Liputan6.com, Mataram - Minggu malam, 19 Agustus 2018, suara tokek mengusik ketenangan hati warga korban gempa yang berada di tenda pengungsian di Desa Bagelongge, Kecamatan Selong, Lombok Timur. Tak hanya sekali cecak besar itu mengeluarkan bunyi, tapi hingga lima kali.
Rasa takut mendera sejumlah warga. Jangan-jangan, itu adalah sebuah pertanda tak baik. Entah firasat itu benar atau hanya kebetulan, sesaat setelah tokek berhenti bersuara, gempa dengan magnitudo 6,9 memicu guncangan kuat.
Advertisement
Baca Juga
Orang-orang yang panik berlarian ke jalan dan tanah lapang, aliran listrik putus tiba-tiba. Warga menghabiskan malam dalam kondisi gelap gulita. Bahkan cahaya Bulan yang biasanya bersinar kala itu tertutup awan.
Sejak kali pertama akhir Juli lalu, warga selalu waswas sekaligus siaga terutama pada hari Minggu. Mengapa?
Sebab, empat gempa besar yang mengguncang Lombok terjadi pada hari Minggu. Warga trauma.
"Rasanya seperti menunggu tamu menakutkan di hari Minggu," kata Yayan (17), seorang warga. Sampai-sampai di Lombok beredar desas-desus, gempa lebih besar akan datang Minggu depan.
Pantauan Liputan6.com pada Senin sore, 20 Agustus 2018, warga bergegas mendirikan tenda. Segala perlengkapan disiapkan, selimut, lampu senter, air minum, dan barang-barang penting lainnya.
"Yang penting kami sudah berada di tenda, kita enggak tahu kapan gempa akan datang, tapi biasanya malam," kata warga bernama Rodiah.
Saat magrib, seluruh anggota keluarga sudah berada di tenda yang dibuat dari terpal. Doa pun dipanjatkan usai salat, agar lindu tak kembali mengguncang dan Lombok bisa segera pulih.
Trauma akibat gempa Lombok berawal pada Minggu, 29 Juli 2018. Minggu pagi itu, guncangan akibat lindu dengan magnitudo 6,4 terasa kuat. Lebih dari seribu rumah rusak, korban jiwa pun jatuh. Sebanyak 16 orang meninggal dunia dan 355 lainnya cedera.
Ternyata, itu baru gempa awalan (foreshock), sebab, gempa utama (mainshock) terjadi sepekan kemudian pada Minggu, 5 Agustus 2018 dengan magnitudo 7.
Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut, terjadi 814 kali gempa susulan di Lombok usai gempa utama magnitudo 7,0 pada 5 Agustus lalu.
Dan ternyata, lindu Minggu malam kemarin bukanlah susulan, melainkan gempa baru yang episentrumnya juga berada di Lombok Timur.
"Gempa Lombok dengan kekuatan magnitudo 7 dimutakhirkan menjadi magnitudo 6,9 merupakan aktivitas gempa baru. Berbeda dengan kekuatan gempa yang terjadi pada 5 Agustus lalu," kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati.
Gempa Minggu malam terjadi akibat adanya akitvitas sesar di dalam Bumi. Efek guncangan dapat menimbulkan kerusakan.
"Hasil analisis BMKG, sumber gempa dipicu oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan naik atau patahan naik," ujar mantan rektor UGM itu.
Ia menambahkan, gempa susulan kemungkinan masih akan terjadi. BMKG mencatat hingga Senin (20/8/2018) pukul 11.00 Wita, telah terjadi 101 kali gempa susulan usai gempa 6,9 SR Minggu 19 Agustus malam.
"Hindari bangunan yang rawan roboh dan tetap tenang serta waspada," pesan Dwikorita.
Secara terpisah, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawijaya mengatakan, pusat gempa pada 5 Agustus dengan 19 Agustus malam tidak terlalu berjauhan.
"Ibaratnya beda RT tapi masih satu RW. Pusat lokasinya beda tapi masih berdekatan," ujar Danny Hilman kepada Liputan6.com, Senin (20/8/2018).
Dia memprediksi gempa yang terjadi Minggu 19 Agustus malam adalah gempa skala besar yang terakhir. Setelah ini, peraih gelar Ph.D dari California Institute of Technology (Caltech) itu meyakini, tak akan lagi lindu dengan kekuatan besar yang mengguncang Lombok.
"Tenaganya sudah habis, tidak ada lagi pergeseran sesar di area tersebut," kata dia.
Danny meminta pemerintah fokus pada penanganan pertama korban gempa. Menurutnya, guncangan yang terjadi berulang kali di Lombok, membuat banyak warga trauma.
Sementara itu, Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, gempa yang mengguncang Lombok Minggu malam 19 Agustus mengakibatkan 10 orang meninggal dan 24 luka-luka. Selain itu, 151 unit rumah rusak dan 6 unit fasilitas ibadah rusak.
"Ini adalah data sementara karena pendataan masih berlangsung. Kendala listrik padam total menyebabkan komunikasi dan pendataan terhambat," ujar Sutopo.
Dari 10 korban meninggal, 4 orang berasal dari Kabupaten Lombok Timur, 5 orang dari Sumbawa Besar, 1 dari Sumbawa Barat.
"Tim SAR gabungan dari Basarnas, TNI, Polri, ESDM, dan relawan masih melakukan evakuasi," kata dia.
Sutopo menyatakan, saat gempa masyarakat banyak yang berada di luar rumah dan di pengungsian. Berkat itu, korban jiwa tak jatuh dalam jumlah besar.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan video menarik terkait gempa Lombok berikut ini:
Mengapa Lombok Terus Diguncang Gempa?
Empat gempa dengan magnitudo besar yang guncangannya terasa kuat di Lombok memang terjadi pada hari Minggu.
Gempa pertama dengan magnitudo 6,4 terjadi pada Minggu pagi, 29 Juli 2018. Sepekan kemudian, juga pada Ahad malam, giliran lindu magnitudo 7 terjadi.
Dua gempa dengan magnitudo besar, yakni 6,5 dan 6,4 bahkan terjadi dalam satu hari, pada Minggu 19 Agustus 2018. Mengapa lindu terus terjadi di Lombok?
Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi menjelaskan, rentetan gempa yang terjadi di Lombok karena sumber gempa bumi berasosiasi dengan zona pensesaran naik (Flores back- arc Thrust) yang berarah relatif barat-timur.
Kemudian, pusat gempa bumi berada di darat yang sebagian besar daerah tersebut tersusun oleh batuan sedimen dan batuan metamorf berumur Pra-Tersier hingga Tersier (batuan gunung api berumur Tersier hingga Kuarter, dan aluvium berumur Resen).
Pada daerah yang tersusun oleh batuan yang telah tersesarkan dan terlapukkan serta daerah aluvium, sangat rentan terhadap guncangan gempa bumi karena bersifat urai, lepas, dan belum terkonsolidasi, sehingga akan memperkuat efek getaran gempa.
Menurut Kepala PVMBG Kasbani, pada Minggu 19 Agustus 2018 telah terjadi enam kali gempa bumi. Pertama pukul 11.06 WIB dengan magnitudo 5,4 di kedalaman 10 kilometer berjarak 25 kilometer arah timur laut Lombok Timur, NTB.
Gempa bumi kedua, kata Kasbani, terjadi empat menit kemudian, yaitu pada pukul 11.10 WIB dengan magnitudo yang lebih besar, yaitu magnitudo 6,5 di kedalaman 10 km berjarak 32 km arah timur laut Lombok Timur.
Kemudian, gempa bumi ketiga terjadi pada pukul 21.56 WIB dengan lokasi pusat pada 30 kilometer timur laut Lombok Timur, kedalaman 10 kilometer dengan magnitudo 7,0 (yang mutakhirnya menjadi 6,9).
Setelah itu, pukul 22.16 WIB di 18 kilometer barat laut Lombok Timur kedalaman 10 kilometer dengan magnitudo 5,6.
Kasbani melanjutkan untuk gempa kelima terjadi pukul 22.28 WIB pada lokasi 23 kilometer barat laut Lombok Timur kedalaman 10 kilometer dengan magnitudo 5,8, disusul pukul 23.25 WIB pada kedalaman 10 kilometer dengan magnitudo 5,0.
Kasbani mengatakan, gempa bumi yang tidak berpotensi tsunami tersebut, terekam di Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) PVMBG Gunung Rinjani skala IV MMI (sangat keras) dan tiga PGA, yaitu Gunung Tambora, Gunung Agung serta Gunung Sangeang Api scala II MMI.
Kemudian, Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) menerbitkan informasi terkini soal gempa susulan 15 kilometer timur laut Lombok Tengah - NTB berkekuatan magnitudo 5,2 pada 20 Augustus 2018 pukul 4.50 WIB di kedalaman 10 kilometer.
Sementara itu, data dari otoritas vulkanologi Amerika Serikat (USGS), ujar Kasbani, memperlihatkan peta intensitas yang meliputi radius ke barat hingga ke Pulau Jawa bagian timur, sedangkan ke timur hingga ke Nusa Tenggara Timur.
Gempa bumi tersebut telah menimbulkan bangunan roboh dan kebakaran di wilayah Pulau Bugin, Kecamatan Alas, Sumbawa Besar akibat arus pendek listrik.
"Masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan mengikuti arahan serta informasi dari pemerintah daerah dan BPBD setempat. Jangan terpancing isu yang tidak bertanggung jawab mengenai gempa bumi dan tsunami," ujar Kasbani, Senin (20/8/2018).
Kasbani menjelaskan, gempa bumi susulan kemungkinan lebih kecil dari gempa bumi utama, tapi masyarakat diimbau tetap waspada.
Advertisement
Mengapa Bencana Nasional Tak Diterapkan di Lombok?
Rentetan gempa yang terjadi belum membuat pemerintah menaikkan status bencana nasional di Lombok. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid mengaku heran.
"Aneh sekali sampai hari ini bahkan Pak Jokowi belum mengisyaratkan ke sana, baru akan membuat satu perpres untuk bantuan ke Lombok," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/8/2018).
Menurut Hidayat, gempa Lombok sudah memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk penetapan bencana nasional. Terlebih, kondisi masyarakat Lombok terancam dengan seringnya gempa terjadi.
"Kalau melihat dari eskalasi korban, banyaknya korban, luasnya daerah dan kemudian kondisi masyarakat di sana, itu jelas memenuhi kriteria untuk dijadikan sebagai bencana nasional," ungkapnya.
Ia mengatakan, kondisi psikologi masyarakat Lombok juga terganggu gempa. "Banyak dari mereka mengeluhkan tidak lagi bisa membedakan apakah ini halusinasi atau nyata. Begitu ada benda jatuh saja mereka sudah ketakutan. Itu kondisi psikologis yang amat mengerikan," kata politikus PKS itu.
Dalam Sidang Tahunan DPR beberapa waktu lalu, Ketua DPR Bambang Soesatyo juga menyatakan mendukung pemerintah menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional.
"DPR mendukung sepenuhnya jika pemerintah menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional," ujarnya.
Sementara, Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham mengakui hingga saat ini pemerintah belum menaikkan status bencana di Lombok menjadi bencana nasional. Namun, dia memastikan hal itu tidak menyurutkan usaha pemerintah dalam penanganan korban gempa.
"Meski daerah, pusat memperkuat dan mendampingi dan memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan. Ini tetap satu kesatuan pusat dan daerah," ujar Idrus Marham di Jakarta (20/8/2018).
Idrus mengakui bantuan belum menjangkau seluruh titik. Namun, dia menyebut, seluruh kementerian, lembaga, dan elemen masyarakat terus berkoordinasi. Seperti halnya koordinasi dari Kemensos dengan Bulog untuk memastikan kebutuhan beras atau lauk pauk di posko pengungsian terpenuhi.
"Sebanyak 200-300 ton beras dikeluarkan. Provinsi 100 ton, 80 ton Lombok Utara. Jadi Bulog sudah memastikan itu enggak ada masalah," ucapnya.
Begitu juga mengenai kesehatan dan pendidikan. Idrus memastikan bahwa Kementerian Kesehatan, Kementerian PUPR, hingga TNI ikut terlibat menyalurkan bantuan.
Penjelasan BNPB
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, penetapan status bencana nasional dan daerah didasarkan pada lima variabel utama, yakni, jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Status bencana nasional diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 7 Ayat 2.
Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerahsebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuatindikator yang meliputi: a. jumlah korban; b. kerugian harta benda; c. kerusakan prasarana dan sarana; d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Namun indikator itu saja tidak cukup.
Menurut dia, ada indikator yang sulit diukur, yaitu kondisi keberadaan dan keberfungsian pemerintah daerah, apakah kolaps atau tidak. Apakah kepala daerah beserta jajaran di bawahnya masih ada dan dapat menjalankan pemerintahan atau tidak.
"Tsunami Aceh 2004 ditetapkan sebagai bencana nasional karena pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota termasuk unsur pusat di Aceh seperti Kodam dan Polda collaps atau tak berdaya," ujar Sutopo, Senin (20/8/2018).
Dengan adanya status bencana nasional, maka pintu bantuan dari dunia internasional jadi terbuka lebar. "Konsekuensinya, seringkali timbul permasalahan baru terkait bantuan internasional ini karena menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan," ujarnya.
Sutopo menyatakan, banyak pihak yang tidak paham mengenai manajemen bencana secara utuh, termasuk penetapan status dan tingkatan bencana.
"Banyak pihak beranggapan dengan status bencana nasional akan ada kemudahan akses terhadap sumber daya nasional. Tanpa ada status itu pun saat ini, sudah mengerahkan sumber daya nasional," ujarnya.
Itu sebabnya, kata Sutopo, status bencana Lombok tak perlu jadi polemik. Yang penting adalah penanganan dapat dilakukan secara cepat.
"Pemda tetap berdiri dan dapat menjalankan tugas melayani masyarakat. Pemerintah pusat pasti membantu. Skala penanganan sudah skala nasional. Potensi nasional masih mampu untuk menangani bencana gempa Lombok hingga pascabencana nantinya," pungkasnya.
Jokowi Terbitkan Inpres
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyiapkan instruksi presiden (inpres) penanganan bencana gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Ini baru disiapkan inpres," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (20/8/2018).
Selain menyiapkan inpres, kata Jokowi, yang lebih penting adalah penanganan langsung para korban gempa. Pemerintah pusat, kata dia, akan memberikan dukungan penuh kepada pemerintah provinsi dan pemkab di NTB.
"Tentu saya yang paling penting adalah kepada masyarakat. Intinya ke sana," tandas Jokowi.
Jokowi juga berencana kembali meninjau penanganan korban gempa di Lombok. "Saya mau atur waktu lagi untuk pergi ke Lombok dalam waktu dekat ini," kata Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengaku mengikuti terus perkembangan musibah gempa yang terjadi di Lombok, NTB. "Setiap menit saya ikuti terus. Tadi malam saya dapat informasi dari sana," ucap Jokowi.