Liputan6.com, Jakarta - Kemarau menyebabkan pasokan air berkurang di sejumlah wilayah. Kekeringan pun melanda 4.053 desa yang tersebar di 888 kecamatan dari 111 kabupaten/kota di 11 provinsi.
"Kekeringan telah menyebabkan 4,87 juta jiwa terdampak. Masyarakat mengalami kekurangan air bersih, sehingga harus mencari air ke sumber-sumber air di tempat lain," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)Â Sutopo Purwo Nugroho dalam pesan singkatnya, Jakarta, Jumat (7/9/2018).
Baca Juga
Menurut dia, beberapa daerah yang mengalami kekeringan cukup luas adalah Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, NTT, dan Lampung.
Advertisement
Sementara, pendataan kekeringan di wilayah Bali masih dilakukan. Namun, berdasarkan laporan BPBD, kekeringan tidak terlalu berdampak luas di Bali pada tahun ini.
"Di Provinsi Jawa Barat kekeringan terdapat di 22 kabupaten/kota yang meliputi 165 kecamatan, 761 desa, dan berdampak pada 1,13 juta penduduk mengalami kekerangan air bersih. Di Jawa Tengah, sebanyak 854 ribu jiwa penduduk terdampak kekeringan yang terdapat di 28 kabupaten/kota, 208 kecamatan dan 1.416 desa," tutur Sutopo.
Selain itu, di Nusa Tenggara Barat, sebanyak 1,23 juta jiwa penduduk terdampak kekeringan. Mereka tersebar di 9 kabupaten/kota, 74 kecamatan, dan 346 desa.
Wilayah NTB, kata dia, sudah mengalami kekeringan dan krisis air sebelum terjadi bencana gempa bumi. Namun, ada kalanya bencana gempa bumi tersebut menyebabkan dampak kekeringan meningkat.
"Jaringan pipa air bersih rusak, sehingga menyebabkan pasokan air bersih berkurang. Masyarakat yang berada di pengungsian jauh dari sumber air yang sebelum terjadi gempa dipenuhi kebutuhan airnya dari PDAM, air sumur, jaringan distribusi air bersih dan lainnya. Saat ini di pengungsian mengandalkan pada bantuan distribusi air dari mobil tangki air, bak penampungan air dan sumur bor yang dibangun pemerintah, dan lainnya," kata Sutopo.
Daerah-daerah ini merupakan wilayah yang hampir setiap tahun dilanda kekeringan. Dia mengatakan, sesungguhnya Jawa dan Nusa Tenggara telah defisit air sejak 1995.
"Artinya ketersediaan air yang ada, baik air permukaan dan air tanah, sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan penduduk. Apalagi jumlah penduduk terus meningkat, sementara ketersediaan air relatif tetap," ucap Sutopo.
Â
Â
Hasil Studi
Studi neraca air yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum pada 1995 menunjukkan surplus air hanya terjadi pada musim hujan di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Sedangkan pada musim kemarau, daerah tersebut dilanda kekurangan selama 7 bulan.
Hasil penelitian lain mengenai neraca air yang dilakukan pada 2003, juga menunjukkan hasil yang sama. Dari total kebutuhan air di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,4 miliar meter kubik pada musim kemarau, hanya dapat dipenuhi sekitar 25,3 miliar kubik atau hanya sekitar 66 persen.
Begitu juga studi yang dilakukan Bappenas pada 2007 juga menunjukkan hasil bahwa ketersediaan air yang ada sudah tidak mencukupi seluruh kebutuhan pada musim kemarau di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. "Sekitar 77 persen kabupaten/kota telah memiliki satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun. Jadi tidak aneh jika selama musim kemarau terjadi kekeringan, khusus di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara," Sutopo menjelaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement