Sukses

Pengacara Syafruddin Nilai Jaksa KPK Tak Memahami Proses Pemberian SKL BLBI

Yani bahkan menuding JPU telah membuat penyesatan dengan menempatkan posisi Syafruddin lebih tinggi.

Liputan6.com, Jakarta - Tim penasihat hukum terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) menilai jaksa penuntut umum KPK tidak memahami proses pemberian SKL BLBI kepada pemilik Bank BDNI. Akibatnya, dakwaan dan tuntutan jaksa terhadap Syafruddin keliru.

Ahmad Yani, anggota tim penasehat hukum Syafruddin, mengungkapkan tidak ada satu pun fakta hukum dalam persidangan yang bisa membuktikan pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim (SN) sebagai pemegang saham pengendali BDNImelawan hukum.

Menurut Yani, JPU juga mencampuradukkan antara kedudukan Syafruddin sebagai Sekretaris KKSK dengan Ketua BPPN. Syafruddin baru diangkat sebagai Ketua BPPNsejak 22 April 2002. Sementara Keputusan KKSK atau kebijakan Pemerintah terkait PKPS maupun utang petambak sudah terjadi sebelum dia menjabat Ketua BPPN.

Yani bahkan menuding JPU telah membuat penyesatan dengan menempatkan posisi Syafruddin lebih tinggi. Padahal secara hukum dan kelembagaan, KKSK memiliki kewenangan lebih tinggi dibandingkan BPPN.

“Itu artinya SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) tidak bisa dituntut telah melanggar hukum formil karena dia hanya melaksanakan perintah KKSK," ujar Yani dalam keterangannya, Senin (17/9/2018).

Anggota Tim Penasihat Hukum lainnya, Jamin Ginting, mengungkapkan perkara Syafruddin tentang dugaan misreprentasi oleh Sjamsul Nursalim (SN) atas perjanjian perikatan perdata berupa Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) yang dibuat dan ditandatangani Pemerintah cq BPPNdengan SN.

Dalam fakta persidangan, MSAA terbukti sebelumnya telah diubah lima kali pada tahun 1998 sampai 1999.

Namun setelah Sjamsul menerima Release & Discharge (R&D) tanggal 25 Mei 1999 tentang pembebasan Kewajiban BLBI dan BMPK, tidak pernah ada lagi perubahan perjanjian MSAA, mengingat Sjamsul telah menyelesaikan seluruh kewajibannya yang dibuktikan dengan penerimaan Surat Pembebasan Kewajiban BLBI dan BMPK atau R&D tersebut.

Terdakwa, sambung Jamin, tidak melakukan penghapusbukuan dan atau penghapustagihan atas utang petambak sebagaimana yang didalilkan JPU.

"Dalam persidangan terbukti bahwa persetujuan penghapusbukuan utang petambak dilakukan KKSK berdasarkan Keputusan KKSK tanggal 13 Februari 2004 dan terdakwa tidak pernah menindaklanjuti perintah KKSK tersebut di atas,karena masa kerja BPPN telah berakhir (sesuai dengan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2004)tanggal 27 Februari 2004," jelas Jamin.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

2 dari 2 halaman

Tak Terbukti Secara Hukum

Dia pun menegaskan Syafruddin tidak terbukti secara hukum melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma PT DCD dan PT WM kepada Konsorsium Neptune dari Group Charoen Pokphand sebesar Rp 220 miliar.

Dalam fakta persidangan, terbukti penjualan hak tagih uutang petambakdilakukan PT Perusahaan Pengelola Aset (Perseroan) pada 2007 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 30/KMK.01/2005.

Terkait dengan adanya kerugian negara, Jamin menyatakan jika quad-non LHP BPK tahun 2017 digunakan untuk menghitung kerugian negara, maka tempus delicti (waktu perbuatan) dalam audit BPK LHP tahun 2017 timbul akibat penjualan utang petambak sebesar Rp220 Milyar oleh PT PPA pada 2007.

"Peristiwa tersebut terjadi setelah terdakwa tidak lagi menjadi Ketua BPPN dan bukan dilakukan oleh terdakwa," ujar Jamin.

Fakta baru yang terungkap adalah jika hak tagih utang petambak tidak dijual pada 2007, Pemerintah cq Menteri Keuangan masih memiliki aset jaminan lahan petambak yang dijaminkan 11.000 petambak. Di mana berdasarkan Perjanjian Kreditantara BDNI dan petambak, masing-masing petambak menjaminkan tanah tambak seluas kurang lebih 0,6 hektare atau 6.000 m2 per petambak.

"Sehingga total untuk 11 ribu petambak seluas 60.000.000 m2 dan karenanya nilai aset jaminan petambak sekarang berkisar Rp 7,9 triliun sampai Rp 12,1 triliun," pungkas Jamin.