Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Harjono meluruskan polemik antara KPU dan Bawaslu soal bakal calon legislatif eks napi korupsi. Hasilnya, DKPP menelurkan dua opsi.
Pertama mendorong MA (Mahkamah Agung) untuk segera memutus judicial review (JR), dan kedua kesadaran parpol untuk tidak menyodorkan kader eks koruptor ke Pileg 2019.
Baca Juga
"Dari putusan MA akan tahu, soal perbedaan status mantan koruptor. Di samping usaha jalur hukum, maka akan dilakukan pendekatan juga pada Parpol, karena parpol juga sudah menulis pakta integritas, bersepakat untuk tidak mencalonkan mantan napi koruptor," kata Harjono usai melakukan pertemuan di kantor DKPP, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu 5 September 2019 malam.
Advertisement
Harjono megatakan, pihak DKPP telah memohon kepada MA untuk memutus cepat terkait hal ini. Merujuk pada JR Pemilu, diatur Pasalnya 76, memerintahkan, kalau Undang-Undang itu bunyinya mengikat ada pada MA.
"Jadi untuk itu, kami berkomunikasi dengan MA, ketika kami menghadap ke sana dan memohon secepatnya diputuskan. Karena, Bawaslu dan KPU seluruhnya tergantung pada putusan MA," jelas Harjono.
Â
Bertolak Belakang
Aturan melarang eks napi korupsi untuk ikut dalam kontestasi calon legislatif 2019, telah dituangkan dalam PKPU 20 Tahun 2018.
Namun, karena PKPU tersebut bertolak dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maka masih ada Parpol yang masih mendaftarkan kader eks koruptor, seperti Mohammad Taufik dari Partai Gerindra.
Taufik yang tidak diloloskan dalam persyaratan PKPU, lantas melayangkan sengketa ke pihak Bawaslu. Bawaslu yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, memenangkan sengketa Taufik.
Bawaslu beralasan, aturan PKPU yang melarang eks napi korupsi Nyaleg tidak sejalan dengan beleid Pemilu. Karena diketahui, dalam beleid tersebut, eks napi korupsi tidak tercantum sebagai pihak yang dilarang mendaftar sebagai Caleg.
Advertisement