Liputan6.com, Jakarta Perkembangan teknologi digital bagai dua kutub magnet yang berlawanan. Di satu sisi, teknologi digital memberikan banyak manfaat positif bagi masyarakat. Melalui digital, seseorang bisa bekerja, mencari informasi, mengurus keuangan, dan masih banyak hal lainnya.
Namun, di sisi lain teknologi digital juga dapat menimbulkan efek negatif. Salah satunya, penyebaran hoax. Sejak berkembangnya teknologi digital dan bermunculan media sosial, masalah hoax menjadi banyak bermunculan dan seakan tidak pernah berhenti.
Terlebih lagi, pada tahun-tahun politik seperti pilkada dan Pemilu 2019. Hoax kian banyak beredar dan membuat tensi politik menjadi tinggi. Jika tidak pintar memilah, masyarakat awam dan melek teknologi pun bisa termakan hoax.
Advertisement
Cepatnya sebaran kabar hoax karena menembus ruang-ruang yang sulit terfilter. Tak hanya di media sosial, kabar itu juga tersebar melalui aplikasi chat. Masalahnya, masyarakat sering kali tidak mengecek kebenaran informasi yang diperoleh. Akibatnya, sering terjadi konflik sosial antara satu pihak dengan pihak lain.
Guna mengatasi hal tersebut, Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Dirjen PUM), membuat terobosan dalam penanganan konflik sosial. Dirjen PUM membuat sebuah aplikasi bernama Sistem Informasi Penanganan Konflik Sosial (SiPKS).
Aplikasi telah terkoneksi dengan 34 provinsi di Indonesia. Dengan sistem ini, koordinasi penanganan bisa dilakukan cepat dan tepat.
SiPKS digunakan secara internal dan tim terpadu. Sistem kerjanya telah diatur dalam Permendagri 42 Tahun 2015 tentang koordinasi penanganan konflik sosial. Fungsi aplikasi SiPKS adalah sebagai alat koordinasi, penyampaian laporan, dan evaluasi terkait penanganan konflik di daerah.
Penggunaan aplikasi SiPKS juga sangat efektif sebagai alat koordinasi terhadap pelaksanaan Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD). Secara berkala, Kemendagri melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana aksi penanganan konflik sosial di daerah yang secara aktif melakukan penanganan konflik sosial di daerahnya.
Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial telah terbentuk di 34 Provinsi dan 419 Kabupaten/Kota. Jadi masih ada 95 kabupaten/kota yang belum membentuk Tim Terpadu PKS sehingga saat ini pemerintah terus mendorong pembentukan tim terpadu PKS tersebut.
Pilkada serentak
Aplikasi SiPKS juga bisa digunakan memonitor pelaksanaan daerah-daerah yang menyelenggarakan pilkada. Jika terjadi konflik sosial, aplikasi SiPKS bisa memantau dengan cepat, sehingga masalah dapat segera ditangani.
Lebih lanjut, ada langkah menarik dari Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri dalam menjaga stabilitas politik dalam negeri. Ditjen Polpum Kemendagri terus meningkatkan partisipasi masyarakat melalui penguatan dan pemberdayaan forum-forum dialog kewaspadaan nasional. Contohnya, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) dan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK).
Forum-forum itu sangat efektif dalam mengantisipasi gejolak yang terjadi di dalam masyarakat karena beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan adat. Peran mereka sangat penting dalam menjaga kondusivitas pelaksanaan pemilu.
Selain itu, penguatan fungsi koordinasi antar lembaga pemerintahan juga penting. Hal itu untuk mengantisipasi berbagai perkembangan dalam semua tahapan, terutama konsolidasi keamanan dan ketertiban. Ini menjadi perhatian khusus dalam menciptakan stabilitas politik yang kondusif dalam pelaksanaan pemilu. Fungsi koordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Polri, TNI, dan BIN juga diperlukan dalam upaya sinergitas jaminan kondusifitas pelaksanaan pemilu.
Â
Â
(*)