemeriksaan terkait dengan perkosaan yang dialaminya.

"Fakta bahwa anak adalah korban perkosaan yang mengalami trauma diabaikan, padahal korban perkosaan dilindungi hukum untuk melakukan aborsi," kata dia.

Aliansi yang terdiri dari ICJR, Rumah Cemara, LBH Apik Jakarta, LBH Masyarakat, PKBI, SGRC, Kita Sama, Pasukan Jarik, Rutgers WPF Indonesia, Save All Women and Girls (SAWG), Konsorsium PERMAMPU, dan IPAS menilai, anak korban perkosaan tidak dapat dipidana.

"Seharusnya penuntut umum dan majelis hakim mampu melihat bahwa tidak ada pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada anak korban pemerkosaan," kata Maidina.

2 dari 2 halaman

Alasan Jaksa

Kasus hukum yang membelit WA (15), seorang gadis Jambi yang diperkosa kakak kandungnya hingga hamil berbuntut panjang. Vonis 6 bulan penjara yang diterimanya dinilai tak adil hingga mencetuskan petisi yang menuntut pembebasannya.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Batanghari akhirnya menggelar konferensi pers untuk menjelaskan duduk perkara terkait kasus inses atau hubungan seksual sedarah yang terjadi di daerah itu yang sudah divonis dan jadi perhatian nasional dan internasional.

"Hari ini kita meluruskan pemberitaan yang dimuat beberapa media yang menyatakan WA yang berusia 15 tahun merupakan korban pemerkosaan yang dijatuhi hukuman penjara dan menjadi perbincangan nasional serta internasional," kata Kasi Intel Kejari Batanghari Eko Joko Purwanto, Rabu, 1 Agustus 2018, dilansir Antara.

Eko menyatakan ada dua sudut pandang dalam penyelesaian kasus pemerkosaan sedarah yang terjadi di Desa Pulau Kecamatan Muara Tembesi pada akhir Mei 2018. Terhadap WA yang merupakan korban pemerkosaan oleh kakak kandungnya AR (17), dikenai tuntutan terkait perbuatan aborsi atas pemerkosaan yang dilakukan oleh WA.

"Sementara, kakak kandungnya AR dikenakan tuntutan terkait pemerkosaan yang dilakukannya terhadap WA," kata Eko.

Berdasarkan hasil autopsi, janin yang diaborsi WA saat itu sudah berusia enam bulan. Jaksa menilai dengan aborsi itu, WA telah menghilangkan nyawa bayi tersebut.

"Berdasarkan perbuatan aborsi yang dilakukan oleh WA, yang bersangkutan melanggar Pasal 77 A ayat 1 juncto Pasal 45A UU Nomor 35 Tahun 2014, tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUH-Pidana," kata Eko.

Terhadap pelanggaran yang dilakukan, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut WA dengan ancaman kurungan satu tahun penjara dan oleh hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian menjatuhkan hukuman kepada WA enam bulan kurungan penjara.

Sementara, kakak kandungnya, AR, dikenai pasal pemerkosaan dengan tuntutan kurungan oleh JPU selama tujuh tahun penjara, tetapi hakim pengadilan negeri menjatuhi hukuman kurungan penjara selama dua tahun.

"AR tidak dikenakan pasal aborsi karena menurut keterangannya AR tidak mengetahui tindakan aborsi yang dilakukan oleh WA, dan menurut pengakuan WA dirinya melakukan aborsi seorang diri," ucap Eko.

Sementara itu, keterlibatan AD, ibu kandung AR dan WA, dalam kasus ini masih dalam tahap penyidikan oleh pihak Kepolisian. AD diduga terlibat dalam proses aborsi yang dilakukan oleh WA.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: