Sukses

Usai Kelaparan, Perlukah Suku Terasing Mause Ane Direlokasi?

Empat orang suku terasing Mausu Ane meninggal karena kelaparan di Pulau Seram.

Liputan6.com, Jakarta - Suku terasing Mausu Ane yang berdiam di Pulau Seram, Maluku Tengah, sempat mengalami kelaparan setelah hama babi dan tikus menyerang tanaman mereka pertengahan tahun ini, menyusul kebakaran hutan pada 2017. Empat orang meninggal karena krisis pangan tersebut.

Oleh karena itu, Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal menilai warga Suku Mause Ane perlu direlokasi agar kehidupan mereka bisa tertata lebih baik. Namun masalahnya, merelokasi mereka tidak mudah.

"Relokasi bagi 45 kepala keluarga atau 170 jiwa warga di negeri Maneo Rendah, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi dinilai strategis bagi kehidupan masa depan mereka, tetapi dilaksanakan bila mereka telah memahami tujuannya melalui sosialisasi yang sedang diberikan," kata Abua seperti dilansir dari Antara, Sabtu (1/9/2018).

Menurut dia, kelaparan di Pulau Seram yang memakan korban jiwa Juli lalu itu, menjadi dasar kuat untuk mempertimbangkan opsi relokasi.

"Pemkab Maluku Tengah melalui dinas sosial saat ini sedang melaksanakan pendampingan untuk mengubah pola pikir warga suku terasing yang hidupnya berpindah-pindah," ujar Abua.

Pendampingan dilakukan untuk memfasilitasi pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak agar tidak mudah terserang berbagai penyakit.

"Relokasi agar warga Suku Mause Ane bisa menikmati program pembangunan, pemerintahan, dan pelayanan sosial sebagaimana anak bangsa Indonesia lainnya," kata Abua.

Dia juga sadar dengan adanya penolakan relokasi tersebut, meski langkah pemerintah itu berguna untuk mencegah kelaparan di Pulau Seram. Namun, dia menilai penolakan wajar terjadi pada setiap program pemerintah.

"Jangan berpikiran negatif terhadap program relokasi karena realisasinya tidak menghilangkan adat istiadat atau pun budaya mereka," ujar Abua.

 

2 dari 2 halaman

Belum Tercatat sebagai WNI

Tidak banyak yang mengenal warga suku terasing yang mendiami pedalaman hutan Pulau Seram, Maluku. Nama salah satu suku yang mencuat adalah Suku Mausuane yang kini terserang bencana kelaparan.

Selain Mausuane, terdapat pula Suku Mausu, Suku Fond, Suku Mainkem, Suku Koa-koa, dan Suku Kamu-kamu yang sampai sekarang masih bertahan hidup di pedalaman hutan.

Syafsudin Syafsuha, salah satu pegiat lingkungan di Maluku Tengah yang pernah memotret kehidupan suku asing di pedalaman hutan Pulau Seram menuturkan, suku Mausuane dan beberapa suku lainnya telah mengenal Tuhan. Mereka menyebutnya sebagai Yalahatala.

"Pada medio Maret 2018, sebanyak enam orang perwakilan enam suku, masing-masing Koa-koa, Mainkem, Yamalise, Fond, Kamu-kamu, dan Bati mendatangi Koramil dan Polsek Wahai. Mereka didampingi Bikhu Misionaris Banthe Chittaghutto MT dan seorang volunteer, Hellen Lie meminta didata sebagai penduduk Kabupaten Maluku Tengah," tutur Syafsudin, Rabu, 25 Juli 2018.

Mereka hidup berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Mereka juga jauh dari modernitas, tidak bisa berbahasa Indonesia, bahkan sampai sekarang belum terdata dalam catatan negara sebagai warga Indonesia.

"Belasan suku dan ratusan kepala keluarga itu hingga kini belum terdata dalam administrasi kependudukan di Maluku Tengah, Seram Bagian Timur maupun Provinsi Maluku," kata Syafsudin.

Suku-suku tersebut belum tersentuh pembangunan. Mereka tak memiliki akses kepada fasilitas kesehatan dan pendidikan. Rumah yang ditempati mereka tak berdinding, hanya beratap rumbia dan berlantai tanah.

Suku Mausuane dan beberapa suku lainnya memiliki kebiasaan tinggal berpindah-pindah bukan karena hasil kebun mereka habis. Ada tradisi yang mengharuskan mereka meninggalkan rumah yang ditinggali anggota keluarga yang meninggal dunia.

Sebelum pindah, rumah yang ditinggalkan akan dibakar. Lalu, anggota komunitas lainnya mencari tempat tinggal lain yang jauh dari tempat semula.