Liputan6.com, Jakarta - Pengacara Nur Mahmudi Ismail, Lim Abdul Halim, mengatakan kliennya terjerat kasus korupsi pelebaran Jalan Nangka, Tapos, Depok karena Dinas PUPR salah mengartikan Surat Keputusan Penetapan Lahan (SKPL). Akibatnya, ada tumpang tindih sewaktu pembebasan lahan.
SPKL itu sendiri diterbitkan oleh Nur Mahmudi Ismail, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Depok.
Lim mengatakan, Nur Mahmudi menerbitkan SKPL sekitar tahun 2015. Isinya tentang beberapa lahan yang akan dibebaskan untuk proyek pelebaran jalan. Itu sesuai juga dengan usulan Dinas PUPR.
Advertisement
Satu di antaranya menyingung pembebasan lahan untuk Simpangan Jalan Raya Bogor, yakni Jalan Nangka, Kecamatan Tapos.
"SKPL bukan cuma Jalan Nangka. Ada beberapa titik seperti di Tole Iskandar juga," kata Lim saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (14/9/2019).
Sebelum itu, Dinas Perhubungan telah mengeluarkan Amdal Lalin. Di situ tertuang areal yang menjadi kewajiban pengembang. Disebutkan, salah satunya Jalan Nangka. Ada empat titik di jalan tersebut yang mesti ditanggung pengembang.
Tapi, kata Lim, Dinas PUPR malah menerjemahkan SKPL tanpa berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan. Sehingga timbulah persepsi yang mengakibatkan kerugian negara.
"Memang terjadi salah menterjemahkan SKPL yang dikeluarkan oleh Pak Nur Mahmudi. Kalau dalam perintah Pak Nur yang tertulis agar Dinas PUPR berkoordinasi dengan Dishub untuk berbelanja atau pembebasan. Ini yang tidak terjadi," jelas dia.
Â
Dicecar 64 Pertanyaan
Dia menambahkan, "nah ini yang menjadi masalah. Jadi PUPR yang mengajukan SKPL kemudian dia melakukan belanja sesuai dengan anggaran yang ada pada area, yang mestinya tidak dibelanjakan di situ.
Sebelumnya Nur Mahmudi Ismail telah menjalani pemeriksaan perdana dalam statusnya sebagai tersangka di Polresta Depok, Kamis kemarin, 13 September 2018. Selama kurang lebih 15 jam, eks wali kota Depok ini dicecer 64 pertanyaan.
Penyidik Polresta Depok menetapkan Nur Mahmudi sebagai tersangka atas dugaan korupsi proyek pelebaran Jalan Nangka pada 20 Agustus 2018 lalu. Status barunya ini diumumkan sembilan hari setelah penetapan yakni Selasa malam, 28 Agustus 2018.
Menurut Kapolres Depok Komisaris Besar Didik Sughiarto, penyidik menemukan kejanggalan pada saat proses pengadaan tanah. Ditemukan pelanggaran yang merugikan negara hingga Rp 10,7 miliar.
Dalam surat izin yang dikeluarkan, Nur Mahmudi membebankan pengadaan tanah kepada pengembang. Tapi faktanya, pengadaan tanah itu dibayar menggunakan APBD 2015.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement