Liputan6.com, Jakarta: Pada awalnya, pengadaan dana Bantuan Presiden sangat positif. Karena untuk membantu kegiatan kerohanian dan sosial kemasyarakatan. Namun, karena ada penilaian yang subyektif dari Presiden, dana Banpres bisa digunakan untuk apa saja. "Karena dana Banpres memang tak terlepas dari kepentingan politik Presiden," kata Bondan Gunawan, mantan Sekretaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid, ketika berdialog dengan reporter Arief Suditomo dalam dialog Liputan 6 SCTV, Rabu (19/6) petang.
Menurut Bondan, penyaluran dana Banpres memang menjadi hak prerogatif Presiden. Ini sudah terjadi sejak pos dana Banpres diadakan, sekitar 1969-1970. Apalagi, semua penerimaan dan pengeluaran dana Banpres berada di tangan satu orang, yakni Presiden. Bondan mengungkapkan, pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto dan B.J. Habibie-lah, pengeluaran dana Banpres tak terkontrol. "Dana itu dikeluarkan untuk hal-hal yang tak diatur dalam ketentuan. Untuk mengobati pejabat sakit, misalnya," ujar pria kelahiran Ngabehan, Yogyakarta, 24 April 1948 ini. Padahal, sesuai ketentuan, penggunaan dana Banpres hanya untuk kegiatan rohani, sosial, dan sebagainya.
Kendati demikian, rupanya Gus Dur juga pernah ikut membantu biaya pengobatan Wimar Witoelar (juru bicara presiden). Menurut Bondan, Gus Dur memang membantu biaya pengobatan Wimar yang saat itu dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Namun, Gus Dur hanya mengikuti kebiasan presiden sebelumnya. Tapi, setelah itu Abdurrahman Wahid langsung menghentikan praktik tersebut. Alasannya, sesuai amanat reformasi, dana Banpres harus masuk ke pos Anggaran Pendapatan dan belanja Negara, tidak boleh dikeluarkan secara sembarangan.
Setelah diputuskan dana Banpres harus masuk APBN sebelum 23 Mei silam, Bondan langsung mengundang Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Tujuannya, agar kedua lembaga itu mengaudit dan mengecek seluruh penerimaan serta pengeluaran dana Banpres. Sebab, saat baru pertama kali menjabat sebagai Sesneg, Bondan melihat rekening Banpres hanya disimpan atas nama pribadi. Padahal, dana yang dilaporkan cukup besar. Dalam bentuk tabungan saja ada Rp 117 miliar. Sedangkan yang disimpan dalam bentuk deposito sebesar Rp 271 miliar. "Saat saya menjabat, semua dana itu diperiksa BPK," kata Bondan yang mengundurkan diri sebagai Sesneg, 29 Mei 2000. Dia mengundurkan diri setelah Kasus Bulog sebesar Rp 35 miliar mencuat.
Mantan Ketua Kelompok Kerja Forum Demokrasi ini juga mengungkapkan, jika sekarang banyak pihak mempertanyakan kebijakan Presiden Megawati Sukarnoputri menggunakan dana Banpres, itu sebagai sesuatu yang sah. Para anggota DPR juga boleh-boleh saja menggunakan hak interpelasi. Sebab, sesuai ketentuan, dana Banpres memang harus sudah masuk ke APBN. Tapi, secara yuridis mereka tak bisa menyalahkan Presiden. Karena, hingga saat ini, ketentuan yang mengatur penggunaan dana Banpres belum juga dicabut. "Anggap saja ini penyelewengan yang diatur dalam sebuah ketentuan," ujar adik kandung Brigadir Jenderal Katamso Dharmosaputro, Komandan Korem 072/Pamungkas, yang diculik dan dihabisi PKI di Yogyakarta.
Sementara itu, mantan Sesneg di era Presiden Habibie, Ali Rahman, dan bekas Sekretaris Presiden Abdul Mujib Manan mengatakan, seluruh penggunaan dana Banpres sudah sesuai prosedur [baca: Penyaluran Dana Banpres Dinilai Sesuai Prosedur]. Saat diperiksa Tim Kecil Komisi I DPR, mereka mengatakan, semua pengolaan dana Banpres berada di tangan Presiden. Keduanya tidak pernah mengeluarkan uang Banpres, tapi hanya melaporkannya secara administratif.(ULF)
Menurut Bondan, penyaluran dana Banpres memang menjadi hak prerogatif Presiden. Ini sudah terjadi sejak pos dana Banpres diadakan, sekitar 1969-1970. Apalagi, semua penerimaan dan pengeluaran dana Banpres berada di tangan satu orang, yakni Presiden. Bondan mengungkapkan, pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto dan B.J. Habibie-lah, pengeluaran dana Banpres tak terkontrol. "Dana itu dikeluarkan untuk hal-hal yang tak diatur dalam ketentuan. Untuk mengobati pejabat sakit, misalnya," ujar pria kelahiran Ngabehan, Yogyakarta, 24 April 1948 ini. Padahal, sesuai ketentuan, penggunaan dana Banpres hanya untuk kegiatan rohani, sosial, dan sebagainya.
Kendati demikian, rupanya Gus Dur juga pernah ikut membantu biaya pengobatan Wimar Witoelar (juru bicara presiden). Menurut Bondan, Gus Dur memang membantu biaya pengobatan Wimar yang saat itu dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Namun, Gus Dur hanya mengikuti kebiasan presiden sebelumnya. Tapi, setelah itu Abdurrahman Wahid langsung menghentikan praktik tersebut. Alasannya, sesuai amanat reformasi, dana Banpres harus masuk ke pos Anggaran Pendapatan dan belanja Negara, tidak boleh dikeluarkan secara sembarangan.
Setelah diputuskan dana Banpres harus masuk APBN sebelum 23 Mei silam, Bondan langsung mengundang Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Tujuannya, agar kedua lembaga itu mengaudit dan mengecek seluruh penerimaan serta pengeluaran dana Banpres. Sebab, saat baru pertama kali menjabat sebagai Sesneg, Bondan melihat rekening Banpres hanya disimpan atas nama pribadi. Padahal, dana yang dilaporkan cukup besar. Dalam bentuk tabungan saja ada Rp 117 miliar. Sedangkan yang disimpan dalam bentuk deposito sebesar Rp 271 miliar. "Saat saya menjabat, semua dana itu diperiksa BPK," kata Bondan yang mengundurkan diri sebagai Sesneg, 29 Mei 2000. Dia mengundurkan diri setelah Kasus Bulog sebesar Rp 35 miliar mencuat.
Mantan Ketua Kelompok Kerja Forum Demokrasi ini juga mengungkapkan, jika sekarang banyak pihak mempertanyakan kebijakan Presiden Megawati Sukarnoputri menggunakan dana Banpres, itu sebagai sesuatu yang sah. Para anggota DPR juga boleh-boleh saja menggunakan hak interpelasi. Sebab, sesuai ketentuan, dana Banpres memang harus sudah masuk ke APBN. Tapi, secara yuridis mereka tak bisa menyalahkan Presiden. Karena, hingga saat ini, ketentuan yang mengatur penggunaan dana Banpres belum juga dicabut. "Anggap saja ini penyelewengan yang diatur dalam sebuah ketentuan," ujar adik kandung Brigadir Jenderal Katamso Dharmosaputro, Komandan Korem 072/Pamungkas, yang diculik dan dihabisi PKI di Yogyakarta.
Sementara itu, mantan Sesneg di era Presiden Habibie, Ali Rahman, dan bekas Sekretaris Presiden Abdul Mujib Manan mengatakan, seluruh penggunaan dana Banpres sudah sesuai prosedur [baca: Penyaluran Dana Banpres Dinilai Sesuai Prosedur]. Saat diperiksa Tim Kecil Komisi I DPR, mereka mengatakan, semua pengolaan dana Banpres berada di tangan Presiden. Keduanya tidak pernah mengeluarkan uang Banpres, tapi hanya melaporkannya secara administratif.(ULF)