Sukses

Kasus SKL BLBI, Syafruddin Temenggung Anggap Jaksa Potong Info Krusial

Penerbitan SKL BLBI untuk BDNI diklaimnya tidak melanggar kebijakan atau peraturan apapun.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung membacakan nota pembelaan pribadi atas dakwaan jaksa penuntut umum pada KPK. Jaksa menyebutnya melakukan korupsi sehingga memperkaya orang lain atau korporasi atas penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) terhadap BDNI.

Pada pembelaannya, Syafruddin menilai jaksa tidak menimbang fakta persidangan.

Salah satunya soal ranah pengadilan yang berwenang menangani kasus penerbitan SKL BLBI itu. Dia bersikukuh, kasusnya berada di ranah perdata sehingga peradilannya tidak ditangani oleh pengadilan Tipikor.

"Perjanjian MSAA (master settlement of agreement acquisition) BDNI adalah perjanjian perdata yang dibuat oleh pemerintah dengan pemegang pengendali saham BDNI, Sjamsul Nursalim untuk menyelesaikan BLBI oleh karena itu sangat janggal masalah perdata disidang di Pengadilan Tipikor," ujar Syafruddin di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (13/9/2018).

Dari fakta persidangan, dia juga mengatakan kewajiban utang BDNI dianggap telah selesai pada 1999. Sedangkan, dia baru menjabat sebagai Kepala BPPN pada 2002. Oleh sebab itu, dia mengklaim, dakwaan hingga tuntutan jaksa tidak mampu membuktikan tindakan merugikan keuangan negara atas penerbitan SKL pada 2004.

Penerbitan SKL BLBI untuk BDNI diklaimnya tidak melanggar kebijakan atau peraturan apapun. Bahkan, imbuh Syafruddin, sudah ada audit terlebih dahulu sebelum SKL diterbitkan. Yang salah satu isi laporan audit menyatakan tidak ada misrepresentasi oleh Sjamsul Nursalim sebagai pengendali saham BDNI.

Dia bahkan mengatakan jaksa telah memotong informasi krusial tentang misrepresentasi PT Darmaja Citra Dipasena dan PT Wahyu Mandira, dua perusahaan yang dijaminkan Sjamsul guna melaksanakan kewajibannya melunasi BLBI.

"Keputusan KKSK 7 Oktober 2002 berdasarkan evaluasi tidak menemukan adanya misrepresentasi utang petambak karenanya adalah KPK dengan sengaja memotong bagian penting informasi kebijakan hanya melihat misrepresentasi 1999 dan didakwakan 2018," ujar Syafruddin.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Tuntutan Jaksa

Syafruddin dituntut 15 tahun penjara denda Rp 1 miliar atau subsider 6 bulan kurungan. Jaksa menilai Syafruddin dan mantan Menko Perekonomian Dorojatun Kuntjoro Jakti telah mengetahui adanya misrepresentasi utang PT DCD dan WM, namun tak menyoal hal itu saat dimasukan ke dalam perjanjian msaa.

Atas perbuatannya, ia dituntut telah melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com